Mongabay.co.id

Harus Ada Solusi, Penanganan Sampah Plastik di Lampung

 

 

Sampah plastik merupakan persoalan penting yang dihadapi Provinsi Lampung saat ini.

Data Dinas Lingkungan Hidup [DLH] Provinsi Lampung menunjukan, tiap masyarakat rata-rata menghasilkan sampah sebanyak 0,45 kilogram/hari. Sementara, masih berdasarkan data DLH 2020, timbunan sampah di Lampung mencapai 1.630.317,05 ton/tahun.

Achmad Jon Viktor, Kasi Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Lampung, mengatakan keadaan ini tidak terlepas dari fenomena belanja sistem online. Menurut dia, banyak masyarakat yang menggunakan jasa kirim dengan plastik yang berlapis.

“Bahkan kalau kita lihat di dalamnya itu ada plastik pengaman, kemudian plastik luar. Tren cara pembelian yang demikian membuat sampah plastik bisa diperkirakan meningkat,” katanya, pertengahan Mei 2021.

Ia menjelaskan, kendala Pemerintah Lampung dalam mengelola sampah plastik sekali pakai adalah minimnya sarana prasarana. Secara umum, armada angkutan sampah belum memadai dan pemanfaatan kembali sampah plastik baru sebatas mengharapkan bank sampah dan lapak rongsok.

“Saya berharap, suatu saat Lampung bisa mengembangkan investasi untuk pengelolaan sampah. Jadi di sini ada sistem pabrikasinya. Termasuk untuk pembuatan biji plastik, kemudian pengadaan mesin pencacah sampah organik maupun sampah plastik.”

Menurut Viktor, upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Lampung untuk mengurangi sampah adalah berkoordinasi dalam hal pengelolaan dengan dinas di tingkat kabupaten dan kota. Selain itu, pihaknya juga mengadakan sosialisasi terutama di daerah yang belum menerima layanan angkutan sampah.

“Fokus kami untuk sosialisasi baru di pedesaan, karena di desa harus punya kemandirian. Harus ada peran dari pemerintahan desa. Bumdes perlu melakukan bisnis layanan angkutan sampah. Kami melakukan pembinaan,” katanya. Selain itu, menurut dia, Pemerintah Provinsi Lampung sedang berupaya menerbitkan peraturan daerah [perda] tentang pengelolaan sampah.

Baca: Sampah, Sumber Segala Masalah Lingkungan di Teluk Lampung

 

Seorang anak kecil terlihat mencari sampah yang dapat dimanfaatkan kembali di TPA Bakung Bandar Lampung. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Masalah serius

Irfan Tri Musri, Direktur Eksekutif Walhi Lampung, menuturkan sampah plastik merupakan persoalan serius yang harus ditangani karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Terkait pembungkus belanja online yang tidak sustainable, menurutnya yang dapat dilakukan pemerintah adalah menekan produsen agar ikut bertanggung jawab dengan sampah yang dihasilkan.

“Pemerintah sebaiknya bisa “menekan” pihak ketiga atau produsen agar turut melakukan pengolahan ataupun pembatasan sampah plastik,” katanya, akhir Mei 2021.

Selain itu, Pemerintah Lampung juga dapat mendorong pasar ritel seperti minimarket dan supermarket untuk mengurangi penggunaan plastik. “Hal ini bisa menjadi langkah awal untuk meminimalisir sampah plastik di Lampung,” kata dia.

Sejauh ini, menurut Irfan, penanganan sampah hanya berakhir di tempat pembuangan akhir [TPA], tanpa dilakukan pengolahan.

“Kalau kita ambil contoh, wilayah urban seperti Bandar Lampung juga belum bisa memaksimalkan pengelolaan sampah yang baik dan berkelanjutan. Tidak hanya sebatas angkut, tumpuk, buang.”

