Mongabay.co.id

Buku: Ekonomi Nusantara, Tawarkan Solusi Pengembangan Ekonomi Ramah Alam

Sagu, salah satu sumber pangan lokal yang banyak tumbuh di daerah-daerah di nusantara ini, seperti Riau, Papua, Maluku dan lain-lain. Tanaman sagu, antara lain yang cocok di lahan gambut. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kerusakan lingkungan berisiko terus terjadi dengan pola pembangunan ekonomi Indonesia saat ini. Dengan dalih pertumbuhan ekonomi jadi alasan utama eksploitasi alam. Sebenarnya, ada cara-cara pengembangan ekonomi dengan tetap ramah dan memuliakan alam.

Pola-pola pengembangan ekonomi ini sudah dipraktikkan masyarakat adat atau lokaj di berbagai penjuru negeri. Konsep ekonomi seperti ini yang coba Walhi tawarkan dalam buku yang rilis baru-baru ini dengan judul,” Ekonomi Nusantara.’

Walhi menilai, konsep kapitalis yang gunakan prinsip “trickle down economics” atau prinsip menguntungkan segelintir orang atau pemodal besar, dan hanya rembesan ke masyarakat bawah.

Buku ini ditulis Boy Jerry Even Sembiring, Tanti Budi Suryani, dan Bagas Yusuf Kausan. Penulis membuka buku ini dengan pemaparan kondisi krisis Indonesia. Dua penyebab krisis, pertama, ketimpangan struktur penguasaan, kepemilikan, penggunaan, pemanfaatan sumber agraria dan sumber daya alam.

Kedua, tumpang tindih dan pertentangan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan sumber daya agraria dan sumber daya alam. Penyebab ketimpangan ini, kata Boy, adalah pilihan berekonomi yang masih dipakai sampai yaitu kapitalistik.

Sistem kapitalisme, melahirkan kekeliruan fatal lain yakni cara pandang memisahkan unsur manusia dan non manusia. Perspektif semacam ini menekankan keunggulan manusia di atas makhluk lain baik yang hidup atau tak hidup.

Akhirnya, melanggengkan eksploitasi terhadap manusia dan alam. “Penelitian buku “Ekonomi Nusantara” ini berangkat dari krisis lingkungan, yang berasal dari sistem kapitalis yang sudah lama dianut negara kita,” kata Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, mengawali diskusi daring pada penghujung Mei lalu.

Yaya, sapaan akrabnya mengatakan, model kapitalis mengikis ekonomi komunitas (masyarakat lokal) yang berangkat dari interaksi waktu ke waktu antara manusia dan komunitas. “Ekonomi rakyat bergantung kepada tempat mereka tinggal,” katanya.

 

Tenun-tenun Nusa Tenggara Timur, dari bahan dan pewarnaan alami. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Melihat kondisi itu, Walhi mencari wacana tandingan untuk mengatasi krisis kemiskinan, dan kerusakan lingkungan ini. “Akhirnya, kami memutuskan melakukan penelitian di delapan wilayah yang beragam seperti ekosistem pesisir, gambut, laut, pegunungan, hutan, dataran rendah dan lain,” katanya.

Dia berharap buku “Ekonomi Nusantara” ini tidak hanya wacana, tetapi bisa diterima pemerintah agar masyarakat yang mempraktikkan mendapat perlindungan dari negara.

Boy mengatakan, dalam buku “Ekonomi Nusantara” ini ingin menyajikan cara berekonomi beragam di tengah masyarakat Indonesia. Dalam penelitian ini memperlihatkan, ekonomi masyarakat bisa bergerak dengan tetap menjaga lingkungan hidup.

Penelitian berlangsung di beberapa daerah seperti Bengkulu fokus di Bukit Barisan, Sumatera Selatan fokus di kehidupan komunitas gambut. Di Jawa Timur fokus pada masyarakat adat Desa Sendi. “Misal, di Desa Sendi, masyarakat mampu hidup dengan pemulihan lingkungan hutan dataran tinggi,” katanya.

Begitu juga penelitian ini juga berlangsung di Bali. Boy dan para peneliti melihat pariwisata tak selalu menjadi ancaman kerusakan lingkungan.

Di Bali, keindahan alam bisa membantu kesejahteraan masyarakat dengan lingkungan terjaga. “Kemudian di Kalimantan Timur, kepungan perusahaan tambang mampu dicegah oleh masyarakat Dayak.”

Meskipun setiap lokasi memiliki kejayaan dan ancaman masing-masing, tetapi praktik ekonomi masyarakatitu tidak merusak, seperti yang dilakukan pemerintah saat ini. “Praktik ekonomi yang mereka lakukan selaras dengan batasan daya dukung lingkungan,” kata Boy.

