Mongabay.co.id

Jelajah Keindahan Kehidupan di Tamblingan

 

Sekelompok orang sedang bersiap melakukan trekking menyusuri hutan Alas Merta Jati, Kabupaten Buleleng, Bali. Kelompok trekking dibagi jadi dua, satu memulai dari pinggir danau. Kelompok lain memulai dari pinggir jalan raya yang berdampingan dengan hutan Alas Merta Jati. Inilah nama lokal dari hutan yang disakralkan oleh empat desa masyarakat hukum Adat Dalem Tamblingan di Kabupaten Buleleng.

Pos jaga pemandu trekking di Desa Gobleg terlihat kusam. Lebih dari setahun pandemi, pos ini pun lengang, dampak pandemi COVID-19. Ada penanda bertuliskan Koperasi Jasa Pariwisata Amerta Tamba Eling. Inilah pintu timur jalur trekking hutan dan danau Tamblingan yang masih lestari.

Melihat sampah plastik berserakan, kelompok trekking segera memungut, untungnya ada tong sampah di dekat pos. Karena volume sampah terkumpul mencapai setengah karung.

Salah satu peserta berinisiatif membawa satu kresek untuk menampung sampah-sampah plastik lain sepanjang perjalanan. Cuaca sangat cerah, saya menanggalkan jaket di kendaraan agar tak gerah.

Pemandu trekking adalah warga lokal, Ketut Basma. Ia memberikan tongkat sebagai alat bantu pada setiap orang. Rute dimulai dengan menuruni 250 anak tangga. Kami menuruni perlahan sambil ngobrol tentang pohon-pohon yang ditemui.

Anak tangga tak terlalu terjal, mudah dilalui. Di ujung anak tangga, kami disambut sebuah Pura Ulun Danu, tempat persembahyangan umat Hindu yang sangat indah. Pura tidak dikeliling pagar tembok, namun pepohonan yang dijaga ketinggiannya. Agar pura masih terlihat lapang.

baca : Sejenak Melepas Kepenatan di Danau Beratan

 

Anak muda adat Dalem Tamblingan yang kini mempelajari alamnya, salah satunya melalui trekking hutan alas Merta Jati, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dari sisi barat pura, kami melanjutkan perjalanan, melalui jalan setapak yang hampir tertutup semak karena lama tak dilewati. Kami diminta waspada, tak terlalu banyak menyentuh tanaman karena banyak lateng, tanaman yang bisa membuat gatal di kulit.

Tanaman ini tumbuh beragam di Alas Merta Jati. Lateng kidang, ngiu, kau, siap, siatan, dan kenyur. Itulah nama-nama lokal lateng. Bahkan ada lateng yang pohonnya sebesar beringin. Ini adalah jenis tanaman yang paling banyak didiskusikan. Selain jadi pelindung alami, menjaga hutan agar tak mudah diterobos, juga penyimpan air.

Ada juga pohon yang kini langka. Warga lokal menyebut kayu lenguung. Ini adalah bahan material pedau, perahu tradisional di Danau Tamblingan. Perahu tradisional dengan dua kano yang dipasang berdampingan. Pohon ini jika sudah besar usianya sekitar 80-100 tahun. Kalau dibuat pedau, ukurannya cukup luas bisa mengangkut 6 orang dewasa.

Kini, atas kebijaksanaan desa, pohon lenguung ini tak boleh lagi ditebang. Karena itu material pedau saat ini adalah fiber. Zaman dulu, saat masih bisa menebang lenguung oleh warga yang menjadi menega, atau operator pedau, mereka harus tanam bibit sebagai pengganti.

Selama perjalanan di rute yang cukup datar berkelak-kelok ini, suara burung masih cukup nyaring terdengar. Namun, ada sejumlah spesies yang hilang atau sulit ditemukan, seperti curik dan cicalongan. Bahkan di masa lalu pernah ditemukan macan kumbang, rusa, dan babi hutan.

Melihat sisa kelebatannya saat ini, di masa lalu, hutan ini pasti terlihat lebih menakjubkan. Hutan tropis yang indah berdampingan dengan danau. Penyokong sebuah ekosistem yang kaya dan beragam.

baca juga : Menengok Segarnya Air Terjun Banyumala Bali

 

Sejumlah pohon rubuh di dalam hutan alas Merta Jati, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Beberapa pohon terlihat unik seperti pohon yang berukuran sangat besar atau memiliki lubang besar di tengahnya menarik perhatian peserta trekking. Salah satu pohon berusaha diukur dengan merentangkan tangan melingkar menyerupai rantai, diperlukan 13 orang manusia untuk mengelilinginya.

Tak terasa 2,5 jam perjalanan berlalu dan jelang garis akhir mulai terlihat permukaan danau dari balik dedaunan. Danau sangat tenang, hanya beberapa orang terlihat memancing di pinggirannya.

Setelah bisa melihat sekeliling danau, terlihatlah pemandangan indah lain, deretan pedau di pinggir danau. Pada saat hampir bersamaan, kelompok lain yang trekking dari start berbeda juga tiba.

