Mongabay.co.id

Kasus Lahan dengan PTPN V, Masyarakat Adat Pantai Raja Menanti Keadilan

Sidang lapangan kasus lahan antara Masyarakat Adat Pantai Raja dan PTPN V. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kasus lahan Masyarakat Adat Pantai Raja dan PT Perkebunan Nusantara V berujung di pengadilan. Kesepakatan demi kesepakatan dengan Masyarakat Adat Pantai Raja, tak kunjung ada realisasi dari perusahaan pelat merah ini. Warga pun duduki lahan sengketa. PTPN V menggugat 14 warga Desa Pantai Raja, Kecamatan Perhentian Raja, Kampar, Riau. Gugatan sebesar Rp14,5 miliar ini lantaran warga sempat menutup aktivitas panen sawit dan angkut minyak mentah hampir satu bulan.

Mereka yang kena gugat adalah Bakhtiar, Ali Amran, M Yunis, Abu Salim, Abadilah, Barisno dan Rusdianto. Kemudian Paidi, Djamalus, Putra Abadi, Jufrizal, Dendi Zulheri, Zaini serta Gusdianto. Sebagai turut tergugat, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kampar dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Setelah periksa tiga saksi yang diajukan PTPN V, majelis hakim PN Bangkinang yang diketuai Riska Widiana bersama dua anggota, Syofia Nisra dan Ferdi, langsung agendakan sidang pemeriksaan lapangan.

Peninjauan lahan sengketa berlangsung pada 21 Mei lalu di Desa Hang Tuah, Kecamatan Perhentian Raja, Kampar, Riau. Persisnya di Afdeling 1, Kebun Sei Pagar, yang saat ini bagian kelola PTPN V.

Khairud Zaman , Kepala Desa Pantai Raja yang hadir di lokasi, mengatakan, wilayah Hang Tuah merupakan pembagian dari Pantai Raja. Dia coba luruskan anggapan keliru yang mengira Hang Tuah adalah desa induk.

Wilayah administrasi Pantai Raja diresmikan pada 1978, Hang Tuah baru berdiri pada 1994. Saat ini, areal yang bersengketa berada di Hang Tuah.

Sejarahnya, ketika PTPN V datang membabat ribuan hektar pohon karet masyarakat pada 1984, lalu mengganti dengan sawit atasnama program Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Artinya, kebun-kebun itu berasal dari Pantai Raja.

Sidang pemeriksaan setempat itu tak langsung turut menggerakkan masyarakat adat Pantai Raja, terutama para perempuannya. Sebelum para pihak maupun majelis tiba di lokasi, masyarakat kumpul lebih awal dan menunggu di sekitar lapangan bola, dekat perumahan karyawan kebun PTPN V.

 

Baca juga: Konflik Lahan Masyarakat Adat Pantai Raja vs PTPN V Tak Kunjung Usai

Masyarakat Adat Pantai Raja menyaksikan sidang lapangan atas kasus lahan mereka dengan PTPN V. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Mereka gelar tikar di atas rumput dan di bawah pohon rindang sambil menikmati kudapan yang dibawa dari rumah masing-masing.

Saat rombongan kendaraan majelis dan kuasa hukum PTPN V tiba, para perempuan tadi langsung mendekat sambil mengangkat beberapa poster. Isinya pesan untuk Presiden Joko Widodo, antara lain, menyoal keadilan dan kepastian hukum yang jadi prioritas presiden dalam penyelesaian masalah . Juga soal ingkar janji PTPN V setelah dua kali bikin kesepakatan dengan masyarakat, minta bantuan supaya masalah penyerobotan lahan oleh PTPN V, selama lebih dari tiga dekade segera selesai.

Tidak hanya itu, perempuan adat Pantai Raja juga ramai-ramai bentang spanduk panjang yang menampilkan wajah Jokowi. Mereka tuangkan kronologis singkat penyerobotan lahan oleh PTPN V dan beberapa kesepakatan yang pernah diambil. Inti dari pesan spanduk ini, meminta Jokowi turun langsung selesaikan masalah perampasan lahan PTPN V sejak 1984.

Majelis tidak terlalu memperhatikan aksi masyarakat. Tak jauh dari itu, setelah memastikan kedua pihak hadir berperkara hadir, Riska Widiana langsung buka sidang dengan berdiri di sekililing para pihak maupun orang-orang yang hendak menyaksikan sidang terbuka ini.

Sidang pemeriksaan berlangsung sekitar empat jam mengelilingi areal sengketa sekitar 150 hektar. PTPN V diwakili kuasa hukum membawa selembar peta yang diarsir.

