Mongabay.co.id

Kala DPRD Riau Bahas Kasus Lahan Masyarakat Adat Pantai Raja

Hakim, kuasa hukum dari warga adat Pantai Raja dan kuasa hukum PTPN V, beserta menuju lokasi sidang lapangan di Kampar. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kali pertama, DPRD Riau mendengar langsung keluhan Masyarakat Adat Pantai Raja, soal perampasan lahan oleh PT Perkebunan Nusantara V sejak kasus terjadi 37 tahun lalu. Sebelum Ramadan lalu, Wakil Ketua DPRD Riau Hardianto tatap muka langsung dengan beberapa perwakilan masyarakat. Juni lalu DPRD Riau dengan pendapat soal kasus ini.

Kali ini, kasus lahan ini langsung dibahas dalam rapat dengar pendapat (RDP) DPRD Riau. Semua pihak yang berhubungan dengan masalah ini diundang, termasuk Jatmiko Krisna Santosa, Direktur Utama PTPN V ditemani jajaran PTPN V. Ada juga utusan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau dan Dinas Perkebunan Riau. Sayangnya, BPN Kampar maupun Pemerintah Kabupaten Kampar, tak hadir.

Rapat dipimpin langsung Ketua Komisi II Robin P Hutagalung, 17 Juni lalu. Ditemani Sekretaris Komisi Sugianto dan beberapa anggota antara lain, Manahara Napitupulu, Yanti Komalasari dan Sewitri yang datang setelah rapat hampir satu jam. Robin minta penjelasan dari perwakilan masyarakat terlebih dahulu.

Gusdianto, pemuda adat Pantai Raja, ditunjuk sebagai kuasa hukum, buka cerita. Dia yakinkan ketua dan anggota komisi, bahwa yang berkonflik adalah Masyarakat Adat Pantai Raja, asli Melayu Riau, Melayu Ocu, bukan pendatang atau orang lain di luar itu. Selanjutnya, dia urutkan kronologis konflik secara ringkas.

Masyarakat Adat Pantai Raja, sekitar tahun 70-an, buka lahan buat tanam padi, kayu manis dan tanaman kehidupan lain dan berkembang jadi perkebunan karet.

Masa Orde Baru, tepatnya 1984, tanpa ada negosiasi dan musyawarah tiba-tiba PTPN V babat habis pohon-pohon karet masyarakat. Licin, tandas tanpa ganti rugi.

Perusahaan negara ini hendak jalankan program perkebunan inti rakyat (PIR) dari pemerintah berupa kebun sawit. Dari 21.994 hektar dicanangkan, PTPN V hanya mampu mengerjakan 8.856,841 hektar.

Setelah terbangun, pemerintah bagikan 6.000 hektar buat masyarakat transmigrasi (PIR Trans) dan masyarakat sekitar yang mau bergabung (PIR khusus). Sisanya, jatah PTPN V.

Gejolak mulai terjadi. Forum Mahasiswa Kampar pernah pertemukan Masyarakat Adat Pantai Raja dengan direksiDPTPN V disaksikan Asisten I Pemkab Kampar dan Kapolsek Siak Hulu.

Kala itu, 6 April 1999, Direktur Produski PTPN V, SN Situmorang, mengakui 150 hektar lahan masyarakat dalam areal inti perusahaan. Masyarakat tuntut 1.013 hektar, tetapi mereka legowo menerima.

Pada 30 September 1999, PTPN V justru memohon penerbitan sertifkat hak guna usaha (HGU) seluas 2.856,841 hektar. Alhasil, BPN Kampar resmi mengeluarkan warkah pada 24 Maret 2001, termasuk lahan Masyakat Adat Pantai Raja 150 hektar yang sudah diakui namun belum kembali.

Kasus lahan tak kunjung selesai. Pada 2016, masyarakat sepakat menunjuk beberapa orang di antara mereka untuk mewakili dan berhubungan langsung dengan PTPN V. Beberapa pihak dari masyarakat adat sudah meninggal dan makin menua.

Sejak itu, cara-cara diplomatif lewat surat terus dilayangkan pada PTPN V begitu juga pada sejumlah lembaga pemerintahan, baik daerah maupun pusat.

