Mongabay.co.id

Belasan Izin Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut

Sawit dan hutan hujan di sekitar kawasan Proyek Tanah Merah, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

 

 

 

 

Pemerintah Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi telah kaji ulang terhadap izin 30 perusahaan perkebunan sawit dalam dua tahun terakhir. Hasilnya, pencabutan 12 izin perusahaan sawit dan rencana cabut empat perusahaan di provinsi konservasi itu.

Dari luasan itu, ada 267.856,86 hektar izin konsesi sudah dicabut dan 43.689,93 hektar masih poses pencabutan. “Draf surat keputusan untuk mencabut izin empat konsesi ini telah finalisasi, sedang menunggu penandatanganan pihak berwenang,” kata Yacob Fonataba, Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Papua Barat dalam diskusi Mari Cerita (Mace) Papua, akhir Mei lalu.

Adapun lokasi perusahaan yang dicabut itu berada di Sorong Selatan empat perusahaan, Sorong (4), Teluk Bintuni (2), serta masing-masing satu izin perusahaan di Teluk Wondama dan Fakfak.

Petrus Kasihiuw, Bupati Teluk Bintuni, mencabut izin lokasi untuk PT. Bintuni Sawit Makmur pada 23 Maret 2021. Perusahaan ini sebelumnya mendapat izin lokasi seluas 11.776 hektar.

Eduard Nunaki, Pejabat Bupati Wondama, mencabut keputusan perpanjangan izin lokasi seluas 28.880 hektar untuk PT. Menara Wasior. Keputusan dikeluarkan pada 25 April 2021.

Dua hari setelah itu, pada 27 April 2021, Johny Kamuru, Bupati Kabupaten Sorong cabut izin empat perusahaan sawit. Yakni, PT. Sorong Agro Sawitindo, PT. Inti Kebun Lestari, PT. Papua Lestari Abadi, dan PT. Papua Cipta Plantation. Perusahaan-perusahaan ini berturut-turut mendapat IUP seluas 40.000 hektar, 34.400 hektar, 15.631 hektar, dan 15.671 hektar.

Bupati Sorong Selatan juga mencabut izin empat perusahaan. Yaitu PT. Anugerah Sakti Internusa, PT. Internusa Jaya Sejahtera, PT. Persada Utama Agromulia, dan PT. Varia Mitra Andalan. Pencabutan pada Mei 2021.

Untuk izin konsesi yang akan dicabut berada di Sorong Selatan ada dua perusahaan, sisanya masing-masing satu izin perusahaan di Maybrat dan Manokwari Selatan.

Keputusan para bupati ini menyusul proses evaluasi izin perkebunan sawit di Papua Barat. Evaluasi ini sudah berlangsung sejak Juli 2018 di bawah koordinasi Dinas Tananaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Papua Barat. Berbagai pihak terkait terlibat termasuk pemerintah kabupaten di Papua Barat. Laporan hasil evaluasi terbit pada Februari 2021.

 

Baca juga: Bupati Sorong Cabut Izin Kebun Sawit Perusahaan di Wilayah Adat Moi

Bupati Sorong Selatan, melalui Wakil Bupati, Alfons Sesa, menyerahkan SK Bupati tentang Pencabutan Izin empat perusahaan perkebunan sawit. Foto: dokumen warga

 

Pencabutan izin ini lewat kajian. Yacob menyebut, ada beberapa temuan pelanggaran, mulai dari tidak terpenuhi syarat administrasi, pelanggaran izin usaha perkebunan (IUP), lalu pelanggaran atau tidak ada hak guna usaha (HGU).

Dari 30 perusahaan yang dikaji, katanya, lima perusahaan mengaku tak mampu melanjutkan perizinan dan persyaratan hingga mereka pasrah izin dicabut. Satu perusahaan izin sudah dicabut terlebih dahulu oleh Bupati Sorong tahun lalu. “Hingga ada 24 perusahaan yang kami periksa menyeluruh,” katanya.

Ke-24 perusahaan ini memiliki total konsesi 611.440,84 hektar dan 383.431, 05 hektar masih tutupan hutan alam.

“Kami tidak alergi dengan perusahaan sawit, hanya ingin perusahaan itu taat dengan aturan berlaku.”

Benediktus Hery Wijayanto, Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Tananaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Papua Barat mengatakan, jenis izin yang dievaluasi antara lain, izin lokasi, IUP, hak guna usaha (HGU), izin pemanfaatan kayu (IPK), maupun surat keputusan pelepasan kawasan hutan, hingga putusan pengadilan.

Dari proses evaluasi, ada enam konsesi dikembalikan ke pemerintah seluas 52.151,93 hektar.

“Secara sukarela perusahaan menyerahkan sebagian wilayah untuk tidak dilanjutkan dengan berbagai alasan, misal, mungkin tidak feasible secara ekonomi atau beririsan dengan kegiatan lain (oleh) masyarakat ataupun pemerintah,” katanya, akhir Mei lalu.

