Mongabay.co.id

Hari Lingkungan Hidup: Setop Eksploitasi, Peran Generasi Muda Pulihkan Ekosistem Bumi

Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

***

 

“Bumi Wadas seperti daging dan tulang dan darah kami sendiri. Setop pertambangan…” “Air dan pulau kami dirampas tapi kami yang dipolisikan. Reklamasi merusak laut kami dan bikin susah mencari ikan.” “Ekspansi perkebunan sawit yang merusak dan membakar hutan telah mengancam sumber kehidupan perempuan Mantangai Hulu.” 

Begitulah antara lain bunyi poster yang dibawa para aktivis perempuan yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan kala aksi di depan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada Jumat (4/5/21).

Aksi damai ini untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang tahun ini bertema “Membayangkan kembali, menciptakan kembali, dan memulihkan kembali.”

Bagi Solidaritas Perempuan, Hari Lingkungan Hidup jadi peringatan sangat kontekstual pada situasi saat ini dengan begitu parah eksploitasi kekayaan alam, sumber agraria menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, berujung bencana ekologis.

Solidaritas Perempuan pun menyerukan, negara segera menghentikan kedurhakaan terhadap perempuan dan lingkungan hidup dengan merestorasi ekosistem.

Nisaa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan dalam rilis kepada media mengatakan, kelestarian lingkungan hidup merupakan tanggung jawab global karena ekosistem berhubungan dengan seluruh jaringan hidup di muka bumi.

Dia bilang, kampanye perubahan pola konsumsi, gaya hidup zero waste hingga praktik pertanian lestari memang satu langkah menuju pemulihan lingkungan hidup. Meskipun begitu, katanya, upaya ini tak cukup tanpa menyasar akar permasalahan kerusakan ekosistem alam hingga menimbulkan berbagai bencana ekologis.

Kebijakan dan pengelolaan alam eksploitatif, serakah dan mengabaikan keberlanjutan, katanya, jadi penyebab utama. “Negara mengingkari mandat mensejahterakan warga dan melindungi lingkungan hidup sebagai ekosistem penting untuk keberlanjutan hidup,” katanya.

 

Aksi Solidaritas Perempuan di depan KLHK. Foto: Solidaritas Perempuan

 

Setidaknya, kata Nisaa ada 10 durhaka negara terhadap perempuan dan lingkungan hidup. Pertama, negara patuh dan tunduk pada kepentingan investor, hingga mengorbankan lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat terutama perempuan.

Kedua, negara agresif menghasilkan regulasi yang menghancurkan lingkungan hidup dan merampas kehidupan perempuan tetapi abai terhadap kebijakan yang mereka perlukan.

Dia beri contoh, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Cipta Kerja. Sedang regulasi yang sangat perempuan perlukan seperti RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan lain-lain terus ditunda.

Ketiga, negara meminggirkan perempuan dari pembangunan dan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, mengeksploitasi alam serta memperlebar ketimpangan ekonomi.

Keempat, negara aktif mengikatkan diri pada komitmen perjanjian perdagangan bebas yang mengancam lingkungan hidup dan menghilangkan kedaulatan perempuan.

Kelima, negara sesat pikir dalam penanganan krisis iklim yang berorientasi proyek dan solusi palsu. Krisis iklim, katanya, justru ditangani melalui proyek merusak lingkungan dan menghilangkan akses dan kontrol perempuan terhadap alam.

Keenam, reforma agraria lambat dan berpihak pada investasi rakus sumber agraria serta mengeksploitasi alam. Reforma agraria, kata Nisaa, seharusnya membongkar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan sumber agraria.

Perempuan di negeri ini, terus berhadapan dengan konflik agraria berkepanjangan karena tanah terampas industri ekstraktif baik perkebunan sawit, kayu maupun pertambangan dan lain-lain.

Ketujuh, negara represif, gunakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap perempuan yang memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup.

Kedelapan, negara lamban atau tak responsif dan sensitif gender dalam penanganan bencana, terlebih bencana ekologis.

Kesembilan, negara menghancurkan sumber kehidupan dan ruang hidup perempuan juga memaksa perempuan mencari penghidupan di luar negeri dengan kerentanan kekerasan, dan pelanggaran hak, women trafficking, dan berbagai kasus lain.

Kesepuluh, negara enggan mengakui peran dan posisi perempuan hingga meminggirkan mereka dari pengambilan keputusan di berbagai tingkatan. Kondisi ini, katanya, jadikan suara perempuan kerap tak didengar dan kepentingan tidak terakomodir.