Respon pertama datang dari Komnas HAM. Pada 11 April 2019, di Kantor Bupati Kampar, ada kesepakatan baru. PTPN V diberi waktu sembilan bulan bangun kebun sawit masyarakat lewat pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Ia bersumber dari 150 hektar lahan ditambah 250 hektar yang harus dicari bersama-sama difasilitasi Pemkab Kampar. Lokasi yang didapat tetap harus dapat persetujuan dari PTPN V.

Jelang tenggat waktu tadi berakhir, perwakilan masyarakat kembali surati PTPN V untuk meminta kejelasan. Tak ada jawaban dan kepastian. Kesepakatan kembali tak terealisasi.

Masyarakat pun bereaksi. Pada Agustus 2020, mereka ramai-ramai menduduki lahan inti PTPN V hampir sebulan. Masyarakat bangun tenda darurat dan beraktivitas di sana.

PTPN V justru melaporkan 14 perwakilan masyarakat ke Ditreskrimsus Polda Riau bahkan menggugat ke PN Bangkinang. Saat ini, proses sidang perdata sudah sampai tahap kesimpulan dari masing-masing pihak, setelah menghadirkan beberapa orang saksi.

“Kami menggigil ketika tahu digugat. Dari mana kami bisa bayar Rp15 miliar? tanya Gusdianto, terbawa suasana haru. Dia menangis.

Dia menyentil Jatmiko karena pernah mengatakan Masyarakat Adat Pantai Raja sebagai mafia tanah.

 

Robin P Hutagalung pakai baju putih dan peci hitam, memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) bahas konflik lahan antara PTPN V dengan masyarakat adat Pantai Raja untuk pertama kalinya. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Gusdianto menyinggung buku Menteri BUMN Erick Thohir yang berjudul “Akhlak untuk Negeri.” Dia sudah beli dan baca buku itu. Akhlak yang dimaksud dalam judul buku, disusun dari kata amanah, kompeten, harmonis, loyal, adaptif dan looperatif. Gusdianto berharap, Jatmiko memahami isi buku karya menteri yang membawahi perusahaan negara itu.

“Mari kita bicara dari hati ke hati. Jangan tunjukkan arogansi dan kekuatan negara pada kami. Jelas pasti kalah kami. Rakyat tak punya kekuatan kecuali hanya doa,” kata Gusdianto.

Sebelum kembali ke pimpinan rapat, Datuk Abu Garang atau Abadillah menegaskan, inti tuntutan Masyarakat Adat Pantai Raja hanya ingin PTPN V menyerahkan 150 hektar lahan mereka. “Sederhana saja. Kembalikan hak kami.”

Robin mulai paham. Dia mengulang kembali tahap demi tahap perjalanan konflik. Sebelum bicara lebih panjang, dia beri kesempatan Jatmiko membela diri.

Jatmiko memulai dengan mengatakan, proses hukum yang mereka tempuh dalam mengatasi konflik belakangan ini sebagai tanggung jawab menjalankan tugas negara, bukan alasan pribadi.

Dia ingin berhati-hati mengelola aset negara dan tak bisa sembarangan mengeluarkan kebijakan, termasuk memenuhi permintaan masyarakat. Menurut dia, percuma saja bicara dari hati ke hati karena bisa masuk penjara bila tak punya dasar mengurangi lahan inti kebun Sei Pagar buat masyarakat.

Sepanjang penjelasan, Jatmiko kukuh bahwa tak ada perintah ganti rugi bila lahan masyarakat kena imbas dari program PIR masa itu.

Solusinya hanya satu, masyarakat yang jadi korban diajak bergabung dalam PIR khusus.

“Itu sudah kami lakukan dalam kebun plasma seluas 6.000 hektar. Artinya, proses penyertaan masyarakat sudah sesuai ketentuan. Sisanya, 2.800 hektar jadi lahan inti milik PTPN V.”

Dia tak menampik perjanjian 6 April 1999 tetapi kesepakatan itu dianggap tak berdasarkan dokumen maupun kajian. Lahan yang dimaksud, tidak jelas letak dan batasnya. Bahkan, direktur produksi kala itu disebut telah melampaui kewenangan.

