Mongabay.co.id

Pandemi Masa Lalu dan COVID-19 di Sulawesi Selatan, Melihat Upaya Dulu dan Sekarang

 

 

 

 

Prayuda Said, konselor adiksi di Makassar, salah satu penyintas Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Pria 33 tahun ini bersama keluarganya, berusaha mematuhi protokol kesehatan dan imbauan pemerintah. Pada, 17 Juni 2020, dia mulai merasakan demam. Dua hari kemudian tiba-tiba penciuman menghilang.

Yuda, mulai khawatir. Anaknya mulai dia ungsikan dan mulai isolasi mandiri. Pada 20 Juni, dia jalani pemeriksaan dan PCR Swab. Empat hari kemudian, Yuda dinyatakan positif COVID-19.

“Waktu dikabari kalau positif sudah tidak kaget, karena dari awal semua gejala sudah menandakan positif,” katanya.

Istrinya, Gabby, lebih awal periksa PCR Swab. Mereka memiliki gejala sama dan dinyatakan positif pada 23 Juni. Ketika mulai isolasi di rumah sakit, dan berjalan menuju kamar isolasi dia mulai merasa sesak. “Rasanya seperti tenggelam,” katanya.

Gabby menggambarkan kesusahan melangkah di anak tangga dan harus mengatur napas. Ketika menghitung langkah, hanya sampai lima kali, dia langsung batuk. Gabby seorang dokter.

“Napas jadi pendek, kalau mau tarik napas panjang dada langsung terasa berat dan batuk tak henti. Bahkan, untuk berubah dari posisi duduk ke baring atau sebaliknya, rasanya berat,” katanya.

“Semua harus (dilakukan) pelan-pelan.”

Gabby mengingat betul bagaimana saturasi oksigen pernapasan turun hingga angka 93 – sementara untuk normal 95. “Sempat berpikir, saya bisa jadi salah satu yang tidak beruntung, wafat,” katanya.

Gabby dan Yuda, menjalani isolasi di rumah sakit berbeda. Mereka menjalani perawatan masing-masing. Mereka hanya komunikasi dengan telepon seluler. “Berat sekali. Saya mau bilang, kalau penyakit ini tidak main-main,” kata Yuda.

Jadi, katanya, penting mematuhi protokol kesehatan walaupun melelahkan.

Di media massa, narasi para penyintas COVID-19, banyak menampilkan kesembuhan dan kematian. Setelah setahun lebih, sejak awal virus masuk Indonesia, Maret 2020, sampai 5 Juli 2021, terpapar COVID-19 2,3 jutaan orang, meninggal dunia oleh wabah ini 61.000-an dan sembuh 1,9 jutaan orang.

Setelah varian Delta menggila, per hari yang terpapar puluhan ribu orang. Pada 5 Juli 2021 saja, total terpapar COVID-19 sebanyak 29.700-an orang, termasuklah di Sulawesi Selatan.

Bagaimana melihat puluhan ribuan angka kematian itu dilaporkan setiap hari oleh pemerintah? Apakah perubahan pola hidup sehat diterapkan dengan disiplin di masyarakat?

“Ada banyak orang yang tak percaya virus ini ada. Mereka belum saja merasakan dan semoga mereka tidak terpapar. Kalau terapapar, rasanya berat sekali karena dihadapi sendiri. Saya pernah berpikir, kemungkinan akan meninggal,” kata Yuda.

Dia mengingat kembali bagaimana menghadapi virus ini sendiri di kamar isolasi. Dia menarik napas panjang. “Saya bangun kencing tengah malam. Dari ranjang saya jalan, jarak tidak sampai 10 meter. Setelah kencing, sulit sekali saya jalan pulang untuk naik di ranjang,” katanya.

“Jadi, biasa saya tidur di lantai dulu, terus atur napas baik-baik. Kalau sudah mulai baik, baru saya berdiri dan naik di ranjang. Mau minta tolong sama siapa? Tidak ada. Kekuatan semangatlah yang kasi bertahan.”

Ketika indera perasa menghilang, katanya, semua makanan menjadi hambar. Dia terus memaksakan diri memenuhi kebutuhan gizi. “Saya tetap makan. Sekalipun tidak ada rasanya, saya harus makan,” kenang Yuda.

Dia bilang, kalau sampai tidak mau makan, kadar gula dalam darah akan turun drastis. “Jadi saya paksa makan. Saya tidak mau lebih drop lagi gara-gara manja tidak mau makan saat kondisi begitu. Tidak ada teknik mengakali. Makan, ya makan saja.”

Yuda dan Gabby, dua penyintas. Mereka melewati serangan wabah ini dengan perjuangan berat.

 

 

Wabah masa lalu

Sebelum COVID-19 menjadi pandemi dunia, di Indonesia, khusus Makassar pernah dilanda wabah sampar, yang membunuh ribuan orang .