Di dalam banyak proyek yang meminggirkan masyarakat dan menghancurkan lingkungan, seringkali tidak melibatkan masyarakat terlebih perempuan di dalam perencanaan, implementasi maupun pengawasan.

Dia menekankan, kedurhakaan negara terhadap perempuan dan lingkungan harus segera dihentikan dengan melakukan restorasi ekosistem. Orientasi pembangunan yang selama ini bertumpu pada investasi dan bisnis, katanya, harus diubah.

Seharusnya, kata Nisaa, pembangunan berorientasi komunitas dan kepentingan warga, dengan perempuan memiliki peran dan inisiatif signifikan. Perempuan dan alam memiliki relasi sangat erat. Kerusakan lingkungan hidup, katanya, akan berdampak secara berbeda dan spesifik terhadap perempuan.

 

Perempuan Adat Pandumaan Sipituhuta berjuang mempertahankan hutan adat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Peran generasi muda

Masih semangat sama, Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia dengan diskusi daring bertema “Memulihkan Ekosistem Bumi.” Mereka berbagi semangat menjaga lingkungan hidup dari diri sendiri dan untuk lingkungan terdekat. Kegiatan ini diharapkan dapat membangun kesadaran publik lebih luas, akan pentingnya menjaga lingkungan untuk pemulihan ekosistem bumi.

Henriette Faergemann, Konselor Pertama Urusan Lingkungan, Aksi Iklim, Digital dari Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia membuka langsung talk show yang mengkampanyekan gerakan #generationrestoration.

Faergemann bilang, HLH menjadi pengingat untuk selalu menjaga kelestarian bumi. Uni Eropa, katanya, ambil bagian dengan melibatkan masyarakat umum khusus anak muda. “Salah satu gerakan kita adalah #generationrestoration.”

Restorasi ekosistem, katanya, dapat mulai dimana saja dan perlu melibatkan banyak pihak dalam mengambil tindakan maupun membuat pilihan cerdas hingga mampu meningkatkan peran dalam memulihkan ekosistem.

Sebagai bagian dari EU Environment Day 2021, Uni Eropa ingin menginspirasi generasi muda untuk lakukan perubahan dan aksi nyata melalui Social Media Challenge #GenerationRestoration.

“Ekosistem yang sehat dapat mencegah kehancuran keanekaragaman hayati,” katanya.

Dia menekankan, lingkungan tetap menjadi sumber pangan dan mata pencaharian kalau manusia menjaga hubungan yang harmonis dengan alam.

Didy Wuryanto, Kepala Kelompok Kerja Perencanaan Anggaran dan Hukum Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) bicara soal restorasi mangrove. Indonesia, mempunyai mangrove 3,3 juta hektar, seluruh dunia 16.5 juta hektar.

 

Perkebunan organik untuk edukasi di Kampung Bingo, Bedugul. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Mangrove, katanya, mampu mengurangi panas bumi atau memperlambat perubahan iklim berkepanjangan. “Inilah kita mengajak komunitas lokal terus menanam mangrove,” katanya.

Terlebih, katanya, masyarakat mampu memanfaatkan mangrove sebagai sumber ekonomi hingga akan membantu restorasi. “Seperti jadikan mangrove objek tourism,” katanya.

Pemerintah, katanya, tidak bisa kerja sendiri, harus bermitra dengan generasi muda “Mudah mudahan ini kick off yang bagus, hingga 2021 mangrove yang rusak seluas 600.000 hektar bisa pulih kembali.”

Para muda mudi pun bergantian cerita. Poetoet Soedarjanto, Ketua Umum Bike to Work mengatakan, mendorong kebijakan untuk mewujudkan transportasi hijau. Dia lebih 15 tahun bersepeda demi kesehatan dan lingkungan.

Poetoet menyerukan, gunakan sepeda tidak hanya untuk olahraga, rekreasi, dan lain-lain juga untuk kegiatan sehari-hari. “Seperti ke warung, rumah tetangga, ataupun untuk berangkat ke tempat kerja.”

Dia merincikan, bagaimana dampak penggunaan kendaraan bermotor terhadap populasi lingkungan, kemacetan dan lain-lain. Data yang ditemukan Poetoet, Rp52 triliun kerugian negara karena populasi udara. Salah satu penyebab, kendaraan motor. “Begitu juga kerugian akibat kemacetan menggunakan kendaraan bermotor.”