Jatmiko tetap berpegang pada risalah Panitia B. Bahwa areal yang dimohonkan adalah bekas izin hak pengusahaan hutan milik PT Umar Kasim, seluruh tanah negara bebas dan tidak ada keberatan yang diterima panitia selama pemeriksaan berlangsung.

Perihal mencari tambahan lahan 250 hektar, katanya, sudah berupaya dan tak lepas tanggung jawab. Hanya, sampai saat ini belum ada persetujuan dari pemegang saham. Biaya yang akan dijamin PTPN V dihitung menambah beban perusahaan dan dapat merugi. Lahan juga belum ditemukan.

Dia tetap merasa benar atas jalur hukum yang mereka tempuh terhadap masyarakat yang menduduki lahan. Alasannya, perusahaan alami kerugian dari operasi pemanenan sawit dan angkutan minyak mentah yang sempat terhenti.

“Mari kita ikuti proses hukum. Supaya jelas, apakah HGU kami yang cacat atau klaim masyarakat yang akan dipertimbangkan di pengadilan.”

 

Baca juga: Konflik Lahan Masyarakat Adat Pantai Raja vs PTPN V Tak Kunjung Usai

Masyarakat Adat Pantai Raja menyaksikan sidang lapangan atas kasus lahan mereka dengan PTPN V. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Utusan Kanwil BPN Riau membenarkan penjelasan Jatmiko mengenai risalah Panitia B. Salah satu dasar BPN Kampar menerbitkan HGU juga mengacu pada SK pelepasan kawasan hutan. Karena itu, masyarakat diminta membuktikan pula penguasaan lahan sesuai prosedur. “Itu saja yang dapat saya sampaikan. Tidak kurang dan lebih. Sesuai dengan kewenangan kami,” kata Indri.

Lain hal dengan Sri Ambar Kusumawati, Kepala Bidang Pengembangan Usaha dan Penyuluhan, Disbun Riau. Konflik lahan ini pernah dibahas di kantornya karena pengaduan sudah sampai ke kementerian. Dirjen di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sampai datang ke Disbun Riau untuk verifikasi. Sayangnya. yang diundang cuma PTPN V.

Penjelasan Ambar pun normatif, sesuai tertulis dalam beberapa lembar kertas di tangannya.

Dia bilang, pada 1984, PTPN V dapat pencadangan areal hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas 20.950 hektar untuk program PIR dari Gubernur Riau. Permendagri No 188/1986 menyatakan, lahan masyarakat yang kena tak ada ganti rugi tetapi ikut serta dalam program PIR.

Instruksi Presiden No 1/1986 menyatakan, kewenangan penetapan peserta PIR oleh pemerintah pusat dan daerah.

Pada 1989, Menteri Kehutanan pun mengeluarkan SK pelepasan kawasan hutan seluas 21.994 hektar. Pada 2001, BPN Kampar keluarkan HGU PTPN V di Sei Pagar seluas 2.856,81 hektar. Alas hak itu jadi pedoman Gubernur Riau menetapkan izin usaha perkebunan pada 14 Mei 2004.

Disbun Kampar dan Riau juga sudah menilai kebun PTPN V. Hasil akhir pada Desember 2020, menggolongkan dalam kebun kelas dua. “Kewenangan kami baru sampai pada tahap ini. Kami tahu masalah ini tapi masyarakat tidak memiliki bukti-bukti alas hak,” kata Ambar.

Setelah semua pihak beri penjelasan, Robin pun berkomentar. Dia prihatin dengan pernyataan Jatmiko yang menolak keputusan SN Situmorang pada 6 April 1999. Padahal, seorang direksi berhak mewakili perusahaan di dalam maupun di luar.

Robin kritik juga langkah hukum PTPN V. Dia mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo, bahwa masyarakat tidak akan menang bila dihadapkan dengan perusahaan. Dia dorong keadilan di tengah masyarakat yang berjuang cukup panjang. Masyarakat memiliki dasar dalam berjuang meski dengan selembar surat.

“Meski lahan PTPN V telah ber-HGU, tapi di atas lahan itu ada hak masyarakat terlebih dahulu. Wajib ganti rugi, sekali pun status tanah negara bebas. Di sana ada bagian kehidupan masyarakat,” katanya.

