Mongabay.co.id

Bagaimana Restorasi Gambut di Area Konsesi? Berikut Temuan Koalisi

Karhutla di Muarajambi pada 2021. Foto: Yitno Suprapto/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Pasca kebakaran hutan dan lahan pada 2015, pemerintah berupaya lakukan pemulihan lahan gambut sekitar 2 juta hektar di tujuh provinsi prioritas. Setelah berjalan lebih lima tahun, koalisi masyarakat sipil melakukan kajian dan menemukan pelanggaran komitmen perlindungan gambut di area konsesi di Sumatera dan Kalimantan. Perlindungan dan pemulihan gambut di konsesi pun minim transparansi.

Jaringan kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) bersama koalisi masyarakat sipil lain melakukan pemantauan lapangan terhadap realisasi komitmen no deforestation, peat and exploitation (NDPE) dalam 16 konsesi hutan tanaman industri di Riau, Jambi, Sumatea Selatan dan Kalimantan Barat. Hasilnya, mereka masih menemukan komitmen perlindungan gambut minim dan terjadi konflik dengan masyarakat.

Yaya Nurul Fitria, Manajer Riset dan Media Jikalahari mengatakan, pemantauan koalisi lakukan sepanjang 2020 bersama dengan Walhi Riau, Walhi Jambi, Walhi Sumatera Selatan dan Pontianak Institut (POINT) termasuk Walhi Kalimantan Barat.

“Masih ditemukan ada penebangan hutan alam, kebakaran hutan dan lahan serta minim upaya merestorasi gambut yang rusak,” katanya.

 

Dokumen: Laporan pemantauan perlindungan dan pemulihan gambut di konsesi

Sumber: hasil lapangan pemantauan koalisi

 

Satu contoh di konsesi PT RAPP Pulau Padang, pada areal peta indikatif restorasi Badan Restorasi Gambut dalam zona prioritas restorasi pasca terbakar 2015-2017 ditemukan tanaman akasia berumur empat sampai lima tahun dan siap panen. Di sekitar, ada tumpukan kayu baru panen dan bibit akasia siap tanam.

Tak hanya itu di areal sama juga ada aktivitas pencucian kanal dengan ukuran lebar lima meter, kedalaman tiga meter sepanjang dua km. Ada juga akasia berumur sekitar dua sampai tiga tahun di zona biru atau lindung gambut dan ada pondok berterpal biru untuk pekerja penanaman.

Kebakaran berulang dan menanam kembali lahan, pemanenan yang jadi zona prioritas restorasi, antara lain, PT Seraya Sumber Lestari, PT Rimba Mandau Lestari, PT Sumatera Riang Lestari, PT Sumatera Gaja Pati, dan lain-lain.

SRL, salah satu mitra RAPP, dalam pemantauan ada temuan buka lahan baru gunakan ekskavator di zoa merah atau prioritas restorasi pasca terbakar

Bahkan, koalisi tidak menemukan upaya restorasi perusahaan di areal prioritas, seperti PT Balai Khayang Mandiri. “Masih ditemukan upaya restorasi setengah-setengah, ada yang melakukan tapi tidak maksimal, ada yang belum sama sekali. Ditemukan pula konflik dengan masyarakat dan satwa,” kata Yaya.

Berdasarkan hasil pemantauan Walhi Kalimantan Barat terdapat 12 konsesi di Kabupaten Ketapang tidak ada upaya serius pemulihan ekosistem gambut. “Padahal, tanggung jawab pemulihan atas kerusakan gambut dalam wilayah jadi kewajiban penanggungjawab usaha,” kata ujar Agapitus, Dewan Daerah Walhi Kalimantan Barat.

Sementara, bila kewajiban pemulihan tidak dilakukan penanggungjawab usaha, pemerintah menetapkan pihak ketiga untuk pemulihan gambut dengan biaya ditanggung penanggungjawab usaha.

Dari 124 kesatuan hidrologi gambut (KHG) di Kalbar dengan luas 2.817.292 hektar, 19 KHG seluas 625.049 hektar (22,18%) berada di Ketapang. Dari luasan itu, sekitar 429.674 hektar (68,74%) mengalami kerusakan. Dari luas ekosistem gambut di Ketapang, 147.255 hektar fungsi lindung dan 282.418 hektar budidaya.

Dalam pemantauan mereka mendatangi 511 titik pada 12 konsesi pemegang HPH dan HTI serta izin usaha perkebunan pada delapan KHG prioritas di Ketapang. Mereka memantau areal bekas terbakar, tutupan hutan dan infrastruktur pembasahan menemukan bahwa upaya pemulihan gambut masih rendah atau tak maksimal.

 

Baca juga: Riau Masuki Kemarau, Waspada Kebakaran Gambut

Sumber: pemantauan lapangan koalisi

 

Hendrikus Adam dari Walhi Kalbar mengatakan, dalam Pasal 6 Permen LHK Nomor P.16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Ekosistem Gambut, penanggunjawab usaha dan atau kegiatan wajib pemulihan fungsi ekosistem gambut.