Data terakhir kerugian Jabodetabek karena kemacetan lebih Rp100 triliun setiap tahun. Begitu juga data kecelakaan lalu lintas beberapa tahun belakangan menyebabkan orang meninggal sekitar 23.000 jiwa. “Data ini belum masuk, korban yang mengalami cacat permanen,” katanya.

Melihat kondisi itu, Poetoet menawarkan melalui komunitas Bike to Work mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan bermotor. “Mari kita beralih ke sepeda, untuk menekan kerugian tadi, tekad kita sepeda adalah solusi transportasi tanpa polusi.”

Ajeng Kartika Sari dari EMPU Sustainable Fashion sekaligus pendiri Lestari & Iconic Kid menceritakan, soal bahan pakaian turut andil dalam merusak ekosistem. Karena itu harus pandai memilih bahan yang aman bagi lingkungan.

 

Tambang batubara di Kalimantan Timur yang menyisakan berbagai persoalan lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Tidak lupa juga musisi dan peneliti Rara Sekar ikut berbagi cerita soal memanfaatkan lahan sempit di rumah untuk bercocok tanam atau dikenal dengan istilah urban farming. Dia sudah berkebun sejak 2016 di rumahnya.

Alhasil, kegiatan ini membuka matanya untuk lebih merasakan apa yang dialami petani. Rara sudah beberapa kali mengunjungi kelompok tani untuk berbagi cerita. “Saya jadi pengen juga merasakan susah menanam makanan sendiri, memang susah, ketika makan tanaman yang kita tanam membuat kita lebih sadar dalam mengkonsumsi makanan.”

Melalui aktivitas ini Rara menciptakan lagu bertajuk “Kebun Terakhir”. Perempuan ini juga bersama masyarakat membuat kompos yang dimanfaatkan sebagai pupuk kebun di rumah mereka. “Sebenarnya mencintai lingkungan bisa mulai dari hal seperti itu. Yang pada akhirnya bisa untuk kita semua.”

Dari sektor hutan dan pesisir Hari Kushardanto, Direktur Program RARE Indonesia menyampaikan, makanan yang dikonsumsi sangat berpengaruh bagi ekosistem termasuk kelestarian laut. Karena itu penting mengkampanyekan praktik penangkapan ikan bertanggung jawab.

Data Hari menunjukkan, 78.600 desa di Indonesia, 13.000 adalah desa pesisir. Di lapangan desa pesisir tidak terjangkau dari bantuan pemerintah. Selain itu, masyarakat pesisir ditemukan berhadapan dengan dampak perubahan iklim sangat cepat.

“Misal, saat menangkap ikan di laut. Saat ini, nelayan tidak bisa prediksi cuaca yang sering berubah, kondisi itu membuat tangkapan nelayan secara tidak langsung mengalami penurunan,” katanya.

Hari melihat juga ekosistem di pesisir tidak terjaga baik seperti masih banyak penggunaan alat tangkap bom yang sangat merusak ekosistem laut. “Tidak hanya ikan yang mati, juga terumbu karang ikut mati akibat alat tangkap seperti bom.”

Christian, Manajer Program Hutan Itu Indonesia juga ikut berbagi cerita. Dia bilang, menjaga hutan jadi bagian dari tugas warga Indonesia.

Dia bilang, perlu upaya ekstra bergerak bersama menjaga hutan Indonesia yang sekarang rentan rusak. “Kita harus membicarakan hutan dari hati, supaya menjaga juga dari hati,” kata Christian.

Nadine Chandrawinata, pendiri Seasoldier menekankan kondisi laut yang memprihatinkan karena penuh sampah plastik. “Edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kebersihan laut, terus dilakukan baik di lautan maupun daratan,” katanya.

Kerajinan tangan dari sampah daur ulang. Foto : Petrus Riski

 

***

Masih memperingati momen sama, Hari Lingkungan Hidup Sedunia, para muda-mudi dari Program Akademi Generasi Lestari (AGL) diskusi daring angkat tema restorasi ekosistem.

Program Akademi Generasi Lestari (AGL) hadirkan tujuh tantangan sosial oleh 43 anak muda yang berupaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan hidup.

Sejak diinisiasi Campaign.com dan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) pada Februari 2021, program ini menyaring anak muda dari empat provinsi yakni Gorontalo, Kalimantan Barat, Riau, dan Sulawesi Tengah, untuk berjejaring dan mengembangkan kapasitasnya.

Hadir beberapa di antara mereka, Andhyta F. Utami, Environmental Economist dan Co-Founder Think Policy Society. Lalu, Butet Manurung, pegiat pendidikan masyarakat adat dan Co-Founder Sokola Institute, serta Manap Trianto selaku perwakilan peserta AGL dan peneliti lingkungan.

