Mongabay.co.id

Tambang Emas Ilegal di Hutan Lindung Timbahan Telan Korban, Bagaimana Pengawasan?

Kondisi Sungai Batanghari di Hutan Lindung Batanghari, Solok Selatan, Sumatera Barat, yang rusak akibat aktivitas tambang emas ilegal. Foto: Dok Tim BNPB

 

 

 

 

Korban tewas dalam lubang tambang emas terus berjatuhan. Terbaru kejadian di Solok Selatan, Sumatera Barat, setidaknya delapan orang meninggal dunia, sembilan luka-luka dan patah tulang karena tertimbun material longsor tambang emas ilegal pada 10 Mei lalu. Tambang emas ilegal ini berada di Hutan Lindung Timbahan, Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batanghari.

Sebelumnya, tepat setahun lalu, April 2020, juga ada kejadian serupa. Sembilan penambang tradisional tewas tertimbun longsor di lubang tambang Talakiak, Nagari Ranah Pantai, Kecamatan Sangir Batang Hari, berjarak sekitar 10 kilometer dari lokasi kejadian ini.

Jasman Chaniago, warga setempat mengatakan, kejadian itu membuat masyarakat sekitar terkejut. Pasalnya, tempat kejadian ini sepengetahuan warga sudah ditutup polisi setahun lalu sejak ada korban sembilan penambang di Jorong Talakiak, Nagari Ranah Pantai, Kecamatan Sangir Batanghari.

“Kami sendiri Masyarakat Nagari Abai terkejut, karena setau kami lokasi tambang ilegal sudah ditutup. Kapolres menyatakan lokasi tambang sudah ditutup, tapi kok masih ada juga alat berat beroperasi. Bahkan, saat kejadian ada sekitar delapan alat berat di sana,” katanya. Dia sebutkan dulu bisa ratusan alat berat bekerja di lokasi hutan lindung ini.

Di sana, katanya. tidak ada akses jalan umum hanya jalan setapak. Penambang biasa menaiki motor atau berjalan kaki sejauh 20 kilometer.

Jasman menyadari, tidak mudah menghentikan tambang ilegal ini meski sudah banyak makan korban dan sering razia.

“Ini masalah perut, ibarat saluran air, meskipun ada penahan tapi tidak ada penyalur dari jalan lain, apapun besar penahannya tetap akan runtuh. Seperti itu juga, tambang ilegal ini, dilarang tapi solusi lain dari pemerintah tidak ada.”

 

Baca juga: Tambang Emas Ilegal di Solok Selatan Makan Korban, 9 Orang Tewas Tertimbun

 

Dia bilang, Solok Selatan sebagian besar lahan taman nasional dan hutan lindung, Sisanya, dikuasai perusahaan sawit. “Sawit paling luas di Sangir Batang Hari, maka masyarakat kembali ke tambang emas walaupun ilegal,” katanya.

Tedy Purnanto, Kapolres Solok Selatan, mengatakan, kepolisian sudah sering menindak para pelaku tambang ilegal terutama yang gunakan alat berat. Terakhir, April lalu mengamankan dua alat berat, namun medan jauh serta keterbatasan personil membuat polisi tidak bisa mengamankan lokasi itu terus-menerus.

“Terakhir Ramadan kami sudah amankan dua alat berat di TKP, waktu itu lokasi tambang kita tutup. Namun kita tidak bisa mengawasi 24 jam karena lokasi jauh di hutan, tidak ada sinyal.”

Yozawardi, Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat membenarkan kalau lokasi tambang ilegal yang menelan korban ini berada dalam kawasan hutan lindung.

“Hasil identifikasi awal dari nama lokasi tempat kejadian memang di hutan lindung. Saya sudah tugaskan Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Hulu Batanghari untuk cek lapangan memastikan.”

Setelah mengumpulkan informasi, katanya, baru bisa melakukan langkah-langkah tindak lanjut. Sebelum itu, katanya, dinas

pernah sosialisasi dan patroli. “Tahun kemarin kami pernah operasi, memang pas sampai disitu sudah malam, karena tempatnya jauh. Sebelum kami sampai mereka (penambang) sudah kabur duluan,” katanya.

Ke depan, katanya, mereka akan konsolidasi dengan polri untuk mengambil langkah-langkah strategis. Dia bilang, untuk menangani tambang ilegal ini perlu kerjasama berbagai pihak termasuk pemerintah kabupaten.

“Peran pemerintah kabupaten sangat penting, karena masyarakat yang terdampak jelas masyarakat kabupaten. Jadi harus berkolaborasi, tidak hanya Kehutanan, pemerintah kabupaten, tokoh masyarakat, niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang,” katanya seraya bilang sudah diskusi dengan polri mengenai harus ada langkah-langkah strategis seperti pemusnahan alat, dan sebagainya dengan tetap sesuai aturan.

 

Satu tahun lalu, pada April 2020 kejadian serupa juga terjadi, 9 orang penambang tradisional tewas tertimbun material longsor di lubang tambang Talakiak, Nagari Ranah Pantai, Kecamatan Sangir Batang Hari berjarak sekitar 10 kilometer dari lokasi kejadian baru-baru ini. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Mahyeldi Ansharullah, Gubernur Sumatera Barat, meminta, pemerintah pusat turun tangan mengawasi dan penegakan hukum terhadap para penambang ilegal yang gunakan alat berat di Solok Selatan ini. “Tentunya, pihak-pihak berwenang itu bisa menjalankan tugas pengawasan. Tambang ini wewenang kan di pusat, bukan kewenangan kota di daerah,” katanya kepada wartawan 24 Mei lalu.