Catatan harian kerajaan Gowa dan laporan Lembaga Administrasi Tertinggi Banten, menyebutkan, wabah ini menewaskan 60.000 orang hanya dalam waktu 40 hari. Sumber lokal menyebutkan penyakit ini sebagai garring puah.

Amrullah Amir, sejarawan Universitas Hasanuddin dalam “Wabah Dalam Perang Makassar” menyatakan, saat sampar menyerang penyakit ini dikisahkan membawa dampak buruk. “Bahwa, mereka yang terkena penyakit di pagi hari maka sore mereka menemui kematian,” tulisnya.

“Demikian pula sebaliknya hingga seluruh negeri dilanda kengerian dan ketakutan akan wabah ini. Kematian tidak mengenal kasta, rakyat biasa maupun kalangan bangsawan menderita dibuatnya.”

Catatan lain menyebutkan, kalau penguasa Kerajaan Tallo Karaeng Matoaya–bapak dari Karaeng Pattingaloang–menyerukan untuk melindungi diri masing-masing dari penyakit sampar dan kelaparan.

Pada tahun sama 1 Oktober 1636, disebutkan Matoaya meninggal dunia usia 63 tahun, karena menderita sakit selama sembilan bulan.

Amirullah juga mengutip Nicolas Gervaise penyusun buku “An Historical Description of The Kingdoms of Macasar in The East-Indies” pada 1701, yang menuliskan, kalau wabah yang menyerang sekitar 20 tahun lalu telah mengurangi penduduk Makassar. Lebih 100 ribu orang meninggal.

Pada Juni 1669, pertempuran Gowa dan VOC bersama Bugis meledakkan Benteng Somba Opu, dan menjadi pertanda penundukan. Selain pertempuran dahsyat itu, kedua kubu diserang wabah.

Pada 5 November 1667, Komandan Pasukan VOC Speelman menulis surat kepada Batavia kalau kondisi kesehatan dan semangat tempur pasukan makin merosot. Dalam catatannya, 182 tentara dan 96 pelaut dalam keadaan kritis karena disentri. Bahkan, tenaga medis dan ahli bedah juga sakit.

Catatan lain menyebutkan, pada April-Juli 1668, timbul epidemi di Makassar. Ratusan terserang dan meluluntahkan semangat para tentara dan warga. Disebutkan pada Mei 1668, sekitar 100 orang Belanda meninggal dunia. Pada Juni ada 125 orang meninggal. Berikutnya, 135 orang menghembuskan napas.

Bahkan, di Somba Opu sekitar 73 orang dikubur setiap hari. Di Tallo sekitar 20 orang perhari meninggal dunia. Ketakuran epidemi ini membuat Speelman memutuskan untuk menghindari zona epidemi. Dia mengungsi ke laut selama berhari-hari.

 

 

Tradisi pengobatan

Dalam beberapa laporan mengenai penanganan epidemi di Makassar, sangat sedikit sumber yang menerangkan proses pengobatan di masyarakat lokal. Sumber Belanda menyebutkan, tenaga medis dan ahli bedah.

Khusus di Sulawesi Selatan dikenal dengan istilah tabib atau sanro atau dukun. Sanro inilah yang menangani beberapa penyakit yang didera masyarakat, dengan gunakan perantara roh. Para sanro percaya beberapa penyakit yang muncul karena ada kerasukan roh jahat dan proses penyembuhan dengan menggelar ritual.

Proses penanganan wabah itu kemudian menimbulkan banyak korban di masyarakat. Seperti ketika flu Spanyol juga menjangkiti masyarakat di Sulawesi Selatan. Masyarakat Toraja, hanya mengenang sebagai peristiwa ra’ba biang. Bagaimana penangangannya, tak ada catatan yang menjelaskan.

Kini, ketika pandemi COVID-19 menghantam dunia, jutaan orang meninggal dunia. COVID-19 menjadi penyakit baru dengan sumber ada sejak lama. Tak ada yang dapat memastikan kapan pandemi berakhir.

Ketika vaksin ditemukan, ada sebagian warga menolak. “Dulu, ketika orang diserang cacar, banyak meninggal dan yang selamat bahkan bisa cacat,” kata Yuda. “Sekarang sudah ada vaksin. Kalau kena cacar, tidak mati kan? Itu gunanya vaksin.”

 

 

Bumi yang saat ini diselimuti virus corona. Ilustrasi: Miroslava Chrienova/Pixabay/Free for commercial use
No attribution required

 

Upaya dulu dan sekarang

Wachyudi Muchsin, Humas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Makassar mengatakan, wabah flu Spanyol yang berlangsung pada 1918-1919 menunjukkan intervensi pembatasan jarak memainkan peran utama dalam mengurangi dampak wabah masa itu. Beberapa kota, katanya, karantina wilayah dan membatasi beberapa pengunjung untuk turun dari pelabuhan.

