Mongabay.co.id

Begini Mitigasi Tsunami dan Gempa Megathrust Selatan Jawa

Pengunjung memotret gelombang tinggi yang menghantam tebing di Tembeling, Nusa Penida, Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sejak akhir 2020 mengevaluasi terjadi peningkatan kejadian gempa bumi di sejumlah titik dan kluster. Terutama di lepas pantai Selatan Jawa Timur, Selat Sunda, Selatan Jawa Tengah dan Barat Mentawai.

Kepala BMKG, Profesor Dwikorita Karnawati menuturkan frekuensi kegempaan mengalami lompatan dengan berbagai magnitudo. Pada 2008 terjadi 4 ribu kali gempa, 2009 terjadi gempa 4.390 kali, 2010 meningkat 5.869 kali, 2011 turun menjadi 4.184, 2012 melonjak 6.730, 2013 turun 4.234 kali, 2014 naik tipis 4.434, 2015 naik menjadi 5.299, 2016 bertambah 5.646, 2017 melompat 7.169, 2018 melonjak 11.920, 2019 turun tipis 11.588, 2020 terjadi 8.258 kali gempa.

“Gempa bermagnitudo di bawah lima,” kata Profesor Dwikorita Karnawati dalam Webinar Kajian dan Mitigasi Gempa dan Tsunami di Jawa Timur pada Jumat (28/5/2021).

Sedangkan catatan kegempaan di Jawa Timur pada 2008 tercatat 68 kali, 2009 sebanyak 177 kali gempa, 2010 terjadi 285 kali gempa, 2011 turun menjadi 263, 2012 melompat hingga 512 kali, 2013 turun terjadi 195 gempa, 2014 gempa sebanyak 127 kali, 2015 terjadi 224 gempa, 2016 melompat menjadi 655 kali, pada 2017 ada 453 kali gempa, 2018 terjadi 554 kali gempa, 2019 sebanyak 500 kali gempa dan 2020 sebanyak 512 kali.

Sebelum terjadi gempa berpusat di selatan Malang bermagnitudo 6,1 pada 10 April 2021 lalu, diawali dengan peningkatan gempa kecil. “Kami curiga sejak akhir 2020. Sebulan terjadi 300-400 kali gempa, tapi sejak Januari melompat hingga 600 kali,” katanya.

Aktivitas gema di Jawa Timur sangat aktif, terlihat dari data terbaru maupun catatan sejarah. Generator gempa di Jawa Timur, katanya, bersumber dari zona subduksi lempeng di Samudra Hindia dan sesar aktif di daratan. “Atas data dan sejarah tersebut kajian Pusat Studi Gempa Nasional magnitudo tertinggi mencapai 8,7,” katanya.

baca : Begini Mitigasi Gempa dan Tsunami di Malang

 

Aktivitas kegempaaan Jawa Timur periode 2008 – 2020. Foto : screenshoot webinar

 

Catatan BMKG ada zona gelap kegempaan atau celah seismik (seismic gap) yang perlu diwaspadai. Zona yang seharusnya relatif aktif secara tektonik, katanya, namun jarang terjadi gempa secara signifikan dalam jangka waktu yang relatif lama. “Zona seismic gap ini belum melepaskan energi gempa. Energi tersimpan dan terakumulasi. Harus diwaspadai,” katanya.

Catatan sejarah kegempaan, ada sembilan gempa merusak yang terjadi di Jawa Timur pada 1836 sampai 1972. Kekuatan gempa dengan intensitas guncangan atau magnitudo 7 yakni Gempa Mojokerto terjadi 22 Maret 1836, Gempa Madiun 10 November 1862. Gempa Tulungagung 10 Agustus 1902, Gempa Pacitan 27 September 1937 kekuatan 7,2, gempa Lamongan 11 Agustus 1939, gempa Malang 10 November 1958, gempa Malang 19 Februari 1967, gempa Blitar-Trenggalek 4 Oktober 1972.

Sedangkan sejarah tsunami terjadi di Jawa Timur terjadi enam kali. Tsunami Besuki pada 19 Juli 1830, Pacitan 4 Januari 1840, Pulau Madura 7 Februari 1843, 20 Oktober 1859, 11 September 1921, dan tsunami Banyuwangi 2 Juni 1994.

 

Pemodelan Gempa dan Tsunami

Atas data kegempaan dan sejarah itu, BMKG menyusun simulasi pemodelan secara matematis. Hasil analisis daerah pesisir selatan yang berisiko tinggi tsunami meliputi Pacitan, Trenggalek, Malang, dan Banyuwangi. Tinggi maksimum gelompang tsunami 26 meter sampai 29 meter berpotensi di Trenggalek, sedangkan waktu tiba gelombang tsunami tercepat di Blitar yakni dalam tempo 20 menit sampai 24 menit.