Penyerahan sukarela ini, katanya, akan mereka tindaklanjuti dengan perubahan surat keputusan gubernur atau bupati dengan mengeluarkan wilayah.

Evaluasi izin sawit di Papua Barat berlandaskan pada Deklarasi Manokwari, Instruksi Presiden Moratorium Sawit Nomor 8/20018, dan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA).

Evaluasi ini juga diharapkan dapat memperbaiki tata kelola izin sawit, mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor sawit, dan menjaga luas tutupan hutan di Papua Barat.

Selanjutnya, kata Yacob, lahan-lahan ini akan kembali kepada negara dan pengelolaan diberikan kepada masyarakat adat.

Hal serupa, katanya, berlaku pada perusahaan yang sudah memiliki HGU tetapi ada temuan pelanggaran.

Berdasarkan temuan lapangan, ada 299.894,05 hektar konsesi dengan HGU bermasalah. Pemprov Papua Barat, katanya, akan berkoordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) untuk mengambil lahan-lahan yang tidak dimanfaatkan agar kembali menjadi negara.

Setelah itu, lahan-lahan ini pun akan agar hak kembali ke masyarakat adat. Dia menyebut, ada beberapa skenario sudah terpikirkan, mulai dari perhutanan sosial, hutan adat hingga pengakuan tanah ulayat komunal.

“Kalau bicara soal ketahanan pangan dalam rangka COVID-19, kami bisa buat lumbung pangan dengan pola kearifan lokal masyarakat adat. Jadi, kalau mereka bilang mau dipakai untuk usahakan satu komoditas, akan kami sesuaikan dengan potensi dan kesesuaian lahan di sana,” kata Yacob.

 

Hutan adat di Sorong, Papua, terbabat perusahaan untuk kebun sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro

 

Terbantu moratorium sawit

Salah satu dasar hukum yang dipakai untuk review dan pencabutan izin konsesi perkebunan sawit di Papua Barat adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit. Atau biasa dikenal dengan Moratorium Sawit.

Cliff Agus Japsenang, Sekretaris Daerah Sorong mengatakan, Pemerintah Sorong sudah lama menemukan banyak konsesi tidak berjalan walau mereka sudah mengantongi izin dan lokasi.

“Praktik seperti ini sudah ketahuan lama, tapi kami terus pertimbangkan regulasi-regulasi. Syukur setelah ada inpres (moratorium sawit), kami bisa jalan,” katanya.

Atas dasar inpres itu, kata Cliff, Bupati Manokwari curi start dengan mencabut izin dari 30 perusahaan perkebunan sawit yang jadi sasaran review perizinan. Dia bilang, masih ada dua perusahaan sedang evaluasi tim.

Inpres ini pun jadi tameng untuk setiap tanggapan dan masukan dari perusahaan sawit yang sedang dikaji di Sorong. “Secara hukum kami akan berupaya mencoba menjelaskan. Langkah yang sudah kami ambil sudah sesuai seperti itu.”

Selain di tingkat kabupaten, provinsi pun menyebut Inpres Moratorium Sawit jadi satu landasan kuat memperbaiki praktik perizinan yang keliru di Papua Barat.

Kalau melihat peraturan ini, kata Yacob, tidak akan ada toleransi pada perusahaan melanggar di Papua Barat.

“Saya tegaskan, Pemerintah Papua Barat komitmen dengan peraturan-peraturan dan akan kolaborasi dengan pemerintah kabupaten untuk cabut pelanggaran oleh perusahaan.”

 

Tidak takut digugat

Hasil review perizinan dengan pencabutan izin ini merupakan langkah berani. Pemerintah Papua Barat tidak gentar andai ada perusahaan menggugat.

“Gugatan adalah konsekuensi. Kami akan klarifikasi jika ada gugatan dan melihat apakah dari langkah-langkah yang kami lewati ada kekurangan. Silakan saja,” kata Yacob.

Semangat sama ditunjukkan Hery Wijayanto. Dia bilang, akan mengantisipasi gugatan dengan gugat balik perusahaan.

“Tidak menutup kemungkinan akan ada gugatan, tapi kami akan siapkan gugatan balik. Ini kami akan bekerjasama dengan KPK, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat. Karena pemerintah tidak bisa bekerja sendirian.”

Dian Patria, Ketua Satuan Tugas Koordinasi Supervisi (Koorsup) Pencegahan Wilayah V KPK tidak khawatir. Dia sangsi perusahaan akan menggugat balik.

Dia mengacu pada kasus pencabutan 6.500 hektar izin pertambangan saat Koorsup mengkaji 11.000 ribu izin di sektor minerba. “Kami bersama Ombudsman waktu itu. Tidak ada gugatan, mungkin karena waktu itu mereka merasa salah. Mereka pernah datang ke KPK dan mengaku salah,” kata Dian.