Kami tak sabar menaiki pedau untuk menyeberangi danau menuju area titik kumpul untuk makan siang dan diskusi. Namun, sebuah pura menarik perhatian untuk mengunjunginya di sisi danau. Inilah Pura Dalem, yang paling sering dikunjungi warga termasuk luar desa dengan menyeberangi danau.

Sejumlah pengelola pura nampak tersenyum menyambut. Sebagian orang lalu duduk di pelataran pura untuk berdoa. Berterima kasih atas kebahagiaan dan pengetahuan yang dipelajari dari alam hari ini. Pemangku atau pemimpin pura memercikkan air suci, tirta yang membasuh dahi dan menyegarkan kulit kembali di tengah hari ini.

Setelah itu, satu demi satu memasuki pedau. Tiap pedau dinahkodai menega, sebutan untuk supir perahu yang jadi menega turun temurun.

Sedikitnya lima pedau telah penuh dan dayung mengayuh perlahan. Kami berteriak bersahut-sahutan untuk saling menyemangati mendayung menuju bibir danau.

menarik dibaca : Trekking di Tengah Aroma Kopi dan Cengkeh di Bali Utara

 

Wisatawan sedng mendayung pedau, perahu tradisional di Danau Tamblingan, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Refleksi anak muda Tamblingan

Sebuah pura megah terlihat di dermaga lokasi parkir perahu. Ujung meru bangunan pura terlihat diselimuti kabut. Pura nampak makin sakral. Udara dingin segera menyergap. Begitulah cuaca di sekitar hutan dan danau ini.

Walau sedang panas terik, bisa saja tiba-tiba gerimis, ketika kabut menebal. Namun rongga tenggorokan terasa lebih lapang, aroma tanah dan embun menyergap hidung.

Ketut San dari Desa Gobleg, salah satu jaringan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan mengatakan anak muda mengalami sejarah yang terputus dengan Alas Merta Jati. “Kami ke hutan hanya sebatas ritual tapi tak punya hak. Kurang mengenal hutan yang kami miliki,” kata anak muda ini.

Karena itu, dengan kegiatan pemetaan menelusuri hutan yang diberikan ke anak-anak muda sangat bermanfaat. “Sumber hidup kami di sini, yang menghidupi, bukan sekolah di kota. Lihat pemandangan indah, wah bisa dijual. Ada orang jual ginjal beli iphone, artinya jual sumber hidup. Apakah anak saya bisa nikmati (keindahan) ini nanti,” San merefleksikan dirinya.

Putu Willy dari Desa Gesing menambahkan, ia percaya rna atau hutang. Ia ingin berjanji menjaga Alas Merta Jati, harta yang dititipkan walau makin banyak degradasi dan pencurian. “It’s my time. Sebagai pelaku wisata kenapa jauh mencari sumber penghasilan. Berharap community based tourism. Semua orang bisa menikmati apa yang kita punya,” yakinnya.

penting dibaca : Kawasan Bedugul: Ketika Catur Desa Adat Ingin Kelola Hutan di Hulu Bali [Bagian 1]

 

Wisatawan mendirikan tenda tapi tak boleh menginap selama pandemi di Danau Tamblingan, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Putu Ardana, Ketua Tim 9 masyarakat Adat Dalem Tamblingan yang sedang berjuang mengakses hak hutan adat berkomitmen akan melanjutkan upaya leluhur mereka melindungi kawasan hutan dan danau ini. Karena itu mereka mengakses hak hutan adat karena saat ini masih berstatus Taman Wisata Alam yang dikelola negara.

Leluhur telah mengajarkan mereka untuk tak mengusik hutan melalui sejumlah pengaturan tata ruang. Misal pemukiman ditentukan di daerah yang sulit, miring, dan tidak subur. Agar kawasan hutan tetap lebat. Sumber utama yang tidak boleh utak-atik adalah hutan dan danau.

“Serbuan luar biasa, pemerintah kolaborasi dengan investor. Bawa izin mau buat ini itu. Tapi Alas Merta Jati tak punya legal standing. Kami melanjutkan keinginan lama, karena sejak kemerdekaan sudah jadi hutan negara,” tambah Ardana.

Status hutan negara dan wilayah adat di Tamblingan menurutnya berorientasi investasi. Bukan orientasi pada peradaban. Untuk awalan, mereka menghendaki Surat Keputusan yang menyatakan masyarakat Adat Dalem Tamblingan itu ada. Secara formal ada karena sering diundang. Tapi nomenklatur masyarakat hukum adat tidak ada di Perda Desa Adat.

Selanjutnya kerjasama empat desa adat memohonkan Alas Merta Jati sebagai hutan adat. Pemkab hanya perlu tanda tangan peta bahwa empat desa adat ini mukim di sini. Peta ini sudah disiapkan warga. Namun proses administrasi masih bergulir hingga kini.

Udara makin dingin ketika mentari makin terbenam di ufuk barat. Hujan rintik-rintik membasahi rumput yang terawat dan pepohonan sekitarnya. Terima kasih Alas Merta Jati, kehidupan menuju kebahagiaan jiwa dan raga.

 

Exit mobile version