Mongabay.co.id

Target Netral Karbon, Indonesia Bakal Setop Bangun PLTU?

 

 

 

 

Akhir bulan lalu, negara-negara yang tergabung dalam G7: Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia dan Jepang, sepakat tak lagi membiayai proyek batubara dan bahan bakar fosil, mulai akhir 2021. Ini langkah besar untuk membatasi kenaikan suhu global 1,5 derajat celcius di atas masa pra industri. Hingga kini, Jepang satu negara selain Korea Selatan dan Tiongkok, yang masih memberikan pendanaan untuk PLTU batubara termasuk ke Indonesia.

Sebelumnya, Malaysia Malayan Banking Bhd (Maybank) pada awal Mei juga mengumumkan tak akan lagi membiayai kegiatan batubara baru sebagai bagian dari strategi lima tahun yang diberi nama “M25 Plan.” Maybank juga akan mengalokasikan 50 miliar ringgit (US$12 miliar) buat pembiayaan berkelanjutan. Maybank berkomitmen mencapai net zero carbon emissions pada 2050.

Pengumuman Maybank muncul setelah ada kritik dari koalisi organisasi non-pemerintah di Malaysia dan Indonesia, karena mendanai pembangkit listrik tenaga batubara, meskipun telah membuat komitmen lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG).

Pada Desember 2020, lembaga keuangan asal Malaysia lain, yaitu CIMB Group Holdings Bhd lebih dulu menyatakan komitmen tidak lagi membiaya kegiatan batubara.

Kebijakan-kebijakan ini menyusul laporan Global Electricity Review (GER) 2021 yang menganalisis data ketenagalistrikan dari setiap negara di dunia agar dapat memberikan pandangan yang akurat mengenai transisi ketenagalistrikan pada 2020.

Laporan ini menggabungkan data pembangkitan listrik yang menggunakan bahan bakar berdasarkan negara sejak 2000. Terdapat 68 negara penghasil 90% listrik dunia yang memiliki data tahunan lengkap sampai 2020 dan jadi dasar perkiraan perubahan produksi listrik di seluruh dunia.

Secara global laporan ini mencatat ada rekor penurunan produksi dari PLTU batubara pada 2020. Saat bersamaan, pembangkit tenaga angin dan matahari menunjukkan pertumbuhan, menggantikan PLTU batubara– yang masa pandemi terjadi penurunan permintaan listrik.

Untuk Indonesia, ada lima temuan utama yang secara garis besar dinilai tertinggal dan masih kuat bergantung pada PLTU batubara, dibandingkan negara G20.

 

Baca juga: Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini

Sumatera Selatan, jadi provinsi percontohan pengembangan energi terbarukan. Daerah ini sudah mulai bangun pembangkit energi terbarukan, antara lain pembangkit biomassa dari sekam padi dan energi surya. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Menteri Koordinasi Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Pandjaitan, mengatakan, pemerintah Indonesia juga akan menghentikan penggunaan PLTU barubara dan fokus energi baru dan terbarukan.

Dalam Indonesia Investment Forum 2021 akhir Mei lalu, Luhut mengatakan Indonesia punya banyak potensi energi terbarukan. Selain ikut menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius, katanya, penghentian ini juga termasuk strategi Indonesia mencapai net zero emission pada 2060.

Berdasarkan data PLN, pada 2025 mulai dengan penggantian rencana PLTU dan PLTMG dengan PLT EBT baseload sebesar 1,1 GW. PLTU subcritical tahap pertama bisa pensiun 1 GW pada 2030.

Penghentian PLTU subcritical tahap kedua dengan kapasitas 9 GW target pada 2035, dan supercritical (10 gw) pada 2040.

Untuk PLTU ultra supercritical tahap pertama 24 GW akan pensiun pada 2045-2046. Dengan skenario ini target 2060 Indonesia bisa mencapai target karbon netral.

Zulkifli Zaini, Direktur Utama PT PLN belum lama ini mengatakan, PLN akan berhenti membangun PLTU baru setelah proyek 35 gigawatt rampung, dan akan fokus mengembangkan energi terbarukan.

Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik niatan ini dengan memberikan beberapa catatan.

“Emisi dari pembangkit listrik harus diturunkan secepat mungkin,” katanya.

