Mongabay.co.id

Menelusuri Jejak Budaya Maritim Majapahit di Jatim

Replika kapal kerajaan Majapahit yang diber nama "Spirit of Majapahit" yang dibuat oleh Kemenko Maritim. Kapal Spirit of Majapahit melakukan ekspedisi untuk mengenang kejayaan Kerajaan Majapahit. Foto : Kemenko Maritim

 

Majapahit merupakan kerajaan agraris sekaligus memiliki budaya maritim. Dikenal memiliki armada laut yang kuat dan sistem transportasi yang menghubungkan daratan dengan lautan dengan memanfaatkan aliran sungai. Tim Peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi meneliti di jalur kawasan hilir sungai Brantas. Sejak 2019, tim ini fokus meneliti di percabangan Kali Brantas dengan Kali Surabaya-Kali Mas-Kali Porong.

“Fokus di hilir. Penelitian dinamika lanskap kultur maritim di hilir Brantas Abad XI-XX,” kata peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, Agni Mochtar dalam webinar Jejak Pelabuhan Kuno Di Daerah Aliran Sungai Brantas yang diselenggarakan Program Studi Teknik Geofisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Sabtu (5/6/2021).

Berdasarkan sejumlah data arkeologi, kata Agni, Sungai Brantas menjadi jalur transportasi pada Abad XI-XX. Masyarakat di pedalaman terhubung dengan masyarakat pesisir. Agni merujuk prasasti Kamalagyan 1037 Masehi yang terletak di dusun Klagen, Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo sebagai salah satu data arkeologi yang menyebut sungai Brantas.

Sungai Brantas menjadi jalur transpotasi utama perdagangan. Sedangkan dalam Prasasti Dhimanasrama Abad XI menyebut 50 jenis perahu yang menjadi moda transportasi. Namun sampai sekarang tidak menemukan peninggalan artefaktual dalam bentuk bangkai kapal.

Namun, Agni menemukan sejumlah galangan kapal di daerah aliran sungai (DAS) Brantas membuat perahu tradisional dengan teknik kuno. Sedangkan Prasasti Canggu 1368 Masehi, mencatat desa tempat penyeberangan sungai. Pelabuhan sungai masuk ke jalur sungai. Berfungsi untuk mendukung kapal besar yang tak bisa melalui jalur sungai. “Pelabuhan sungai berada di DAS Brantas, bukan di bibir seperti sekarang,” kata Agni.

Ada perahu hiliran yang menjadi penghubung antara kawasan pesisir dengan daerah pedalaman. Dari perahu besar di pelabuhan laut berpindah ke perahu hiliran yang menelusuri aliran sungai. Perahu hiliran merupakan perahu yang lebih kecil yang leluasa menelusuri daerah aliran sungai.

baca : Kembalikan Kejayaan Majapahit, Kapal Indonesia Berlayar ke Jepang

 

Prasasti Canggu 1368 Masehi mencatat desa tempat penyeberangan sungai di Sungai Brantas. Foto : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Membaca Situs Kadipaten Terung

Dosen Teknik Geofisika ITS Firman Syaifudin meneliti dan mengeksplorasi jejak pelabuhan kuno DAS Brantas di Situs Kadipaten Terung. Kajian sejak 2018, menggunakan pendekatan studi literatur, survei geofisika, foto udara dan menganalisis lapisan sedimen sungai.

“Bentang alam delta Sungai Brantas di kelilingi Gunung Kawi, Kelud, Penanggungan, Arjuna, dan Welirang yang saat itu masih aktif,” katanya. Sedimen vulkanik, katanya, berdampak positif karena menjaga kesuburan tanah, sehingga hasil pertanian bagus. Dampak negatif menyebabkan banjir dan perubahan aliran sungai.

Suplai sedimen memungkinkan terjadi pergeseran badan sungai. Selain itu, bisa mengakibatkan bencana, dan menutup jejak peradaban masa lalu. Lokasi Situs Kadipaten Terung di wilayah Sidoarjo. Pada 2014 ditemukan struktur batu bata berukuran besar berbentuk L, yang mengindikasikan jejak peradaban lampau.

Situs diperkirakan tertutup lahar dari letusan Gunung Penanggungan yang kala itu masih aktif. Lokasi situs berjarak sekitar 300 meter dari Sungai Terung. Berdasar penelitian peta geologi, Situs Kadipaten Terung berada di endapan alluvium berasosiasi dengan sungai. Hasil analisis geolistrik dua dimensi, ditemukan kemiringan atau perbedaan ketinggian posisi tanah keras sepanjang lintasan 64 centimeter delta dengan kedalaman 8 centimeter sungai Terung.

Peneliti menggunakan pendekatan geolistrik tiga dimensi di bawah struktur batu bata berbentuk L. Hasil intepretasi pencitraan tiga dimensi diperkirakan ada struktur bangunan di bawah permukaan situs Kadipaten Terung. Peneliti juga menemukan obyek kuat di kedalaman 12 meter.