Begitu pula Peraturan Pemerintah No 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut, dalam Pasal 30 juga menegaskan hal serupa.

“Pada areal konsesi bekas terbakar tidak terlihat upaya penanaman kembali. Pada areal bekas tebangan ternyata berada pada areal gambut dengan fungsi lindung dan tidak ditemukan infrastruktur pembasahan gambut,” katanya, meskipun di beberapa areal berkonsesi sudah lakukan sekat kanal, namun secara aturan hukum masih belum tepat.

Satu contoh di areal PT MPK, temuan di perusahaan pemegang HPH ini ada sekat kanal ternyata tumpang tindih dengan perkebunan sawit. “Bahkan, dari analisis spasial Walhi Kalbar, juga ditemukan tumpang tindih antara areal konsesi dengan yang peta PIPPIB 2019,” kata Adam.

Agapitus mengatakan, kepatuhan perusahaan dalam merestorasi ekosistem gambut sangat rendah. Ibarat ‘panggang jauh dari api.’

Proses pemulihan gambut juga dinilai tak transparan hingga menjadi celah pengabaian dari pemerintah maupun korporasi, serta pemantauan publik yang belum kuat.

“Sebenarnya, restorasi ini kan ada kaitan dengan revisi RKU (rencana kerja usaha) yang dibuat perusahaan, lalu area-area masuk prioritas restorasi gambut itu harusnya masuk dalam RKU. Tetapi transparansi perusahaan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak ada.”

 

Sejak tahun lalu, Jikalahari sudah memantau dan meminta pemerintah maupun perusahaan membuka RKU namun tidak ada. “Ini membuat masyarakat tidak tahu apakah areal itu masuk zona linfung atau area prioritas, atau diubah jadi areal kerja mereka. Kami berpedoman ke peta PIR (peta indikatif restorasi) BRG,” katanya.

Mongabay berupaya menghubungi Sigit Reliantoro, Plt Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan dan Sri Parwati Murwani Budisusanti, Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tetapi tak mendapatkan respon.

Hartono Prawiraatmadja, Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove mengatakan, mereka bersama KLHK sedang mendesain restorasi gambut kolaboratif berbasis KHG.

“Jadi, meskipun di lapangan penanggung jawab restorasi gambut berbeda, tetapi semua pihak akan mengacu kepada rancangan restorasi yang sama,” katanya. Untuk penanganan restorasi di area konsesi berada di KLHK.

 

Lokasi terbakar di hutan lindung gambut Londerang 14 Agustus 2019 yang terbakar walau telah dilakukan restorasi. Di sekeliling hutan lindung ini merupakan konsesi-konsesi perusahaan yang pelaksanaan restorasi gambutnya minim transparansi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Konflik dengan masyarakat

Hasil pemantauan juga temukan ada konflik sosial antara masyarakat adat hingga masyarakat sekitar hutan yang masih meruncing dan berujung pada kekerasan. PT Arara Abadi, misal, satu perusahaan yang terus berkonflik dengan Masyarakat Adat Sakai.

“Tanah ulayat Suku Sakai ditanami akasia, bahkan di areal kuburan tua milik Suku Sakai. Konflik ini berujung dengan kriminalisasi, Bongku bin Jelodan yang menebang akasia Arara Abadi untuk tanam ubi manggalo,” kata Yaya.

Konflik baru-baru ini terjadi antara PT Toba Pulp Lestari di Sumatera Utara, Roganda Simanjuntak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak mendorong agar Otoritas Jasa Keuangan bersikap tegas dalam menertibkan atau menerapkan regulasi lebih ketat agar tak lagi ada lembaga pembiayaan mendanai korporasi-korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan.

Berdasarkan riset TuK Indonesia, luas penguasaan hutan oleh para korporasi di Kalimantan dan Sumatera mencapai 73,7%, Papua 13,2%, Sulawesi 5,3% dan lain-lain 7,9%.

Berdasarkan grup usaha terluas, dari hasil riset, ada delapan grup besar yang menguasai hutan Indonesia, antara lain, APP Group 3,323 juta hektar di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Riau, Jambi dan Papua, Kemudian, APRIL Group sekitar 1,026 juta hektar di Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau.

Ada juga Kertas Nusantara Group 300.000 hektar di Kalimantan Timur dan Aceh, Marubeni Group sebanyak 295.000 hektar di Sumatera Selatan dan Alas Kusuma Group sekitar 281.000 hektar di Kalimantan Barat. Kemudian Djarum Forestry 254.000 hektar di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, Korindo dan Oji Holdings 175.000 hektar di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.

 

 

****

Foto utama:  Kala restorasi gambut di konsesi tak jelas, kebakaran pun terus terjadi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version