Berdasarkan itu, mereka tunjukkan sembilan batas untuk diambil titik koordinat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kampar. BPN Kampar juga turut tergugat dalam perkara perdata ini.

Gusdianto, kuasa hukum tergugat—14 perwakilan Masyarakat Adat Pantai Raja—membawa global positioning system (GPS) dan menunjukkan tujuh titik koordinat pada majelis.

Kuasa hukum masyarakat langsung bacakan titik koordinat yang ditulis di kertas hvs pada tiap batas yang didatangi.

Beberapa titik ada yang berbeda dari masing-masing pihak. Batas-batas yang ditunjukkan PTPN V ditandai patok-patok lebih baru ketimbang patok-patok versi Masyarakat Adat Pantai Raja. PTPN V mengakui, tanda batas ini patok lama yang pernah mereka buat.

“Tetap masih dalam peta yang kami arsir ini yang mulia,” kata Kuasa Hukum PTPN V Wahyu Awaludin, tiap kali ketua majelis tanya keabsahan titik yang ditunjuk kuasa hukum masyarakat.

Menurut tokoh Pantai Raja, sejak PIR kebun sawit, PTPN V sebagai pelaksana proyek menebang 1.013 hektar areal masyarakat kebanyakan kebun karet.

Sepanjang gejolak terjadi, beberapa kali upaya penyelesaian masalah dilakukan antar kedua belah pihak. Kesepakatan pertama pada 6 April 1999. Kala itu, Direktur Produksi PTPN V SN Situmorang mengakui, kebun inti PIR Trans yang sekarang dinamai Afdeling I Sei Pagar masuk dalam 150 hektar kebun karet Masyarakat Adat Pantai Raja. Pengakuan itulah yang dituntut Masyarakat Adat Pantai Raja sampai saat ini karena tak kunjung terealisasi.

Dua tahun lalu, juga ada perjanjian baru, setelah Komnas HAM turun langsung sebagai fasilitator penyelesaian konflik. PTPN V bersedia bangun kebun sawit 400 hektar dengan pola kerja sama Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Meski, sebenarnya masyarakat enggan karena mereka harus berutang dengan model seperti itu.

 

Hakim, kuasa hukum dari warga adat Pantai Raja dan kuasa hukum PTPN V, beserta menuju lokasi sidang lapangan di Kampar. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Namun, lokasi tidak dalam areal kelolaan PTPN V saat ini. Beberapa bulan mencari, masing-masing pihak sempat dapatkan bakal lahan di sekitar Kuantan Singingi. Tawaran terakhir itu juga tak kunjung terwujud.

Selain menunjukkan areal 150 hektar, Masyarakat Adat Pantai Raja juga membawa majelis meninjau satu hamparan kebun karet tersisa milik Syamsumir, warga yang gigih menghadang alat berat PTPN V kala itu.

Kini, kebun ini tersisa sekitar tiga hektar dengan pohon-pohon karet besar terkepung kebun sawit.

Kuasa hukum PTPN V ogah ikut ajakan Gusdianto, kuasa hukum Masyarakat Adat Pantai Raja. Wahyu Awaludin menolak, karena menganggap areal itu tidak masuk dalam pengelolaan mereka dan bukan bagian obyek sengketa.

Tujuan Gusdianto dan masyarakat menunjukkan kebun karet tersisa semata-mata hendak buktikan sebelum PTPN V menguasai lahan, masyarakat terlebih dahulu mengelola sebagai sumber kehidupan. Beruntung majelis tidak keberatan dengan tawaran ini.

Usai dari kebun karet Syamsumir, majelis kembali ke lokasi awal titik kumpul dan menutup sidang di sana. Sebelum beranjak ke kendaraan, Pikno, seorang perempuan adat yang sudah berumur lanjut, menahan Riska Widiana.

Pikno minta majelis berpihak pada Masyarakat Adat Pantai Raja yang berusaha cukup panjang dapatkan kembali lahan mereka. Pikno juga sampaikan perjuangan suaminya ketika berupaya mempertahankan kebun karet mereka dari gempuran PTPN V, meski semua telah lenyap.

“Kami menuntut hak kami 150 hektar yang dirampas PTPN V. Kami menunggu sampai saat ini. Waktu suami kami berkebun, hanya ubi, pisang dan jagung yang dimakan, bukan nasi. Waktu perusahaan tebang pohon karet, suami saya tertimpa pohon dan hampir sesat pulang ke rumah. Tolonglah kami. Ke mana lagi kami minta tolong? Pengadilan inilah kami minta tolong,” kata Pikno, sembari memegang tangan Riska.