Zona merah ketinggian 20 meter di Pantai Prigi Trenggalek, Popoh Tulungagung, Muncar Banyuwangi dengan ketinggian 18 meter, Pancer Banyuwangi 12 meter, pantai Tambak Blitar ketinggian 18 meter, Pacitan ketinggian mencapai 22 meter, Sendangbiru Malang ketinggian 22 meter, Pasirian Lumajang 18 meter, dan Tempursari Lumajang 18 meter.

Sehingga BMKG menyusuri kawasan pesisir selatan Jawa Timur dan Selat Sunda untuk mengecek kesiapsiagaan dan mitigasi jika terjadi gempa disertai tsunami. “Gempa besar yang merusak seperti Aceh 2004, Yogyakarta pada 2006, dan Lombok tidak mendadak dan seketika. Selalu diawali dengan gempa kecil,” katanya.

BMKG melakukan verifikasi peta bahaya dan jalur evakuasi tsunami dil lapangan pada Februari-April 2021. Hasilnya, perlu ditingkatkan sejumlah jalur evakuasi, karena laju datang tsunami lebih cepat dibandingkan jarak lokasi evakuasi sementara. Tempat evakuasi sulit dijangkau. Sedangkan fasilitas dan sarana prasana pendukung perlu ditingkatkan. Sehingga perlu melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum untuk membangun shelter.

“Aparat sudah siap, tak banyak BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) yang sesiap Jawa Timur. Bupati dan Wali Kota sangat peduli,” katanya.

baca juga : Begini Mitigasi Potensi Tsunami Selatan Jawa

 

 

BMKG merekomendasikan kepada pemerintah kabupaten dan kota di Jawa Timur agar meningkatkan usaha mitigasi gempa dan tsunami. Perlu disiapkan mitigasi, kesiapan sarana dan prasarana untuk evakuasi jika terjadi tsunami. “Siapsiagakan segera, bukan berarti pasti akan ada gempa. Tidak. Cuma ada tren kejadian gempa kecil yang biasa mengawali gempa besar,” ujarnya.

Selain itu, perlu dilakukan upaya penghijauan dengan menanam mangrove di pesisir selatan pantai. Untuk menahan terjangan gelombang laut dan ancaman tsunami. Selain itu, penambangan pasir di pantai seperti di Lumajang, menyebabkan elevasi pantai rendah dari muka air laut. Sehingga risiko lebih besar.

 

Bangunan dan Rumah Tahan Gempa

BMKG juga merekomendasikan dilakukan survei dan audit kondisi konstruksi bangunan sekolah, perkantoran, mal dari potensi gempa. Serta ditetapkan standar struktur bangunan tahan gempa. Selain itu, tata ruang juga perlu memperhatikan zona rawan gempa.

Serta perlu evaluasi dan penyempurnaan rencana kontijensi (Renkon) tsunami, termasuk menyempurnakan standard operating procedure (SOP) evakuasi dengan mempertimbangkan permodelan tsunami BMKG berdasarkan skenario terburuk (worst case scenario). “Perlu penerapan tata ruang dan standar bangunan tahan gempa dan tsunami dengan ketat bersandarkan peta mikrozonasi dan peta bahaya tsunami,” ujar Dwikorita.

BNPB merekomendasikan agar ditentukan standardisasi rumah tahan gempa bagi masyarakat umum yang mudah dan murah. Atau melakukan retrofitting atau perkuatan rumah yang ada agar tahan gempa. Untuk mencegah korban jiwa saat gempa, salah satu solusinya dengan mitigasi rumah tahan gempa.

“Gempa tak mematikan, korban jiwa terjadi karena reruntuhan konstruksi bangunan,” kata Kepala Pusat Data dan Komunikasi BNPB Raditya Jati.

Perlu kesadaran koletif, katanya, untuk mitigasi bencana. Perlu simulasi dan uji coba untuk menghitung berapa menit saat evakuasi mandiri. Selain itu, juga perlu simulai masyarakat di keramaian seperti di pasar dan gedung bertingkat. Agar masyarakat paham, apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa bumi.

“Upaya penyelamatan dan minimalisasi dampak korban jiwa. Mitigasi bencana perlu masuk kurikulum sekolah atau ekstrakurikuler,” katanya.

perlu dibaca : Bersiap Segera Antisipasi Kemungkinan Tsunami di Pantai Selatan Jawa

 

Sekretaris BPBD Jatim Erwin Indra Widjaja dan tim mengecek alat deteksi dini di kawasan Pantai Sidem, Dusun Popoh, Desa Besole Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung, 12 Maret 2021. Foto : BPBD Jatim

 

Guru Besar Geofisika Universitas Brawijaya yang juga Ketua Pusat Studi Kebumian dan Kebencanaan Profesor Adi Susilo mengaku menjadi saksi dan korban gempa di Malang 1967. Ia mengisahkan sempat tertinggal di dalam kamar saat gempa, sedangkan semua anggota keluarga berhamburan keluar rumah.

