Mongabay.co.id

Terdampak Pandemi, Pelaku Industri Kayu di Sulsel Butuh Dukungan Pemerintah

 

Para pelaku industri kayu di Sulawesi Selatan mengalami kondisi sangat sulit akibat dampak COVID-19. JURnaL Celebes yang sedang melaksanakan program pemantauan hutan dan peredaran kayu di Sulsel menilai kondisi ini bisa berdampak ganda, yakni ancaman kelanjutan industri kayu, serta upaya penegakan hukum dan regulasi tata kelola kehutanan berkelanjutan.

“Dengan kondisi ini mereka (pelaku industri kayu) mengharapkan dukungan pemerintah berupa modal, akses pasar, keterampilan inovatif dan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang tidak jadi beban tetapi memberi nilai tambah,” ungkap Mustam Arif, Direktur JURnaL Celebes dalam Konferensi Pers di Kafe Baca, Makassar, Sabtu (19/6/2021).

Mustam berharap pemerintah mengambil langkah strategis, bukan hanya insentif jangka pendek selama masa pandemi. Dukungan yang membuat industri kayu bisa bertahan dan bangkit dengan ketersediaan bahan baku yang legal berkelanjutan.

‘’Dari hasil 25 industri kayu besar, sedang, dan kecil, yang kami pantau, tak satu pun mendapatkan bantuan insentif pemerintah di masa pandemi. Industri kehabisan modal dan kesulitan memperoleh bahan baku. Tetapi di sisi lain kami juga menemukan kejahatan pembalakan liar meningkat signifikan di masa pandemi. Jangan sampai industri kayu bangkrut, sementara hutan kita pun habis,’’ tambah Mustam.

baca : Di Saat Industri Kayu Anjlok, Pembalakan Liar di Sulsel Justru Meningkat

 

Industri kayu terdampak pandemi Covid 19 kini berusaha bangkit kembali, dan mereka butuh dukungan pemerintah, baik berupa modal maupun pembinaan ataupun pendampingan. Foto: Wahyu Chandra/Monbagay Indonesia.

 

Pendampingan dan Jaminan Pasar Lokal

Menurut Mustam, selain butuh bantuan modal dalam jangka pendek, pemerintah diminta melakukan langkah riil agar industri kayu di Sulsel  bisa bertahan di masa pandemi dan nantinya bisa bangkit.

Salah satu masalah utama pengusaha kayu di Sulsel  adalah anjloknya permintaan pasar, terutama pasar lokal. Di masa pandemi, tidak ada permintaan.

“Jika selama ini industri kayu mengantungkan pada proyek-proyek pengadaan barang dan proyek properti, selama masa pandemi hampir semua proyek pengadaan dan properti tidak terlaksana.”

Menurut Mustam, pelaku industri kayu juga meminta pemerintah melakukan pembinaan dan pendampingan industri kayu. Pemerintah diminta turun ke lapangan untuk melihat secara langsung bagaimana kondisi industri kayu di masa pandemi.

“Salah satu masalah yang dihadapi industri kayu ini adalah serbuan produk luar Sulsel, terutama dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal ini tidak sekadar persoalan kualitas, karena pelaku industri kayu dari Asmindo Sulsel menyatakan produk mereka juga berkualitas. Persoalannya adalah image masyarakat terhadap produk kayu misalnya dari Jepara.”

Lanjut disampaikan Mustam, bahwa salah satu asosiasi industri kayu, ASMINDO Sulsel, meminta agar proyek pengadaan barang dari pemerintah dan BUMN memprioritaskan industri lokal.

“Sebab selama ini yang sering terjadi proyek pengadaan skala besar tidak diprioritaskan bagi industri lokal. Asmindo Sulsel juga meminta proses tender perlu melibatkan rekomendasi kelayakan dari asosiasi industri kayu.”

Selain itu, pelaku industri kayu di Sulsel  meminta instansi pemerintah terkait untuk melakukan pendampingan, pelatihan peningkatan kualitas produk kayu. Tidak sekadar memberikan bantuan dana, tetapi dalam situasi pandemi ini, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas terutama dalam inovasi produksi agar bisa dipasarkan secara online.

“Harapan lain agar pemerintah bisa membangun komunikasi pasar dan promosi, agar memberi image pada masyarakat bahwa produk lokal Sulsel juga punya kualitas memadai.”

baca juga : Pantau 27 Perusahaan Kayu di Lima Provinsi, Ini Hasil Temuan Jurnal Celebes

 

Terkait pandemi, industri kayu skala kecil tidak mendapat insentif pemerintah, justru yang diberi insentif hanya pada industri berskala ekspor. Foto: JURnal Celebes/Mongabay Indonesia.

 

SVLK Jangan Jadi Beban

Menurut Mustam, pelaku industri kayu juga meminta pemerintah agar implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tidak menjadi beban industri kayu, terutama industri kecil.

“Pelaku industri kecil di Sulsel menganggap SVLK sebagai instrumen kepastian legalitas kayu itu baru dirasakan manfaatnya oleh industri yang mengekspor produknya,” katanya.

Sedangkan industri kecil yang juga diwajibkan mempunyai sertifikat legalitas kayu. Kenyataannya tidak ada nilai tambah antara kayu yang bersertifikat dan tidak punya sertifikat. Sementara untuk mengurus sertifikat SVLK harus mengeluarkan biaya sampai puluhan juta.