Masyarakat di beberapa wilayah itu tetap mendapatkan keuntungan dari alam dengan menjaga nilai-nilai lokal. Di lokasi penelitian, nilai kearifan masyarakat mampu memulihkan ekonomi yang sedang krisis terlebih masa pandemi ini.

 

Para perempuana dat ai di Desa Wale mengambil pelepah daun sagu untuk dianyam menjadi tikar. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Masyarakat adat atau lokal punya prinsip semua di bumi itu penting, baik manusia atau keragaman hayati. “Tetapi manusia dianggap bertanggung jawab atas semua itu,” kata Boy.

Tawaran “Ekonomi Nusantara” mempunyai relasi terhadap ekonomi global yang secara umum pakai sistem yang merusak lingkungan.

Buku ini, kata Boy, sebenarnya ingin mengajak semua sadar untuk meruntuhkan kapitalisme yang gagal mensejahterakan masyarakat, malah banyak menghancurkan lingkungan termasuk manusia.

Sri Edi Swasono, Guru Besar Universitas Indonesia mengapresiasi buku ini Dia bilang, buku ini bisa untuk mendidik pemerintah dan masyarakat. “Imu kapitalistik makin menjauhkan negara dari mandat konstitusi,” katanya.

Wacana ekonomi nusantara, katanya, memposisikan diri sebagai paham anti pertumbuhan yang sedang dipakai Indonesia saat ini.

Dalam pembukaan Undang-undang sudah jelas, negara Indonesia didikan untuk melindungi seluruh warga dan tumpah darah Indonesia. “Artinya, tanah air dirawat, ekologi dirawat, sekarang lingkungan rusak akibat pertumbuhan ekonomi,” kata Edi.

Ekonomi nusantara adalah ekonomi pembangunan berdasarkan rakyat “Kalau mengacu konstitusi, harusnya pasar berdaulat untuk rakyat bukan pengusaha seperti sistem kapitalis saat ini. Artinya, sistem ekonomi sekarang melanggar konstitusi.”

Suraya A. Afif, Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) memberikan pandangan “Ekonomi Nusantara” ini.

Selama ini, katanya, pertumbuhan ekonomi tak selalu berkorelasi positif dalam menurunkan ketimpangan dan tingkat kemiskinan.

“Bisa kita lihat di negara manapun tidak ada pengaruh linear antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan,” katanya.

 

Pelestari benih sekaligus penggerak penanaman kembali pangan lokal sorgum di Provinsi NTT,Maria Loretha saat berada di kebun sorgum di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kabupaten Flores Timur. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Pertumbuhan ekonomi saat ini, katanya, malah berkorelasi dengan kerusakan lingkungan, eksploitasi alam, dan lain-lain. “Buku “Ekonomi Nusantara” ini sudah jadi isu global, dimana ekonomi sekarang tidak dapat lagi membantu kesejahteraan rakyat, harus ada wacana tandingan.”

Melissa Kowara, Koordinator Extinction Rebellion Indonesia mengatakan, ekonomi rakyat atau ekonomi nusantara sangat bagus. Dalam penelitian di buku ini, katanya, masyarakat berhasil melewati krisis di komunitas masing-masing. “Mereka berdaulat.”

Dia melihat, ekonomi modern berbasis perampasan ekonomi masyarakat. Jadi, katanya, sekarang ini yang perlu dipahami masyarakat adalah ekonomi yang digaungkan pemerintah bukan ekonomi masyarakat, bukan ekonomi rakyat, melainkan untuk segelintir orang.

“Dalam buku ini diceritakan ada sebuah desa dapat menghasilkan Rp300 miliar per tahun, itu pendapatan besar sekali. Ternyata ekonomi nusantara bisa menghasilkan uang sebegitu besar tanpa merusak lingkungan,” katanya.

Sistem ekonomi anutan Indonesia saat ini sangat sulit membantu melawan krisis iklim. “Sangat berbahaya jika terus pegang konsep ekonomi pemerintah untuk perangi perubahan iklim, karena itu sangat bertentangan dengan wacana melawan perubahan iklim. Ekonomi nusantara bisa jadi solusi, saya sangat senang wacana ini dimunculkan Walhi,” kata Melissa.

 

****

Foto utama:  Sagu, salah satu sumber pangan lokal yang banyak tumbuh di daerah-daerah di nusantara ini, seperti Riau, Papua, Maluku dan lain-lain. Tanaman sagu, antara lain yang cocok di lahan gambut. Di Tohor, Riau, misal, sagu jadi sumber ekonomi masyarakat lokal di sana, tak hanya jula mentah juga diolah jadi beragam pangan. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version