Beberapa pernyataan Robin itu memberi sedikit harapan bagi masyarakat.

Sugianto bilang, masing-masing pihak ada benar dan salahnya. Masyarakat, katanya, menuntut hak berdasarkan kesepakatan 6 April 1999, sedangkan PTPN V berdasarkan risalah Panitia B 30 September 1999 dan HGU 24 Maret 2001. Sugianto menyalahkan masyarakat karena tidak menyerahkan kesepakatan itu pada Pemda Kampar saat Panitia B bekerja.

Sugianto beri solusi. Sisa pelepasan kawasan hutan PTPN V di luar HGU dan kebun plasma diberikan pada masyarakat. Tawaran lain, masyarakat gugat BPN dan Pemda Kampar lewat selembar kesepakatan 6 April 1999 atau menunggu HGU PTPN V berakhir.

Cara lain, Pemda Kampar segera carikan lahan pengganti untuk 150 hektar. “Itu tawaran saya. Kalau tetap mau dengan proses hukum, monggo!”

Lain lagi dengan Manahara. Dia pertanyakan kerja Panitia B kala itu. Sebab risalah yang dikeluarkan panitia tidak memperhatikan kesepakatan 6 April 1999. Ini dianggap jadi kesalahan masa lalu. Karena itu, dia minta Jatmiko betul-betul telaah kembali berita acara yang diteken oleh direktur PTPN V waktu itu.

“Ujungnya tetap kesejahteraan masyarakat, tapi tidak merugikan BUMN. Kalau tetap dengan proses peradilan tadi, tak perlu ada pertemuan kita ini.”

 

Baca juga: Orang Pahou Hidup Sulit Kala Ada Perusahaan Sawit

Konflik lahan puluhan tahun antara warga adat Pantai Raja dan perusahaan sawit negara, PTPN V tak kunjung usai. Warga protes dan menduduki kembali lahan adat mereka yang kini sudah berubah jadi kebun sawit. Foto: dokumen warga

 

Pernyataan Yanti cenderung dukung PTPN V. Dia bilang, perusahaan tidak serta merta ganti rugi lahan masyarakat. Dia beri contoh di Dumai, daerah pemilihannya saat meraih kursi legislatif. Di sana, ada masyarakat berkonflik dengan Chevron dan Pertamina gara-gara penguasaan lahan. Sebabnya, lurah dan camat setempat bebas keluarkan surat.

Yanti mengaku sebagai anggota dewan hanya penengah. Dia menantang masyarakat menunjukkan bukti surat atau alas hak atas kepemilikan lahan sengketa. Dia kukuh itulah satu-satunya cara selesaikan masalah.

Robin makin paham. Dia meluruskan pemahaman Yanti yang keliru. Sebelum PTPN V datang bikin kebun sawit, Masyarakat Adat Pantai Raja sudah mengelola lahan dan bercocok tanam di sana. Masyarakat masa itu juga tidak mengerti dengan surat menyurat kepemlikan tanah.

Robin menceritakan tentang kampungnya zaman dulu. Bahwa, masyarakat masa itu menentukan batas tanah saja justru seperti main-main. Seberapa jauh batu dilempar, di situlah batas tanah seseorang.

“Begitu Bu Yanti. Ini beda dengan Chevron,” katanya, disambut tawa oleh peserta lain.

Robin kembali tegaskan, tidak ada salahnya PTPN V ganti rugi lahan masyakarat. Dia yakin, Masyarakat Adat Pantai Raja berkata tulus dan tidak mungkin mengaku-ngaku hal yang tidak mereka miliki. Dia menilai, bila perkataan disertai air mata berarti melambangkan dari hati.

Sayangnya, rapat ini belum menghasilkan rekomendasi apapun. Pemerintah Kampar tidak datang. Ketua komisi maupun anggota beberapa kali menyebut mereka sepanjang rapat. Manahara bilang, Pemda Kampar perlu hadir supaya harapan masyarakat tidak hambar.

 

 

*******

Foto utama:  Hakim, kuasa hukum dari warga adat Pantai Raja dan kuasa hukum PTPN V, beserta menuju lokasi sidang lapangan di Kampar. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version