Mongabay.co.id

Masyarakat Gayo Tegas Menolak Kehadiran Perusahaan Tambang Emas

Air bersih yang mengalir di sungai tidak hanya digunakan masyarakat Gayo Lues untuk kebutuhan sehari-hari tetapi juga untuk pengairan sawah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Masyarakat Gayo tetap menolak kehadiran PT. Linge Mineral Resource [PT. LMR], perusahaan pertambangan emas dan mineral di Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Mereka tidak rela tempat tinggal dan lingkungannya rusak akibat kegiatan tersebut.

Hal ini terlihat dari sikap tegas masyarakat saat perwakilan perusahaan bersama konsultan melakukan konsultasi publik tahap awal penyusunan dokumen amdal, di Desa Lumut, Kecamatan Linge, pada Senin [31/5 2021] lalu.

Dalam pertemuan itu, perwakilan masyarakat Desa Linge dan Owaq, yang berdampak langsung pada penambangan mengatakan, tidak rela kampung mereka rusak, baik dari segi lingkungan maupun budaya dan sejarah.

Maharadi, Koordinator Jaringan Anti Korupsi Gayo [Jang-Ko] mengatakan, sejak awal masyarakat Desa Linge telah tegas menolak kehadiran perusahaan tambang tersebut.

“Setelah masyarakat Desa Linge menolak, masyarakat Desa Owaq mengikuti. Mereka tidak rela makam leluhur Raja Linge hilang,” terang lelaki yang juga petani kopi di Aceh Tengah, Selasa [08/6/2021].

Maharadi menjelaskan, selain masyarakat, sejumlah perwakilan organisasi mahasiswa dan pemuda dari Kecamatan Linge juga menolak kehadiran PT. LMR di daerah mereka.

Bahkan, sebelum konsultasi publik dilakukan, Jang-Ko telah menolak hadirnya tambang. Ini dikarenakan, selain akan berdampak negatif terhadap lingkungan, perusahaan juga tidak transparan memberikan informasi dokumen perizinan kepada masyarakat dan pemerintah daerah.

“Pertemuan tersebut pun hanya mengundang perwakilan tokoh masyarakat. Sementara, pegiat lingkungan, tokoh adat dan lembaga lain yang selama ini menolak kehadiran perusahaan tidak dihadirkan,” ungkapnya.

Maharadi mengajak semua pihak di Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, dan Gayo Lues untuk lebih mengembangkan kopi Arabika Gayo yang terbukti lebih memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.

“Selama ini, sebagian besar masyarakat di dataran tinggi Aceh, yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues hidup dari hasil pertanian dan perkebunan, khususnya kopi. Untuk apa mengundang kegiatan yang hanya menguntungkan segelintir orang,” ujarnya.

Baca: Lupakan Tambang Emas, Kopi Arabika Gayo yang Membuat Masyarakat Bangga

 

Air bersih yang mengalir di sungai tidak hanya digunakan masyarakat Gayo Lues untuk kebutuhan sehari-hari tetapi juga untuk pengairan sawah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Angin surga

Sri Wahyuni, aktivis perempuan yang berasal dari dataran tinggi Gayo, pernah berunjuk rasa seorang diri di Bundaran Simpang Lima, Kota Banda Aceh, menolak kehadiran PT. LMR.

Dia menilai hadirnya perusahaan tidak akan memberikan dampak positif kepada masyarakat. “Malah merusak sumber air dan membuat tutupan hutan berkurang sehingga berdampak pada kenaikan suhu,” ujarnya baru-baru ini.

Menurut dia, naiknya suhu di dataran tinggi Aceh berpengaruh pada kualitas kopi yang telah turun temurun menjadi andalan masyarakat.

“Jangan beri angin surga, jika perusahaan beraktivitas maka perekonomian masyarakat akan meningkat dan sejahtera. Banyak bukti, daerah yang ada kegiatan pertambangan, masyarakatnya justru menderita,” ungkapnya.

Baca: Jangan Rusak Kopi Arabika Gayo dengan Tambang Emas

 

Kopi arabika yang menjadi andalan kehidupan masyarakat Gayo, bukan tambang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Catatan Walhi

Catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh menunjukkan, PT. Linge Mineral Resource mendapat izin usaha pertambangan eksplorasi Nomor 530/2296/IUP-EKSPLORASI/2009, seluas 98.143 hektar, di Kecamatan Linge dan Bintang, Kabupaten Aceh Tengah.

“Izin diterbitkan Bupati Aceh Tengah. Dari luas tersebut, 19.628 hektar berada di Kawasan Ekosistem Leuser dan berstatus hutan lindung, dan sisanya di hutan produksi,” terang Muhammad Nasir, Kepala Divisi Advokasi Walhi Aceh, beberapa waktu lalu.

Pada 4 April 2019, PT. Linge mengumumkan rencana usaha dan kegiatannya dalam rangka studi analisis mengenai dampak lingkungan [amdal] di media massa. Dalam pemberitahuan itu, selaku kuasa Direktur PT. Linge Mineral Resource, Achmad Zulkarnain menyatakan, perusahaan akan menambang dan mengolah bijih emas dmp seluas 9.684 hektar di Desa Lumut, Desa Linge, Desa Owaq, dan Desa Penarun, Kecamatan Linge. Jumlah produksi maksimal 800.000 ton per tahun.

Perusahaan mengklaim, tambang emas akan memberi dampak positif. Sebut saja meningkatkan ekonomi dan kesehatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, hingga menumbuhkan pembangunan daerah.

“Sementara dampak negatifnya adalah perubahan bentang alam, penurunan kualitas udara, peningkatan kebisingan, kualitas air permukaan menurun, dan gangguan terhadap habitat satwa liar beserta vegetasi,” terang Achmad dalam pengumuman tertulis itu.

Baca juga: Jangan Lagi Sebut Ganja di Desa Agusen

 

Hutan Leuser terjaga akan membuat air tetap mengalir. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pada September 2019, Pemerintah Provinsi Aceh menegaskan, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara [Dirjen Minerba] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] telah menghentikan sementara IUP PT. Linge Mineral Resources. Penghentian berdasarkan Surat Nomor: 705/30.07/DJB/2019, tanggal 12 Maret 2019.

Pemerintah Provinsi Aceh juga memastikan, IUP PT. LMR dikeluarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal [BKPM] berdasarkan Surat Keputusan Bupati Aceh Tengah. Pemerintah Aceh sejauh ini belum mengeluarkan izin apapun untuk perusahaan tersebut.

PT. LMR berstatus penanaman modal asing [PMA], anak perusahaan East Asia Mineral dari Kanada, selaku pemegang saham sebanyak 80%.

 

 

Exit mobile version