Perempuan Adat Pantai Raja lain ikut mengerumuni percakapan itu, pun serempak mengucapkan permintaan sama pada ketua majelis. “Bantulah kami, bu hakim. Tegakkanlah keadilan.”

Riska merespon harapan Pikno dengan meminta para perempuan bersaksi di pengadilan. “Itulah gunanya kami turun ke sini melihat lokasi. Persidangan ini memang harus diperiksa semua. Nanti, hadirkanlah semua yang tahu sejarahnya. Semua harus sesuai bukti,” kata Riska, mengikuti bahasa lokal masyarakat adat setempat. Setelah itu, dia langsung berpamitan dengan masyarakat.

 

***

Sejak aksi pendudukan dan blokade lahan di Afdeling I Sei Pagar, Agustus tahun lalu, perempuan-perempuan adat Pantai Raja kembali beranikan diri perjuangkan hak mereka. Sepanjang bulan puasa lalu, tiap minggu, mereka berbondong-bondong meramaikan mesjid maupun surau, untuk baca yasin bersama jamaah laki-laki.

Mereka berdoa supaya sengketa lahan dengan PTPN V segera berakhir. Mereka juga selipkan harapan agar para pihaj memihak masyarakat. Doa juga memohon majelis hakim beri putusan yang berkeadilan bagi masyarakat.

Pada kesempatan itu, para tokoh adat selalu beri pesan positif, menggugah semangat masyarakat dalam menghadapi perlawanan hukum dari PTPN V.

Tradisi baca surat yasin biasa dilakukan Masyarakat Adat Pantai Raja, bila menghadapi masalah tak kunjung selesai. Sepanjang konflik dengan PTPN V, terutama awal sengketa, mereka juga melakukan hal sama. Hal-hal yang terjadi di tengah Masyarakat Adat Pantai Raja, selama hajatan itu berlangsung, pun diyakini ada hubungannya dengan doa-doa yang mereka bacakan bersama.

Pada sidang 5 Mei lalu, perempuan adat Pantai Raja pun ramai-ramai datang ke Pengadilan Negeri Bangkinang dengan mobil pick up. Di sela-sela pemeriksaan saksi dari PTPN V, para perempuan itu berdiri depan pintu di luar ruang sidang, sambil mengangkat poster yang mereka tulis di atas potongan kertas plano.

Lewat selebaran itu, mereka sampaikan kegeraman terhadap PTPN V, dan berharap pada majelis memakai hati nurani menegakkan keadilan.

 

Para perempuan adat kala aksi di pengadilam. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Rosdiana, perempuan adat Pantai Raja mengatakan, mereka berkebun dan berladang sejak 1973, jauh sebelum PTPN V hadir. Perusahaan plat merah itu datang ketika pohon-pohon karet masyarakat tumbuh tinggi dan besar. Hari-hari damai masyarakat menyadap getah seketika berubah jadi suasana mencekam, saat pohon-pohon karet tumbang, siang maupun malam.

Gara-gara itu, mereka harus cari lahan baru untuk memenuhi kebutuhan di rumah. “Sekarang, kami hanya minta 150 hektar yang diakui itu saja meski sebenarnya 1.000-an hektar telah dirampas,” kata Rosdiana.

Yurni, perempuan adat lainnya mengatakan, mereka memperjuangkan hak orangtua telah dirampas. Dia tidak akan menyerah. Dia masih ingat masa kanak-kanaknya, ketika digendong orangtua berjalan kaki beberapa kilometer saat pergi ke kebun.

“Mohon pada hakim, kembalikan hak masyarakat dan orangtua kami. Sampai saat ini tidak pernah ada ganti rugi. Orangtua kami telah meninggal. Kami hanya meneruskan perjuangannya.”

Sidang gugatan PTPN V terhadap Masyarakat Adat Pantai Raja masih berlangsung. Pasca sidang lapangan, majelis beri kesempatan kuasa hukum masyarakat hadirkan para saksi.

PTPN V gugat 14 perwakilan masyarakat adat Pantai Raja sebesar Rp 14,5 miliar, gara-gara masyarakat sempat menutup aktivitas panen sawit dan angkut minyak mentah hampir satu bulan.

 

 

****

Foto utama: Sidang lapangan kasus lahan antara Masyarakat Adat Pantai Raja dan PTPN V. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version