Andhyta mengatakan, muda-mudi penting menyuarakan lingkungan. Kini, sudah era reformasi, menyampaikan opini bisa dilakukan termasuk soal isu lingkungan. Dia contohkan, gerakan anak muda di sektor ekonomi sirkular. Para pemuda bergerak mendorong dan mendesak pemerintah menghentikan penggunaan kantong plastik sekali pakai.

“Kami sendiri mencoba berhimpun dan bergerak khusus konteks kebijakan publik yang lebih baik dalam semua dimensi. Tentu dimensi ekonomi lestari ini menjadi salah satu dimensi penting,” katanya.

“Ketika orang muda Indonesia bergerak, yang bergerak adalah lebih dari 100 juta konsumen, 100 juta voters, dan 100 juta ide inovatif. Bayangkan apa yang bisa kita capai bersama-sama untuk pembangunan lestari.”

Butet Manurung bicara soal masyarakat adat. Dia bilang, masyarakat adat hanya sekitar 400 jutaan jiwa di dunia tetapi menguasai 80% bidiversitas, dan 90% budaya.

Jadi, katanya, yang membuat bumi dan lingkungan itu terpelihara adalah masyarakat adat. “Merekalah yang memelihara biodiverstas di bumi ini. Secara tidak langsung, manusia sangat berutang budi kepada masyarakat adat. “Mereka yang betul-betul menjaga alam.”

Dia jabarkan kondisi di Indonesia, ada sekitar 26% masyarakat adat tinggal di dalam dan sekitar hutan. “Bila dihitung, ada sekitar 70 juta jiwa. Nah, 70 juta orang itu sangat bergantung alam, dalam hidupnya.”

Butet bilang, model pendidikan untuk mereka yang hidup bergantung alam, harus yang mendukung lingkungan hidup tetap terjaga.

Kalau pendidikan mereka berganti formal dan tidak kontekstual, katanya, pengetahuan mereka dan cara hidup berkelanjutan bisa hilang.

 

Daun gatal. Salah satu tumbuhan obat asal Papua. Foto: Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia

 

Pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan, katanya, harus berawal dari pendidikan kontekstual, yang dapat mendukung kekayaan alam dan budaya masing-masing tempat .

Kepala daerah juga angkat bicara. Mochamad Nur Arifin, Bupati Trenggalek dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) bicara soal iklim. Dia bilang, tak mungkin dapat berlaku adil bagi ekosistem kalau tak bisa menekan pemanasan global, dan tidak bisa memastikan bodiversitas terjaga.

“Juga, memastikan tutupan hijau dan kualitas air tetap bagus juga kualitas oksigen tetap bagus untuk generasi selanjutnya.”

Jadi, terpenting bagaimana mewujudkan ekonomi tumbuh, dan lingkungan tetap lestari. Baginya, tak ada alasan mempertahankan pola ekonomi eksploitatif yang menjalankan kegiatan ekonomi tanpa memperhatikan ruang hidup masyarakat dan lingkungan hidup.

Dia contohkan di Trenggalek, coba mengkompensasi karbon bagi semua warga. Jadi, katanya, ada kewajiban bagi warga yang beraktivitas di segala sektor memgkompensasi gaya hidup mereka degan menanam bambu.

“Kalau bupati harus menanam 200 bambu dalam setahun. Sekda 100 bambu. Begitu sampai turunannya setiap elemen.”

Kenapa bambu? Nur bilang, setiap musim kemarau selalu kekurangan air. Bambu, katanya, paling baik buat menyimpan air.

Bambu, katanya, bisa jadi sumber sandang, pangan dan papan. “Kami juga punya perkumpulan perempuan yang bisa bikin sedotan dari bambu, bahkan dirkim ke Eropa.”

Dengan pola-pola seperti ini, katanya, menjaga lingkungan sekaligus menciptakan peluang ekonomi atau pekerjaan hijau.

“Ini yang diharapkan. Mungkin bisa diterapkan atau minimal jadi gambaran bagi kabupaten lain.”

“Mari kita jadi generasi yang fokus memberi daripada menuntut, hingga dapat jadi aktor pembangunan berkelanjutan, dan warga negara yang berdaya.”

 

Peneliti bambu PK Diah Kencana di depan rumpun bambu tabah di Pupuan, Tabanan, Bali, tempat penelitiannya selama 20 tahun terakhir. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

 

***

Foto utama: Setop eksploitasi alam. Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

Exit mobile version