Mongabay.co.id

Bank Tanah Ancam Agenda Reforma Agraria, Ini Alasannya

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

Komitmen pemerintah mau menjalankan reforma agraria agraria jadi angin segar buat mengurangi kesenjangan kuasa lahan yang selama ini terjadi di Indonesia. Sayangnya, reforma agraria masih berjalan terseok-seok, pemerintah sudah bikin aturan soal bank tanah yang dinilai bisa menjauhkan dari pelaksanaan reforma agraria.

Pada 29 April 2021, Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah. Regulasi ini jadi satu dari 49 peraturan pelaksana UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Pengesahan PP ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 135 dalam UU Cipta Kerja.

Gagasan dan formulasi kebijakan bank tanah mencuat sejak pembahasan RUU Pertanahan pada 2019. Banyak protes berujung tak lanjut. Gagal ada di RUU Pertananan, bank tanah malah masuk dalam UU Cipta Kerja.

Dalam kebijakan itu menyebutkan kalau bank tanah sebagai pengendali utama dalam pengadaan dan pengalokasian tanah di Indonesia. Fungsinya, mulai perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan hingga pendistribusian tanah.

“Agenda bank tanah ini jelas-jelas memiliki orientasi mendorong dan makin memperkuat praktik-praktik liberisasi tanah di Indonesia. Lembaga ini akan mempermudah perampasan tanah atas nama pengadaan tanah untuk kepentingan investor,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dalam webinar Bahaya Bank Tanah Untuk Agenda Reforma Agraria, baru-baru ini.

Dia nilai, bank tanah menyimpang karena negara memiliki pemilikan obsulte atas tanah dan dalam mandat UU Pokok Agraria dalam mengelola tanah sebesar-besarnya untuk kemakmuran takyat.

Bank tanah ini, katanya, mengadopsi asas domein verklaring dan menyelewengkan hak menguasai dari negara. Dewi mengatakan, semangat dan cara kerja bank tanah ini melegalkan praktik-praktik tanah negara dipersempit jadi milik pemerintah. Padahal, prinsip ini telah dihapus dalam UUPA 1960.

“Baik omnibus law maupun PP ini melanggar UUD 1945. UU 1960, termasuk keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang telah mengoreksi penyelewangan dan penyimpangan dari prinsip hak hak menguasai negara atas tanah,” katanya.

Bank tanah, katanya, tidak berpihak pada pemenuhan hak masyarakat kecil atas tanah, melainkan investasi, sebagaimana diatur Pasal 19 PP Bank Tanah. Dalam Bank Tanah menjamin dan mendukung ketersediaan tanah untuk pembangunan pusat dan daerah dalam mendukung peningkatan ekonomi dan investasi.

Regulasi ini, katanya, juga memudahkan bagi badan usaha asing menguasai tanah di Indonesia atas nama investasi.  Sebaliknya, tak berpihak pada pemenuhan hak kepada masyarakat kecil, nelayan, petani, warga miskin kota.

“Celakanya, sumber tanah yang dikuasai bank tanah dari penetapan pemerintah melalui klaim tanah negara. Tanah negara ini diatur dalam PP lain yaitu PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, dimana tanah negara antara lain tanah petani, nelayan, masyarakat adat yang belum bersertifikat – yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya.”

Dengan begitu, katanya, fungsi sosial atas tanah dan pelarangan monopoli atas tanah oleh swasta yang dimandatkan UUPA 1960 dilabrak PP Bank Tanah.

 

Dokumen: PP Nomor 64:2021 soal Badan Bank Tanah

Ladang jagung warga adat Natumingka yang sedang berkonflik dengan PT TPL. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Logika pasar pada bank tanah– jadikan tanah sebagai komoditas– secara terang-terangan ditunjukkan pada penggunaan kata ‘kompetitif’ pada Pasal 40 ayat 8 PP Bank Tanah.

Dewi bilang, aturan itu jadikan peran negara yang seharusnya menjamin hak atas tanah kepada rakyat miskin dan mencegah monopoli swasta sesuai mandat konstitusi dan UU PA terbelokkan melalui UU Cipta Kerja.

“Harusnya penegakan fungsi sosial atas tanah jadi fondasi kebijakan pertanahan di Indonesia, bukan semata-mata fungsi ekonomi, apalagi ekonomi liberal.”

Berdasarkan regulasi ini, kelembagaan bank tanah akan diperkuat melalui Peraturan Presiden (Perpres) yang sedang disiapkan.

Himawan Arief Sugoto, Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyebutkan, perpres akan dibuat untuk mengatur kewenangan lembaga.

“(Draf) mungkin Juni atau Juli diharapkan selesai,” katanya kepada Mongabay.

Saat dikonfirmasi terkait lembaga ini khawatir mengadopsi asas domein verklaring dan akan memperparah konflik dia tidak menjawab secara jelas. “Tidak begitu.”

 

Baca juga: Begini Nasib Hutan Adat Laman Kinipan Kala Investasi Sawit Datang

Hutan adat Sawai di Halmahera, yang terancam karena sudah ada perusahaan tambang di sana. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Tumpang tindih

Yando Zakaria, peneliti dari Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat mengatakan, lembaga bank tanah ini tak rasional dan tak urgen dalam implementasi agenda reforma agraria. “[Kalau niat] lembaga ini untuk mengkonsolidasikan dan mendistribusikan tanah, lalu apa bedanya dengan BPN/ATR? Apakah tidak terjadi tumpang tindih?’ katanya kepada Mongabay.