“Pelaku industri kayu di Sulsel menyatakan tidak ada masalah dengan SVLK, bahkan SVLK dibutuhkan sebagai jaminan legalitas kayu. Industri kayu saat ini dan ke depan kredibilitasnya juga ikut ditentukan oleh sertifikasi legalitas bahan baku. Tetapi pemerintah mestinya tidak sekadar membuat aturan tanpa memberi manfaat kepada industri kecil,” tambahnya.

Pelaku industri juga meminta agar pemerintah memberi nilai tambah SVLK dengan minimal membedakan harga antara kayu dari industri yang punya sertifikat legalitas kayu yang mendapatkan bahan baku melalui proses yang legal. Selain itu mestinya ada sanksi atau konsekuensi ketika bagi industri yang tidak mempunyai sertifikat legalitas kayu.

Lanjut disampaikan Mustam bahwa para pelaku industri juga meminta ada subsidi biaya sertifikasi bagi industri kecil.

“Kalau tidak melalui subsidi secara langsung, mestinya ada klasifikasi sertifikasi antara industri kecil, menengah dan besar. Terjadi sekarang karena biaya sertifikasi disamakan, sementara keuntungan punya sertifikat baru dinikmati eksportir.”

Pemerintah pernah menurunkan bantuan sertifikasi berkelompok 2018-2019. Sejumlah usaha kayu di Sulsel mendapatkan bantuan itu. Tetapi, kemudian hanya sekadar bantuan dan setelah menerima sertifikat, tidak ada nilai tambah yang diperoleh, karena itu banyak industri kemudian tidak memperpanjang masa berlaku sertifikat karena dianggap tidak bermanfaat.

Harapan lain, pelaku industri kayu di Sulsel juga meminta pemerintah melakukan sosialisasi SVLK dan bila perlu pendampingan terhadap industri. Sebab, banyak pengusaha kayu yang belum mengerti SVLK.

“Dari pemantauan terhadap 25 industri di Sulsel, kami menemukan hanya enam perusahaan memiliki SVLK, lima masih berlaku, satu tidak melakukan re-sertifikasi, dan selebihnya adalah industri kecil yang sebagian besar belum mengetahui SVLK,” tambah Mustam.

baca juga : Hutan Desa Campaga yang Dijaga Tradisi dan Hidupi Warga Sekitar Hutan

 

Perahu pinisi di Bulukumba terancam karena kesulitan bahan baku, beberapa tahun terakhir, pinisi yang merupakan produk budaya Bugis tersebut sudah sulit memperoleh bahan baku utama berupa kayu bitti (Vitex cofasus). Foto: Wahyu Chandra/Monbagay Indonesia.

 

Industri Pinisi Terancam

Menurut Mustam, salah satu isu penting dalam industri kayu di Sulsel adalah keberadaan industri perahu pinisi di Bulukumba yang terancam karena kesulitan bahan baku utama berupa kayu bitti (Vitex cofasus).

“Pesanan kapal pinisi bertambah, tetapi pembuat kapal kini makin sulit mendapatkan bahan baku utama kayu bitti. Selama ini Bulukumba, Sinjai dan Gowa menjadi basis kayu bitti, namun kini sudah berkurang, kecuali di hutan adat Kajang yang masih terjaga. Ini menjadi ancaman bagi kawasan hutan adat ke depan, ketika masing-masing pihak terdesak kebutuhan,” ungkap Mustam.

Sukardi, salah seorang pelaku industri kayu di Bulukumba menegaskan kekhawatiran ini.

“Suatu saat nanti kemungkinan pinisi yang tersohor sebagai produksi kebudayaan Bugis tersebut kemungkinan hanya tinggal nama,” katanya.

Menurutnya, setelah kayu bitti berkurang di Bulukumba, pembuat pinisi mendapatkan pasokan dari daerah lain di Sulawesi Selatan. Tetapi, ketika daerah lain di Sulsel juga kesulitan, pembuat perahu mendatangkan dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, hingga Maluku, Maluku Utara dan Papua.

Mustam menambahkan bahwa ketergantungan ke daerah lain ini tak menjamin pasokan kayu bitti bisa berlanjut.

‘’Jangan sampai suatu ketika, pinisi terpaksa dibuat dari fiber glass. Lalu apa perbedaannya dengan industri kapal fiber tersebar di seluruh dunia. Pinisi menjadi produk kultural bernilai tinggi, tersohor di dunia bahari, menjelajahi berbagai samudera, dengan teknologi tradisional berbasis kearifan lokal, sebelum kapal modern didukung teknologi canggih,’’ ungkapnya.

Mustam berharap pemerintah Sulsel mengambil langkah strategis untuk keberlanjutan industri perahu pinisi.

“Industri pinisi tidak boleh tergantung pada ketersediaan kayu bitti di hutan alam yang akan habis. Perlu upaya budidaya, tetapi tantangannya bukan hanya lahan atau teknologi budidaya, tetapi perkembangan kayu jenis ini yang membutuhkan waktu sekitar 30 hingga 40 tahun untuk mencapai ukuran dan kualitas terbaik untuk pembuatan pinisi.”

Mustam selanjutnya mengusulkan perlunya upaya mengembangkan program konservasi berbasis kayu bitti yang bermanfaat ganda, untuk keberlanjutan industri pinisi sekaligus berfungsi ekologis.

“Pengembangan melalui budidaya silvikultur untuk menjamin proses secara ekonomi dan ekologi,” tambahnya.

 

Exit mobile version