Kajian IESR menunjukkan, target lebih ambisius Indonesia bisa net zero satu dekade lebih awal, pada 2050. Untuk mencapai ini, katanya, pemerintah harus berani menghentikan pembangunan PLTU baru maksimum atau lebih cepat dari 2025.

IESR sudah mengidentifikasi beberapa PLTU berusia lebih 30 tahun yang bisa di-phase out sebelum 2030, seperti PLTU Suralaya dan beberapa PLTU milik swasta.

IESR menyarankan, beberapa pembangkit dengan efisiensi rendah operasi bisa mulai setop.

Untuk memenuhi kebutuhan energi ke depan, katanya, harus ada penambahan pembangkit listrik energi terbarukan. Estimasi IESR, untuk memenuhi target rencana umum energi nasional (RUEN), harus ada penambahan minimal sekitar 14 gigawatt pembangkit energi terbarukan, atau sekitar 3 gigawatt pertahun.

Kalau PLN masih harus membangun PLTU atau pembangkit thermal lain dalam memenuhi program 35 gigawatt, khawatir tak ada ruang bagi pembangkit energi terbarukan.

Jika PLN berani mengurangi PLTU drastis atau sama sekali tak lagi membangun PLTU baru, 14 gigawatt energi terbarukan bisa masuk ke sistem ketenagalistrikan Indonesia.

Hingga tahun lalu, program 35 gigawatt masih menyisakan 5-6 gigawatt bahkan belum masuk tahap pengadaan.

“Kalau proyek itu tidak dilanjutkan, yang 5-6 gw itu diganti ke energi terbarukan, sudah setengah jalan mencapai tambahan 14 gw untuk mencapai target RUEN,” kata Fabby.

Mengingat keterbatasan kemampuan finansial PLN dalam mencapai target 14 gw, jadi perlu dukungan swasta. Dia menilai, perusahaan pembangkit listrik swasta harus berubah fokus pada energi terbarukan. Beberapa perusahaan yang berbasis fosil seperti Medco, Indika Energy, Adaro Energy dan lain-lain sudah mulai membangun divisi energi terbarukan.

Menurut Fabby, beralih ke energi terbarukan merupakan keharusan bagi swasta kalau tak ingin bisnis tergerus zaman.

“PLN capex -nya [capital expenditure] hanya maksimal Rp100 triliun per tahun. Tahun ini turun 50%, jadi PLN paling mampu 20-25%. 75%, sisanya harus dari swasta.”

Pelibatan swasta dalam proses penyediaan listrik, katanya, sejak fast track programme (FTP) pertama dan kedua masing-masing 10 gw.

 

Baca: Cerita Warga Terdampak Debu Batubara di Tengah Kebijakan Limbah FABA Tak Masuk B3 

Energi terbarukan, salah satu sumber angin, begitu besar di Indonesia, tetapi masih minim dimanfaatkan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Tantangan

Arthur Simatupang, Ketua Asoisasi Pengusaha Listrik Swasta (APLSI) mengatakan, pembangunan pembangkit listrik menghadapi tantangan pembangunan infrastruktur yang harus melalui proses pembebasan lahan, regulasi berubah-ubah, dan perizinan berbelit.

Anggota APLSI, katanya, secara umum sudah memiliki master plan transformasi ke energi terbarukan, namun tidak dalam skala besar. Yntuk skala besar, perlu dilengkapi baterai. Industri baterai, saat ini belum berkembang di Indonesia.

Kalau memang pemerintah fokus mengembangkan energi terbarukan, swasta meminta ada regulasi kuat, dan tak gampang berubah. Selain itu, bisnis pembangkit juga perlu dukungan teknologi baterai yang bisa jadi solusi masalah intermitensi energi terbarukan. Saat ini, harga makin bersaing dengan PLTU.

Hal lain yang jadi perhatian APLSI, yakni sistem jaringan masih mengandalkan pembangkit jenis bahan bakar fosil. Mereka perlu teknologi smart grid dan bisa melibatkan swasta. Selama ini, katanya, swasta hanya bisa ikut andil dalam pembangkit listrik.

Penting juga, kata Arthur, kesiapan bank-bank nasional dalam mendukung pendanaan energi terbarukan.

“Dari swasta sama sekali tidak keberatan kalau PLTU yang tua-tua di-shut down. Yang baru nggak lagi, yang diteruskan itu hanya yang eksisting,” katanya.