Untuk COVID-19, aturan pemerintah untuk pembatasan sosial maupun pembatasan fisik sebagai antisipasi penularan wabah.

Bagi, Wachyudin, pandemi yang menghantam seluruh dunia ini, akan kembali mengingatkan semua orang untuk menjaga kebersihan.

Dalam tulisan Noer Fauzi Rachman dan Ilsa Nelwan di Mongabay Indonesia bicara soal epidemiologi. Ia berupa studi tentang penyebaran atau distribusi suatu penyakit atau masalah kesehatan lain, dan kondisi-kondisi, faktor-faktor, peristiwa-peristiwa pembentuk dari penyebaran penyakit atau masalah kesehatan itu dalam populasi tertentu.

Dengan epidemiologi inilah, kata dua penulis ini, akan mengungkap cara-cara bagaimana virus SARS-CoV-2 keluar dari kelelawar sebagai inang primernya, menyebar dari hewan-hewan liar sebagai inang perantara yang diperjual-belikan sebagai makanan manusia di pasar seafood Kota Wuhan, Tiongkok. Lalu virus SARS-CoV-2 itu menular antar manusia jadi letusan wabah, kemudian menyebar dari episentrum ke berbagai negara di dunia termasuk di Indonesia hingga jadi pandemi.

Pada Maret 2021, setahun sudah COVID-19 sejak kali pertama diumumkan masuk Indonesia. Indonesia di urutan pertama negara Asia Tenggara dengan kasus positif akumulatif paling tinggi. Di seluruh Asia, Indonesia menduduki peringkat keempat di bawah India, Turki, dan Iran.

“Berbagai upaya membatasi persebaran virus dilakukan, tetapi belum tampak tanda-tanda pandemi akan berakhir dalam waktu dekat,” kata Wachyudi.

Vaksinasi mulai jalan sejak Februari lalu. “Apapun alasannya, bicara fakta dimana positive rate 18% di Indonesia. Artinya, 10 orang testing swab/PCR akan ada tiga orang positif. Standar WHO 5%.”

Ridwan Amiruddin, Epidemolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin dan Ketua Tim Ahli Pengendalian COVID-19 Sulawesi Selatan mengatakan, COVID-19 kali pertama muncul di Wuhan dalam waktu sangat singkat menyebar ke 160-an negara termasuk Indonesia.

Pada Maret 2020, muncul di Makassar. COVID-19 di Makassar ini merupakan kasus dari Jakarta. “Cepatnya penyebaran virus ini membuat orang kelimpungan. April 2020, menyebar di 24 kebupaten kota di Sulsel,” katanya.

COVID-19 adalah travel disease oleh virus SARCOV2 merupakan kelompok influenza disease (influenza like illness) yang menular melalui droplet yang menyebar di udara (aerosol transmission).

“Penyakit ini mengalami kecendurang yang makin menular.”

Bagaimana menghadapinya? Pengendalian COVID-19 sebagai penyakit menular yang menginfeksi dengan cara baru (new emerging infectious) melalui udara. Virus ini memasuki tubuh melalui saluran napas, yang dapat disentuh langsung oleh tangan dan menyentuh wajah, mata, yang bisa menyebar melalui conjuctiva (permukaan bola mata).

Untuk memutus mata rantai penularan penyakit ini, katanya, dengan memakai masker yang menutupi hidung, mulut sangat efektif. Sering mencuci tangan sebagai perilaku sehat juga guna mencegah penularan penyakit infeksi hingga 60%. Serta menjaga jarak yang sekitar dua meter dengan orang lain.

Ridwan bilang, jumlah penularan naik lantaran muncul varian baru termasuk Delta yang sedang mengganas di Pulau Jawa. Varian ini masuk melalui pekerja India di Jawa.

Mengingat Sulawesi Selatan, pernah mengalami pandemi, katanya, bukan tidak mungkin akan jadi kasus yang menetap. “Status sebuah pandemik, bisa berubah menjadi endemik, atau bersifat menetap bila virus terus mengembangkan sistem mutasinya,” katanya.

“Belum ada vaksin yang ampuh mencegah virus ini dan belum terbentuknya sistem kekebalan kelompok dari masyarakat umum.”

Flu Spanyol, katanya, pada 1919 dan COVID-19 berbeda jenis strain virus, meski sama sebagai penyakit influenza.

Bagi kelompok penolak vaksin, katanya, memang jadi beban besar. “Penolakan vaksin karena faktor religi, keamanan vaksin dan faktor lain yang cenderung tidak rasional,” kata Ridwan.

 

 

****

Foto utama: Warga baru menerima vaksin COVID-19. Foto: BNPB

Exit mobile version