Pembentukan lembaga baru ini malahan akan mengamputasi Badan Pertanahan Nasional yang sudah ada lebih dahulu. Apalagi secara substansi, katanya, lembaga ini memiliki semangat berbeda dalam upaya penyelesaian ketimpangan kepemilikan lahan.

Dia bilang, ada agenda terselebung dalam regulasi ini yang melakukan redefenisi dari pengertian reforma agraria. Tanah reforma agraria, yang didistribusikan bank tanah kepada masyarakat hanya sebatas hak pengelolaan. Berbeda, dengan semangat reforma agraria yang genuine mendistribusikan aset negara kepada masayrakat tidak mampu dan membutuhkan untuk keadilan dan kesejahteraan.

Padahal, tugas wajib BPN adalah mendistribusikan tanah dan menjaga struktur ketimpangan agraria baru berbicara pada pertumbuhan dan keuntungan.

“Logika reforma agraria yang diatur dalam bank tanah ini berbeda sekali, pendekatannya optimalisasi, investasi. Sedangkan reforma agaria, aslinya, terkait pada persoalan hidup rakyat, soal keadilan dan hak hidup rakyat.”

Dalam implementasi reforma agraria konsep ini, masyarakat akan berhadapan pada masalah ‘pertumbuhan’, dengan ukuran bukan pada masyarakat memiliki aset untuk ruang hidup tetapi seberapa besar kegiatan mampu menyumbang pada pertumbuhan ekonomi negara.

“Jika tidak menyumbang, maka isu-isu pada keadilan itu tidak menjadi dasar pemikiran, keterlibatan masyarakat adat dan masyarakat kecil dalam skema-skema itu akan ditentukan apakah dalam kegiatan-kegiatan masyarakat itu akan inline dengan ekonomi arus utama?”

 

Baca juga: Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan

Alat berat perusahaan terus bekerja menyiapkan lahan untuk tanam eukaliptus. Tanaman pangan warga Sakai pun kemungkinan kena pembersihan… Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Perparah ketimpangan

Berdasarkan catatan KPA 2020, ada 241 konflik agraria bersifat struktural di seluruh sektor, dengan 135.000 keluarga tersebar di 359 desa/kota terdampak konflik.

Dewi khawatir, kehadiran bank tanah akan memperparah sekaligus menghambat penyelesaian konflik agraria di seluruh sektor.

Dia mengatakan, regulasi bank tanah ini akan memperparah praktik liberalisasi pertanahan, spekulan dan monopoli tanah oleh segelintir kelompok, termasuk elit pemerintahan.

Dewi was-was, kondisi ini bisa berpotensi besar dalam melegalkan cara-cara perampasan tanah dan penggusuran wilayah hidup masyarakat, memperparah kemiskinan struktural di pedesaan dan perkotaan. Juga mengkirminalkan petani, pengganti, komunitas adat atas nama investasi dan pembangunan.

“Operasi bank tanah akan memperlebar jurang ketimpangan penguasaan tanah antara masyarakat kecil dengan badan usaha swasta maupun negara, termasuk investor asing.”

Bahkan, dengan kewenangan sangat luas yang bisa dilakukan bank tanah itu akan memperparah situasi konflik agraria di lapangan. Proses-proses perolehan tanah pun berpotensi kuat tumpang tindih dengan wilayah hidup masyarakat.

Apalagi, katanya, sumber tanah buat bank tanah banyak berasal dari lahan yang seharusnya untuk rakyat dalam kerangka reforma agraria.

Kini, kata Dewi, ada banyak amunisi baru kemudahan pengadaan tanah bagi badan usaha raksasa untuk memperoleh tanah dalam skala luas. Termasuk PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, yang berkaitan erat dengan kepentingan PP Bank Tanah. Revisi UU Pengadaan Tanah, telah memperluas definisi kepentingan umum, yang jadi salah satu tujuan bank tanah.

Dia mengatakan, lembaga bank tanah ini dengan kewenangan dan fungsi luas, kehadiran lembaga ini berpotensi kuat menyediakan ladang subur korupsi dan kolusi agraria yang dilegalkan hukum.

“Pasal 50 PP Bank Tanah, contohnya, Menteri ATR/BPN dapat memutihkan HGU-HGU terlantar atau HGU berkonflik dengan petani dan masyarakat adat, dengan memberikan kemudahan proses pengakuan hukum kepada perusahaan yang membutuhkan tanah itu,” katanya.

Pada Pasal 47 ayat 1 menyebutkan, audit pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan penyelenggaraan bank tanah adalah akuntan publik (swasta). Dalam hal ini, katanya, negara dan partisipasi masyarakat absen dalam pengawasan.

Celakanya, pada pasal selanjutnya disebutkan Pasal 47 ayat 2, akuntan publik itu dipilih dewan pengawas atas usulan kepala bank tanah. Hal ini, katanya, patut dipertanyakan karena berpotensi menimbulkan conflict of interest.

Meski pada Pasal 4 disebutkan, bank tanah bersifat transparan, akuntabel, non profit, dan profesional. “Kami menilai itu hanya bersifat formalitas dan mengelabui pasal-pasal lain yang memberi kewenangan begitu powerful kepada bank tanah.”

“Sifat transparansi, non-profit dan lain-lain yang disinggung sekilas menjadi pasal basa-basi sebab kuat berorientasi pro-pasar, bisnis dan tidak diikuti pengawasan independen terhadap kelembagaan dan operasi bank tanah.”

KPA mendesak,  pemerintah fokus pada agenda reforma agraria dengan revisi Perpres Reforma Agraria yang hingga kini terkatung-katung.

 

*****

Foto utama:  Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

Exit mobile version