Mongabay.co.id

Cengkih yang Tidak Lagi Diandalkan Petani Aceh

 

 

Cengkih atau cengkeh [Syzygium aromaticum] pernah menjadi tanaman primadona di sejumlah daerah Provinsi Aceh. Sebut saja di Kabupaten Aceh Besar, Kota Sabang, Simeulue, juga Aceh Barat Daya. Bunga tanaman ini telah menghidupi masyarakat mulai dari pemilik kebun, pekerja, hingga pengepul.

Panen berlimpah dan harga jual tinggi, berdampak positif pada kehidupan masyarakat. “Hal ini juga berdampak pada masyarakat lain,” sebut Muhammad WA, petani cengkih di Lamlhom, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, awal Juli 2021.

Dia menuturkan, masyarakat Lamlhom juga di Pulau Aceh, Leupung, serta Lhoong menanam cengkih sejak tahun 1960-an.

“Saat itu, saya bekerja sebagai pegawai kantor Penerangan, Kementerian Penerangan yang bertugas di Provinsi, dan ikut menanam sekitar 1970-an. Saat itu, penghasilan dari menanam cengkih jauh lebih banyak dari gajinya sebagai pegawai negeri.”

Sebelum tahun 1990-an, harganya sangat bagus. Perbandingannya, 4-5 kg sama dengan satu mayam atau 3,3 gram emas.

“Saya dan banyak warga lain membangun rumah, membeli kendaraan bermotor, termasuk mobil. Dari hasil cengkih juga saya menyekolahkan anak-anak,” ungkapnya, ditemui di kebunnya.

Muhammad melanjutkan, tidak sulit menanam cengkih, karena tidak membutuhkan banyak pupuk dan hemat air.

“Kalau tanaman lain seperti kelapa atau jagung harus dijaga, mengantisipasi gangguan satwa,” terangnya.

Baca: Cengkih yang Pernah Jaya di Aceh

 

Petani di Kemukiman Lamlhom, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh memetik cengkih di kebunnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hamdan Idris, masyarakat Kabupaten Simeulue, menuturkan saat panen berlimpah banyak orang dari luar Simeulue datang untuk bekerja.

“Saat itu, untuk mengambil bunga cengkih, ada kapalkhusus yang datang.”

Harga jual yang tinggi membuat anak-anak Simeulue bisa melanjutkan sekolah di luar pulau karena fasilitas di sini terbatas. “Saat itu, masyarakat tidak tergantung bantuan pemerintah. Semua dilakukan mandiri, mulai dari membangun fasilitas publik hingga membantu fakir miskin dan anak-anak yatim,” jelasnya.

Sejarawan Aceh, Husaini Ibrahim, menyatakan bahwa hasil dari rempah-rempah termasuk cengkih yang ditanam masyarakat di Aceh membuat daerah ini dilirik orang-orang luar.

“Banyak kapal datang untuk membeli, termasuk cengkih. Hal ini pula yang menarik minat beberapa negara untuk menjajah Aceh, apakah itu Portugis, Belanda, maupun Jepang, selain kepentingan jalur perdagangan maupun hasil tambang,” ungkapnya.

Baca juga: Melacak Jejak Rempah di Sumatera Selatan

 

Bunga cengkih basah yang baru dipanen di Lamlhom, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Cerita lalu

Namun, itu cerita lalu. Sekarang, cengkih tidak lagi menjadi tanaman utama petani.

“Sekarang, cengkih hanya tanaman selingan,” lanjut Muhammad.

Penyebabnya, diawali saat monopoli harga dilakukan pada pemerintahan Orde Baru. Pada 11 April 1992, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor: 20 tahun 1992 tentang Tata Niaga Cengkih. Keputusan itu mengatur petani harus menjual cengkih ke koperasi unit desa [KUD], kemudian dijual ke Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh [BPPC], sesuai harga yang ditetapkan pemerintah.

“Saat itu, pemerintah menetapkan harga cengkih dengan Inpres Nomor 1/1992 sebesar Rp7.900 dan Rp6.000/kg. Harga ini diubah berdasarkan Inpres Nomor 4/1996 sebesar Rp8.000/kg,” kenang Muhammad.

 

Pohon cengkih yang mati. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Saat itu pemerintah memberikan monopoli penuh kepada BPPC untuk membeli dan menjual hasil produksi cengkih dari petani. Unsur BPPC terdiri koperasi unit desa, PT. Kerta Niaga [BUMN], dan PT. Kembang Cengkih Nasional.

Sebelum ada BPPC, petani bebas menjual kemanapun dan harganya cukup tinggi. “Setelah 1992, hasil panen itu tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Akhirnya, membiarkan kebunnya atau juga mengganti dengan tanaman lain.”

Pada 21 Mei 1998, Orde Baru tumbang dan monopoli harga berakhir, meskipun harganya belum ideal. Masyarakat ada yang mulai menggarap kembali kebunnya. Namun, masalah lain datang yaitu banyak pohon yang mati karena kekurangan air maupun diserang hama.

“Kini, cengkih harus dipupuk agar cepat tumbuh. Hama juga bersarang di batang,” kata Muhammad.

 

Daun Cengkih yang kering diserang hama. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Penelitian

Dr. Muhammad Sayuthi, Dosen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala [Unsyiah] mengatakan, belum ada penelitian khusus terkait penyebab matinya tanaman cengkih petani.

“sejauh ini berdasarkan keterangan mereka, penyebab utamanya hama penggerek batang dan kemarau panjang.”

Lingkungan rusak, termasuk tutupan hutan yang berkurang, menyebabkan suhu naik. Ulat juga beradaptasi dengan menjadikan tanaman cengkih sebagai inang, atau sebagai tempat tinggal. Hal ini yang menyebabkan cengkeh mati.

“Selain itu, juga dipengaruhi perubahan iklim, hujan terjadi dengan cepat dan kemarau berlangsung lama. Banyak tumbuhan tidak mampu bertahan dengan kondisi ini,” lanjutnya.

 

Tanaman cengkih yang tidak lagi menjadi andalan petani di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sayuthi mengatakan, sedikit perubahan yang terjadi di dunia, termasuk naiknya naik, akan berdampak pada kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Termasuk, pada tumbuh-tumbuhan.

“Solusinya adalah mengembalikan kembali fungsi hutan dan menjaga kelestarian lingkungan. Jika dibiarkan, akan banyak tanaman budidaya yang tidak akan bisa hidup lama,” tutupnya.

 

 

Exit mobile version