“Rata-rata tambang itu ilegal. Seperti yang kemarin itu di hutan lindung. Sebetulnya itu tidak boleh. Sebab itu, yang berbahaya itu gunakan alat. Kemarin, kita sudah mengindikasikan mereka itu bukan masyarakat tetapi pihak-pihak luar,” katanya.

Dia menilai, perlu ada sinergi dari berbagai pihak untuk menghentikan penambangan ilegal ini. Pemerintah Sumbar, katanya, akan menjalankan tugas pemantauan. “Kita harapkan sinergi pemerintah pusat dengan daerah bisa lebih baik lagi agar bisa menekan tambang-tambang yang dikelola oleh pengusaha-pengusaha ini.”

Indang Dewata, ahli lingkungan hidup dari Universitas Negeri Padang, menyebut, ada beberapa langkah bisa diambil pemerintah. Kalau tambang itu berizin (legal) tentu perlu evaluasi menyeluruh mulai dari administratif, seperti dokumen lingkungan bahkan sampai cabut izin.

Kalau tambang tidak berizin atau ilegal, pihak terkait bisa melanjutkan ke penindakan hukum. Itu mengacu pada Undang-undang Nomor 32/2009 Pasal 1 ayat (2) yang berisi, upaya sistematis terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup.

Apalagi, katanya, aksi tambang emas dengan alat berat ini sudah menyerobot hutan lindung. “Sudah serobot hutan lindung, pemerintah membiarkan saja itu kan aneh, tentu kita pertanyakan.”

Dinas Kehutanan maupun Dinas Pertambangan, katanya, bertanggung jawab atas masalah ini. “Inspektur tambangnya bagaimana? Apa tidak melakukan apa-apa? Dimana peran Dinas Lingkungan Hidup Solol Selatan, walaupun itu pertambangan wewenang provinsi, bencana lingkungan berada di daerahnya.”

 

Area pengolahan kayu (sawmill) perusahaan kayu berubah menjadi lokasi tambang emas sejak aktivitas kayu berhenti pada 2012. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Kawasan rawan bencana

Dari kajian lingkungan hidup strategis, para ahli lingkungan sudah membicarakan bahwa Solok Selatan ini daerah rawan bencana.

“Dari lingkungan hidup termasuk juga kebencanaan, BPBD sudah menyatakan, Solok Selatan itu masuk dalam zona tinggi atau rawan bencana. Sebenarnya pemerintah daerah harus konsen lagi bahwa tambang itu hal penting jadi perhatian,” kata Indang.

Dengan begitu, katanya, seharusnya, kawasan hutan lindung itu tak boleh ada tambang emas, atau aktivitas yang merusak.

“Pertanyaannya, kenapa pemerintah provinsi sampai membiarkan hal itu? Mengingat ini sudah sering berulang. Kalau pemkab tidak sanggup harusnya kepolisian dari Polda Sumbar turun tangan,” katanya.

Menurut data InaRisk BNPB, Solok Selatan termasuk dalam wilayah yang memiliki potensi risiko bencana tanah longsor dalam indeks kategori sedang hingga tinggi.

Dalam catatan InaRisk, terdapat tujuh kecamatan yang masuk Kawasan Risiko Bencana tanah longsor dengan luas bahaya mencakup hingga 208.764 hektar.

Walhi Sumbar menyebut kejadian di Solok Selatan ini tak semata karena faktor alam, tetapi kelalaian manusia.

Penambang tewas bukan kali pertama. Sayangnya, kata Tommy Adam dari Walhi Sumbar, kejadian itu seakan tak memberikan pelajaran kepada pemerintah, baik kecamatan, kabupaten bahkan provinsi untuk benar-benar mencarikan solusi dari permasalahan itu.

Walhi terus menerus menyampaikan harus ada upaya serius mencarikan alternatif mata pencaharian bagi masyarakat penambang agar kejadian serupa tak terulang. Sayangnnya, keseriusan pemerintah mencarikan solusi mata pencaharian tak kunjung ada.

Kekhawatiran kerusakan lingkungan disertai bencana tak hanya dari tambang ilegal juga berizin yang banyak di Sumbar. Data terhimpun Walhi Sumbar (2019), ada delapan IUP minerba dengan luas 4.461.8 hektar dengan bahan tambang seperti besi, emas, dan tembaga galena. Umumnya IUP berlokasi dekat hutan lindung dan di sepanjang sempadan sungai.

“Alih-alih evaluasi menyeluruh IUP, pemerintah malah melanggengkan pertambangan dengan bungkusan legal yang sah di mata hukum.”

Penerbitan izin baru ini, katanya, bisa jadi penggerak bagi masyarakat untuk terus menambang secara ilegal. Belum lagi, pemerintah tak kunjung memberikan solusi mata pencaharian lain sedang kebutuhan pokok untuk sehari-hari tetap harus mereka penuhi.

Walhi Sumbar mendesak gubernur bersama polda segera mengambil langkah tegas dengan penegakan hukum sektor pertambangan. Selain itu, polda juga harus melakukan menyelidiki para cukong dan pemodal tambang.

Terpenting lagi, katanya, gubernur dan bupati harus mencarikan solusi sumber ekonomi bagi masyarakat penambang. Ia bisa mulai dengan mendata penambang di Solok Selatan, lalu penataan kembali tata ruang wilayah yang menjamin keberlanjutan dan fungsi ekologis hulu DAS Batanghari ini.

 

 

******

Foto utama:  Kondisi Sungai Batanghari di Hutan Lindung Batanghari, Solok Selatan, Sumatera Barat, yang rusak akibat aktivitas tambang emas ilegal. Foto: Dok Tim BNPB

 

Exit mobile version