“Mungkin di dalam ada benda atau reruntuhan bangunan. Terpendam, terkubur di kedalaman 12 meter,” katanya. Dugaan kuat Situs Kadipaten Terung merupakan jejak pelabuhan kuno di DAS Brantas. Terjadi sedimentasi sehingga tertutup lapisan tanah, akibat longsor karena kegempaan atau sedimen lahar Gunung Penanggungan.

baca juga : Saat Air Bengawan Solo Surut, Warga Lamongan Temukan Perahu diduga Era Belanda

 

Prasasti Kamalagyan 1037 Masehi menyebut sungai Brantasmenjadi jalur transportasi utama pendukung perdagangan. Foto : National Geographic

 

Majapahit dan Budaya Maritim

Sejarawan Universitas Negeri Malang M. Dwi Cahyono menjelaskan prasasti Canggu, tertulis nadi tira radesa. Nadi merupakan istilah Jawa Kuno yang menunjuk urat yang berukuran besar pada tubuh manusia. “Urat nadi. Sungai besar diibaratkan urat nadi bagi tubuh manusia,” katanya.

Dalam prasasti Canggu menyebut desa panambangan atau tempat penyeberangan sungai. Menghubungkan desa yang berada di kanan dan kiri badan sungai. Majapahit era Raja Hayam Wuruk memberikan penghargaan desa sima karena jasanya menyeberangkan penduduk dari desa satu ke desa lain. “Ada puluhan desa ditetapkan desa perdikan atau desa sima. Bebas pajak,” katanya.

Sementara Prasasti Kamalagyan memberitakan tentang sungai Brantas dengan sebutan Bangawan. Istilah bangawan, katanya, digunakan untuk menyebut sungai yang besar. Sedangkan dalam Kakawin Nagarakretagama diberitakan pada era Singasari, dibangun benteng di Canggu Lor dekat sungai Brantas, tujuannya untuk mengantisipasi serangan musuh.

Dwi juga merujuk susastra kidung Panji Wijata Krama, Sudayana, Sunda, Ranggalawe yang menyebut kekuatan maritim Majapahit. Disebut pelabuhan sungai di Kediri, pelabuhan Jong Biru. Lokasinya tepat di DAS Brantas. Aliran Brantas berbentuk meander atau berkelok.

Kerajaan Kediri memiliki pelabuhan sungai di daerah yang berbentuk meander. Pulo Tondo merupakan pelabuhan sungai, dengan posisi berkelok tajam. “Ketika Raden Wijaya bersama rombongan beraudiensi dengan Jayakatwang, tidak diterima di ibu kota kerajan Kediri di Daha. Namun, diterima di pelabuhan di Jong Biru,” katanya.

Mengenai bentuk kapal yang mengarungi sungai Brantas, Dwi merujuk pahatan relief di pandapa teras luar Candi Penataran, Blitar. Brantas, katanya, dilalui dengan kapal besar, dengan tenaga penggerak berupa layar dan dayung renteng. “Konstruksi perahu bisa dilihat di pandapa teras luar Candi Penataran,” katanya.

menarik dibaca : Adanya Kapal Kuno Buktikan Indonesia Penguasa Lautan Asia. Benarkah?

 

Bentuk perahu terpahat dalam relief di pandapa teras luar Candi Penataran, Blitar. Kapal besar digerakkan dengan layar dan dayung renteng. Foto : Samodra ITS

 

Pelabuhan Ujung Galuh

Pada masa Majapahit dipimpin Raja Airlangga memiliki pelabuhan Hujung Galuh atau Ujung Galuh sebagai pelabuhan utama perniagaan antar pulau. Dwi Cahyono menyebut Ujung Galuh menjadi pelabuhan penting dan strategis. Dia memperkirakan letak pelabuhan Ujung Galuh tak berada di pesisir pantai seperti sekarang.

Posisi Galuh, katanya, merujuk ibu kota Mataram pada masa Mpu Sindok, di Megaluh (Jombang). “Merujuk Prasasti Kamalagyan, Bangawan (Brantas) mengalir ke utara. Kemungkinan Ujung Galuh berada antara Sidoarjo-Pasuruan. Aliran Porong atau Kalimas,” katanya.

Dwi juga menunjuk catatan Ma Huan, Tiongkok muslim yang menulis Yingyai Shenglan, sebuah kronik perjalanan ekspedisi Cheng Ho pada abad XV. Ma Huan dalam perjalanan ke pusat pemerintahan Majapahit di Wilwatikta melalui Kalimas. “Ujung Galuh di aliran Kalimas. Diperkirakan di daerah Wonokromo, Surabaya,” ujarnya.

Sementara Agni Mochtar berbeda pendapat. Dalam Prasasti Canggu menyebutkan masyarakat berlayar ke hulu untuk mengambil barang ke Ujung Galuh. Sehingga diperkirakan Ujung Galuh agak masuk mendekati kawasan Balongbendo. Pelabuhan Ujung Galuh semacam pelabuhan sungai yang masuk kedalam.

”Kapal berhenti untuk melakukan pertukaran barang. Penyeberangan sungai ada tukar menukar dan perdagangan,” katanya. Penelitian dan kajian dimulai sejak masa Kolonial Belanda oleh sejarawan Stein Callenfels. Namun, Agni mengaku belum bisa memastikan letak persis Ujung Galuh di mana. Ia memperkirakan di Sidoarjo, antara Serbo-Canggu.

 

Bentuk perahu terpahat dalam relief di pandapa teras luar Candi Penataran, Blitar. Kapal besar digerakkan dengan layar dan dayung renteng. Foto : Samodra ITS

 

***

 

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Replika kapal kerajaan Majapahit yang diberi nama “Spirit of Majapahit” yang dibuat oleh Kemenko Maritim. Kapal Spirit of Majapahit melakukan ekspedisi untuk mengenang kejayaan Kerajaan Majapahit. Foto : Kemenko Maritim

 

Exit mobile version