“Ibu sayang malah mengangkat guling,” kata Adi Susilo kelahiran Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Adi Susilo menyampaikan media massa memiliki peran penting untuk sosialisasi mitigasi dan tanggap bencana. Agar masyarakat tak panik dan melalukan usaha mitigasi.

“Pola pemberitaan mempengaruhi masyarakat. Jangan memberitakan yang justru membuat masyarakat takut dan menimbulkan keresahan,” kata Adi.

Sementara Guru Besar Seismologi Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Sriwidiyantoro mengingatkan potensi gempa megathrust di Selatan Jawa. Ketua Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) ini juga melakukan pemodelan dengan asumsi data bersumber dari data kegempaan dan sejarah.

“Ini simulasi, bukan predisi. Yang terjadi tak akan seperti ini,” katanya.

Skenario terburuk jika zona subduksi di Jatim dan Jabar melepaskan energi bersamaan. Yakni bagian dari Sunda Megathrust atau sesar dengan luasan sekitar 5.500 kilometer dari Myanmar, Sumatra, selatan Jawa dan Bali. Sehingga akan menimbulkan dampak yang dahsyat. “Bukan tak mungkin seperti di Tohoku, Jepang pada 2011. Tiga segmen pecah beruntun sehingga menyebabkan gempa 9,1,” katanya.

Bencana terjadi, katanya, karena tak tahu ancaman. Sehingga penelitian penting untuk menjadi acuan dan peringatan. Bukan menakuti dan menimbulkan kecemasan. Jika abai, katanya, akan menimbulkan bencana karena ketidakmampuan mengelola risiko.

baca juga : Catatan Awal Tahun: Antisipasi dan Kesadaran Hidup di Negeri Rawan Bencana

 

BPBD Kabupaten Malang menggelar simulasi penanganan korban tsunami di Desa Tambakrejo, Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang pada November 2013. Foto : BPBD Kabupaten Malang

 

Peringatan Dini Tsunami

Ia merekomendasi agar sistem peringatan dini tsunami Indonesia atau Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina TEWS) diperkuat. Ditambah dengan submarine dan sea level di selatan Jawa. Melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan BMKG. “Perlu penguatan earthquake early warning system (EEWS) untuk wilayah terdampak,” katanya.

BPBD Jawa Timur telah memetakan potensi tsunami dengan ancaman tinggi tersebar di 156 desa/ kelurahan. Meliputi Bayuwangi 47 desa, Jember 12 desa, Lumajang 18 desa, Malang 20 desa, Pacitan 26 desa, Tulungagung 19 desa, Blitar 15 desa, dan Trenggalek 14 desa. BNPB melakukan ekspedisi destana tsunami untuk mengedukasi penduduk di wilayah pesisir selatan Jawa Timur.

“Untuk mengurangi risiko dilakukan sosialisasi melalui mobil siaga bencana (osipena) dan menyebarkan buku dan video di desa rawan bencana,” kata Kabid pecegahan dan kesiapsiagaan BPBD Provinsi Jawa Timur, Gatot Subroto.

BPBD Jawa Timur telah membentuk desa tangguh bencana, dan memasang rambu evakuasi dan papan informasi bencana. Selain itu, juga menanam mangrove di pesisir, dan membangun sistem peringatan dini tsunami.

 

Pemkab Cilacap, Jawa Tengah membangun penahan gelombang di Pantai Widarapayung. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Ketua Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia dan dosen ITB, Harkunti menjelaskan jika alat deteksi dan monitoring semakin canggih. Dengan menggunakan kecerdasan buatan atau AI dan big data, determinasi tsunami bisa diketahui dalam waktu tiga menit. “Secara teknologi ada lompatan luar biasa,” katanya.

Peringatan dini bisa diterima secara cepat dengan alat komunikasi dan infrastruktur yang memadai. Namun, bagaimana kesiapan pemerintah daerah setelah menerima peringatan dini dalam menggerakkan masyarakat untuk cepat evakuasi. “Saat Aceh dilanda gempa 2004, orang terperangah bangunan hancur. Sedangkan peringatan air surut tak diperhatikan. Saat tsunami tiba, tidak siap. Hampir 107 ribu jiwa melayang,” katanya.

Bencana Siklon Seroja di Nusa Tenggara Timur yang merenggut 174 nyawa dan 37 korban hilang juga menjadi pengingat dan pembelajaran atas buruknya mitigasi bencana. Sejak akhir Maret BMKG mengeluarkan peringatan namun Pemerintah Provinsi NTT tak tanggap terhadap peringatan dini yang dikeluarkan BMKG. “Terbukti tidak ada imbauan kepada masyarakat untuk bersiap dan siaga,” katanya.

Harkunti merekomendasikan latihan simulasi evakuasi mandiri di daerah risiko gempa dan tsunami. Saat pandemi, simulasi dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan. Lantaran belum diketahui secara pasti, kapan pandemi berakhir.

 

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Pengunjung memotret gelombang tinggi yang menghantam tebing di Tembeling, Nusa Penida, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

Exit mobile version