Pengelolaan sampah yang baik sifatnya desentralisasi. Yakni, dengan melakukan pemilahan dari tingkat tapak kemudian dilanjutkan pada tingkat tempat pembuangan sementara sampai TPA. Namun, dibarengi juga dengan sarana dan prasarana serta infrastruktur memadai.

“Percuma bila masyarakat sudah sadar, sudah melakukan pemilahan, tapi pada faktanya ketika dilakukan pengangkutan tetap dijadikan satu tumpukan. Tentu hal itu jadi sia-sia,” ujarnya.

Baca: Ramah Lingkungan, Anggraeni Percaya Diri Kembangkan Ecoprint di Lampung

 

Penanganan sampah di Lampung harus ada solusi, tidak sekadar diangkut dan ditumpuk. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Dampak sampah terhadap lingkungan

Dicky Hidayat, Dosen Kimia Fakultas MIPA Universitas Lampung, menuturkan dampak sampah plastik yang tidak tertangani dapat mencemari lingkungan dan sulit terurai. Terlebih, pemanfaatan sampah di Lampung masih sangat sedikit.

“Materialnya anorganik, jadi sulit terurai. Prosesnya dari polimer yang dibentuk dari bahan-bahan asal minyak. Itu yang menyebabkan sulit terurai, rata-rata butuh 30-100 tahun. Ini yang kalau di lingkungan menyebabkan kerusakan dalam proses siklus lingkungan,” terangnya, pertengahan Mei 2021.

Menurut Dicky, dampak sampah plastik akan makin terasa saat mencemari saluran-saluran air dan masuk tubuh manusia dalam bentuk mikroplastik.

“Mikroplastik bila masuk dalam tubuh manusia bisa menyebabkan kanker dan penyakit lain. Bisa juga menyebabkan kegagalan multiorgan. Paling bahaya akan menyerang ginjal dan hati karena sifatnya sangat beracun.”

Menurut dia, sampah plastik yang tidak tertangani juga dapat mencemari pesisir. Hasil observasi sepuluh tahun terakhir yang dilakukan Dicky terhadap sampah plastik dan logam berat di Teluk Lampung, keberadaannya mencapai radius 3 kilometer dari bibir pantai.

“Dari hasil riset kandungan PAH [Polyaromatik Hidrokarbon] juga cukup tinggi, semacam senyawa kimia yang merupakan hasil penguraian sampah plastik berasal dari bahan oleokimia,” paparnya.

Baca juga: Inilah Kambing Saburai, Kekayaan Genetik Asli Lampung

 

Tumpukan sampah di TPA Bakung Bandar Lampung yang sebagian jumlahnya adalah plastik. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Sebelumnya, berdasarkan survei online Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], yang dilakukan saat pandemi pada warga Jabodetabek terhitung 20 April hingga 5 Mei 2020, hasilnya menunjukan belanja online cenderung meningkat selama masyarakat melakukan Work From Home. Dari yang sebelumnya hanya 1 hingga 5 kali belanja daring dalam satu bulan, menjadi 1 hingga 10 kali.

Padahal menurut survei LIPI, 96% paket dibungkus dengan plastik sekali pakai. Plastik yang dipakai biasanya merupakan plastik tebal ditambah bubble wrap, bungkus plastik, dan selotip.

“Hanya separuh dari warga yang memilah sampah untuk didaur ulang. Hal ini berpotensi meningkatkan sampah plastik dan menambah beban tempat pembuangan akhir selama WFH,” ujar peneliti Pusat Penelitian Oseonografi LIPI, Intan Suci Nurhati, dilansir dari situs resmi LIPI.

Bagaimana solusinya?

Menurut Intan, hal paling mendasar adalah meminta penjual untuk mengurangi pembungkus plastik. Kita juga dapat memanfaatkan kembali pembungkus plastik setelah dibersihkan, lalu dipilah untuk didaur ulang.

“Mari kita sama-sama mengurangi sampah plastik,” ajaknya.

 

* Chairul Rahman ArifMahasiswa Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Tertarik menulis isu lingkungan.

 

 

Exit mobile version