 

Aksi warga Teminabuan, Sorong Selatan di Kantor Bupati Sorong Selatan, 20 Mei lalu mendesak pencabutan izin perusahaan sawit yang mengancam kehidupan mereka. Foto: Yayasan Pusaka

 

Kerugian negara

Pelanggaran perizinan oleh perusahaan perkebunan sawit ini diperparah dengan praktik konsesi yang enggan membayarkan pajak bumi dan bangunan sektor perkebunan, perhutanan dan pertambangan (PBB-P3).

Dian Patria menyebut, hanya ada 17.000 hektar konsesi dari total 611.000-an hektar dalam IUP yang membayar PBB-P3. “Itu pengakuan dari Kantor Wilayah Pajak. Jadi, sudah tidak ada pajak yang diterima pemerintah, izin juga banyak pelanggaran,” kata Dian.

Pajak memanf masuk ke negara terlebih dahulu, tetapi 90% akan kembali ke daerah. Kalau melihat hanya 17.000 hektar yang masuk ke negara, Papua Barat bisa dikatakan tidak mendapat manfaat dari sektor ini.

Selain itu, kata Dian, banyak pelaku usaha berada di timur Indonesia namun nomor pokok wajib pajak mereka justru terdaftar di Jawa. Kondisi ini membuat potongan pajak penghasilan (PPh) perorangan maupun badan yang ditarik negara hanya masuk ke Pulau Jawa, bukan Papua, terutama Papua Barat.

“Bagi hasil tidak masuk ke Papua. Belum lagi pengawasan jadi lemah karena hal ini, susah mengawasi kantor pajak di sini.”

Dian mengusulkan, perlu didorong agar invesor memiliki kantor jelas di wilayah usaha, tidak hanya kantor kuasa direksi. Tujuannya, agar pengawasan dan NPWP dapat terdaftar di cabang, seperti Papua Barat.

“Hingga nanti dana bagi hasil bisa masuk ke Sorong sampai Sorong Selatan,” kata Dian.

 

Kembalikan ke masyarakat adat

Sem Ulimpa dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malamoi di Papua Barat menyambut baik hasil evaluasi dan rekomendasi pencabutan izin sawit ini.

“Harapannya bukan hanya di sawit juga perusahaan-perusahaan lain seperti tambang dan industri lain.”

Pasca pencabutan, katanya, lahan-lahan ini sudah seharusnya kembali ke masyarakat adat sebagai pemilik ulayat. Di Papua Barat, pemerintah sedang membangun kawasan ekonomi khusus (KEK).

Dia khawatir, lahan-lahan dengan izin dicabut hanya akan berpindah penguasaan ke pihak-pihak baru.

“Kembalikan kepada masyarakat adat. Cari model pembangunan yang masyarakat mampu untuk kelola.”

Sam juga berharap pemerintah tidak lagi memberi izin-izin baru tetapi fokus menata yang sudah ada.

“Cukup. Proteksi yang ada. Manajemen seperti apa, selama ini sudah memberi kesejahteraan kepada masyarakat atau belum, sudah memberikan pendapatan kepada pemerintah secara baik sesuai aturan atau belum, Soal lingkungan, seperti apa, limbah seperti apa.”

Aksi masyarakat menolak sawit gencar terjadi di Papua Barat. Sebelumnya AMAN Malamoi bersama jaringan masyarakat sipil di Kabupaten Sorong, mendorong pencabutan izin PT. Mega Mustika Plantation. Izin perusahaan ini dicabut Bupati Sorong pada 2020.

 

Kawal bersama

Pemprov Papua Barat sudah memiliki konsep terkait lahan dari perizinan yang dicabut. Kalau ini tidak ditindaklanjuti dengan seksama, terutama dengan melibatkan banyak pihak, maka konsep ini berpotensi tidak jalan.

Sselama ini, katanya, belum ada praktik terbaik yang bisa ditiru, terutama soal pengembalian area penggunaan lain yang dicabut. “Yang ada kejadian malah tambah terlantar. Untuk itu, tanah terlantar ini perlu dipetakan,” kata Dian.

Dian bilang, perlu ada koordinasi dan keroyokan dari banyak pihak. Selain karena anggaran terbatas, keterlibatan banyak pihak juga jadi satu cara memastikan lahan ini kembali ke masyarakat.

Terkait hal ini, apa yang dilakukan Perkumpulan Generasi Muda Malaumkarta di Kabupaten Sorong bisa jadi contoh. Mereka berhasil memetakan hutan adat berdasarkan wilayah dan kepemilikan marga.

Mereka pun pernah riset valuasi ekonomi pada 2017 bersama peneliti dari AMAN, Universitas Indonesia serta Universitas Gadjah Mada. Mereka berkesimpulan, kalau hasil pendapatan real masyarakat di kawasan hutan melebih bagi hasil migas.

Menurut dia, masyarakat adat perlu regulasi jelas untuk perlindungan mereka yang hidup di kawasan hutan.

 

 

****

Foto utama: Ilustrasi.  Sawit dan hutan hujan. Pemerintah Papua Barat, mencabut belasan izin kebun sawit yang sebagian masih bertutupan hutan alam.  Foto oleh Nanang Sujana

Exit mobile version