Mongabay.co.id

Bela Lingkungan Hidup Sejak Muda, Selamat Jalan Emmy Hafild…

 

 

 

 

“Aging is privilege. You are never too old to set another goal or to dream another dreams – CS Lewis. Kutipan itu jadi motto bagi Emmy Almy Hafild.

Kini, perempuan yang membela lingkungan hidup dan kaum marjinal itu telah berpulang, Sabtu (3/7/21). Sekitar pukul 10.30, Emmy dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir pada 4 Juli lalu.

Perempuan 63 tahun ini meninggal di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta pukul 21.17. Dia mengidap kanker paru-paru sejak tiga tahun lalu.

Debutnya dalam menyuarakan lingkungan hidup dan sosial sejak usia muda. Dia pernah jadi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia periode 1996-1999.

Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengucapkan bela sungkawa atas kepergian Emmy.

“Kita berjuang bersama. Beliau sosok sahabat, aktivis lingkungan dan teman diskusi yang sangat kritis,” kata Siti Nurbaya dalam akun media sosialnya.

Hampir 34 tahun, dia terjun di dunia lingkungan hidup, mulai dari saat mahasiswa hingga akhir hayat. Emmy pernah tergabung dalam berbagai organisasi lingkungan hidup, antara lain di Yayasan Indonesia Hijau, Walhi hingga jadi Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara.

Emmy pernah jadi penasihat di Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

Pada 2017, Emmy memutuskan masuk dalam sistem politik, dan berlabuh di Partai Nasdem. Dia pun pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasdem.

Charles Meikyansah, Ketua Bidang Media dan Komunikasi Publik DPP Partai Nasdem mengatakan, Partai Nasdem sangat kehilangan kepergian Emmy sebagai sosok yang gigih memperjuangkan kepentingan rakyat kecil.

“Beliau menjadi panutan bagi kami karena nilai-nilai kemanusiaan yang dikampanyekan dan diperjuangkan tidak pernah pudar,” katanya.

Saat jadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, dia aktif dalam berbagai aksi dan organiasai yang mengkritisi pemerintahan Orde Baru. Setelah lulus dari jurusan Agronomi IPB, Emmy memperoleh gelar master dari Universitas Wisconsin, Amerika Serikat bidang Ilmu Lingkungan tahun 1994.

Perempuan kelahiran Pertumbukan, Sumatera Utara ini juga aktif terlibat dalam pembentukan LSM antikorupsi, Transparency International Indonesia (TII). Dia sempat menjabat menjadi Direktur TII.

Begitu pula saat adanya upaya pelemahan terhadap lembaga anti rasuah, Emmy pun ikut berada di garis terdepan. Tahun 2015, dia terlibat aksi menolak upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi atas Undang-undang Nomor 30/2002 tentang KPK.

Dia menghabiskan waktu kecil di kota kelahirannya. Sejak kecil, Emmy sudah menyerukan keadilan dan anti diskriminasi. Dia mengalami ketidakadilan saat tinggal di kawasan perkebunan, di mana fasilitas di perkebunan hanya boleh dinikmati keluarga pegawai perkebunan.

Emmy pun banyak meraih penghargaan atas kerja-kerjanya di dunia lingkungan hidup.

Kegigihan memperjuangkan keadilan atas lingkungan hidup diapresiasi Majalah Time, Januari 1999 sebagai Heroes of The Planet. Kala itu dia menyuarakan kritik atas PT Freeport yang menambang di Papua.

Kala itu, dia bersanding dengan aktivis lingkungan dunia lain, seperti Russell Mittermeier, Dune Lankard, Mark Plotkin, dan Wangari Maathai.

 

Kondisi di pertambangan Freeport di Papua. Salah satu isu lingkungan hidup yang muncul dari operasi perusahaan ini menjadi satu hal yang disuarakan keras oleh Emmy. Foto: dari Youtube

 

Berpikir kritis

Sandra Moniaga, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM mengatakan, Emmy menjadi seorang teman yang selalu berbagi ilmu dan berani menyampaikan pendapatnya tanpa ragu.

Mbak Emmy berkontribusi pada penguatan gerakan lingkungan hidup dan prodemokrasi di Indonesia,” katanya.

Perkenalan Sandra dengan Emmy mulai pada 1985-1986. Sandra menilai, Emmy adalah seorang yang sangat peduli pada lingkungan hidup, menghormati kebhinekaan dan demokrat sejati. Menjelang lulus kuliah pada 1986, Emmy yang mengajak Sandra untuk bekerja LSM.

“Ini pilihan yang tidak biasa untuk saya yang berlatar belakang keluarga pedagang dan PNS,” katanya.

Proses interaksi selama 35 tahun ini, kata Sandra, Emmy menjadi sosok teman kerja dan teman bermain, sama-sama mendorong pola hidup ramah lingkungan. Emmy pun selalu memberikan contoh tentang bagaimana advokasi itu harus berbasis data dan analisa solid dengan pilihan strategi beragam.

Abetnego Tarigan, Deputi II Kantor Staf Kepresidenan mengatakan, Emmy selalu berani mengkritik kepada para ‘junior’ di Walhi.

“Dia itu sering marah kepada saya, tapi ternyata tidak ada juniornya yang tidak dimarahi. Kelebihannya, kemarahannya itu tidak pernah dibawa ke hati atau personal. Berdebat sekeras apapun, tidak membuat secara personal kita musuhan. Itu yang luar biasa.”

Emmy, dia nilai sosok yang suka berdiskusi dan tidak pernah takut berbeda pendapat. Cara kepemimpinan itu, katanya, menjadi model kepemimpinan di Walhi dan panutan.

Abet yang pernah menjadi sebagai Direktur Eksekutif Walhi Nasional periode 2012-2016 ini mengatakan, Emmy seorang pemimpin yang konsisten dalam menyuarakan isu gender dan perubahan iklim ke ruang publik.

“Meski kerasnya sikap beliau, dia tidak pernah diskriminatif. Karakter itulah yang membekas bagi saya.”

Ada pesan dari Emmy yang dia sampaikan sambil berkelakar dan terus membekas dalam ingatan Abet.

“Pertarungan perubahan untuk Indonesia (untuk isu lingkungan hidup) itu ada di dalam negeri bukan di luar negeri.”

Kata-kata itu terus menjadi pengingat baginya, bahwa dalam mendorong perubahan harus berjuang di masyarakat Indonesia sendiri.

 

Emmy Hafild. Foto: dokumen pribadi di Facebook

*****

Foto utama:Emmy Hafild. Foto: dokumen pribadi di Facebook

Exit mobile version