 

Tak efektif

Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, menilai, rencana pemerintah memulai hanya fokus pada energi terbarukan setelah program 35 GW selesai, merupakan rencana tak efektif.

Kalau program ini jalan terus, akan ada 27 GW PLTU batubara baru yang terbangun sebelum 2023.

“Ini jelas-jelas akan mengunci dan menutup space untuk renewable energy di Indonesia, terutama di Pulau Jawa yang memiliki demand listrik terbesar,” katanya.

Laporan Greenpeace mengenai penilaian sektor ketenagalistrikan di Asia Tenggara menunjukkan, dengan skema energi terbarukan terbaik, pada 2030, Indonesia hanya mampu mencapai 26% energi terbarukan, alih-alih 50%.

Dengan skema terbaik, Indonesia harus hentikan PLTU batubara saat ini, tanpa menunggu penyelesaian program 35 GW dan FTP II yang masih belum selesai.

“Dengan skenario terbaik saja, tanpa PLTU baru kita tak akan on the right track di 2030. Apalagi menambah 27 GW sebelum 2030, makin tidak on the right track untuk 2050,” kata Tata.

Selain hanya akan menjadi sumber emisi terbesar, 58% pada 2030, juga berisiko bagi target 53% pembangkit surya dan air.

Risiko lain yang harus menjadi perhatian, katanya, soal potensi aset terbengkalai (stranded asset) pada PLTU baru karena biaya energi terbarukan makin murah dan jauh lebih kompetitif setelah 2030. Selain juga emisi PLTU dengan baru akan jadi dua kali lipat PLTU eksisting. Praktis, dampak kesehatan juga makin besar.

Pernyataan pemerintah dan PLN soalan niat menyetop pembangunan PLTU yang belum berstatus financial close dan masuk tahap konstruksi dinilai peneliti Trend Asia, Andri Prasetiyo bukanlah sesuatu yang fantastis.

Melalui Koalisi Bersihkan Indonesia Andri menyatakan, ketentuan penghentian pembangunan PLTU baru pada 2025 tak sejalan dengan peta jalan net zero global yang menyatakan bahwa pembangunan PLTU baru harus setop lebih awal pada 2021.

Komitmen PLN dan pemerintah mencapai target net-zero emission melalui moratorium proyek PLTU baru dan penutupan PLTU tua sekilas nampak begitu mengesankan.

“Secara substansial komitmen ini masih nampak sebagai sebuah gimmick sebab masih memuat ketentuan sisipan yang problematik,” kata Andri.

 

Baca juga: Jawa Terus Bangun PLTU, Tersandera Pembangkit Batubara?

 

Untuk itu, langkah pemerintah yang masih memaksakan membangun PLTU baru hingga 2025 malah akan mengakibatkan tambahan produksi emisi karbon begitu besar dengan total 107 juta ton/tahun. Dengan usia operasi PLTU selama 35-40 tahun, Indonesia berarti akan tetap mengoperasikan PLTU masif hingga 2060-2065.

“Padahal, PLTU batubara sudah harus berhenti total pada 2050, agar target net-zero emission global untuk mengatasi persoalan krisis iklim dapat dicapai.”

Penghentian penggunaan PLTU batubara dan pengalihan ke energi terbarukan, juga akan membuka lebih banyak lapangan kerja.

Mahawira Dillon, Peneliti Yayasan Indonesia Cerah menjelaskan, berbagai studi di dalam dan luar negeri menunjukkan, tiap satuan investasi ataupun satuan kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan akan menghasilkan lebih banyak lapangan pekerjaan ketimbang pembangkit listrik batubara.

“Namun, dapat terlihat dalam rencana PLN ini bahwa masih ada daftar PLTU bermasalah yang terus dikembangkan.”

Menurut dia, langkah konkrit pemerintah bisa dengan membuka data sejumlah PLTU yang belum selesai tahapan financial close dan kapan tenggat waktu berakhir power purchase agreement (PPA), hingga dapat digambarkan kredibel mana PLTU yang sebenarnya tidak layak jalan.

“Ini untuk menunjukkan langkah serius pemerintah apabila berencana tidak lagi membangun PLTU di masa mendatang.”

 

Baca juga: Debu Batubara Resahkan Warga Desa Muara Jambi

Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro [PLTMH] yang menerangi kawasan Ekowisata Boon Pring. Foto: Tagar/Moh Badar Risqullah

 

 

Exit mobile version