Pemerintah Tiongkok dan Indonesia sama-sama ingin mengembalikan kejayaan jalur maritim di Asia. Jika Tiongkok (China) ingin mengembalikan Jalur Sutra Maritim maka Indonesia ingin menjadi Poros Maritim Dunia. Lalu, siapa yang pantas memimpin atau mengatur pelayaran di Samudera Hindia, sebagian Laut China Selatan dan Samudera Pasifik?
“Indonesia. Jalur Sutra Maritim yang dikembangkan Tiongkok merupakan pemaknaan atau pemanfaatan mereka terhadap jalur maritim yang dijalankan Kerajaan Sriwijaya,” kata Budi Wiyana, arkeolog lahan basah yang juga Kepala Balai Arkeologi (Balar) Sumatera Selatan, Selasa (20/12/2016).
Dijelaskan Budi, Bangsa Indonesia atau Asia Tenggara yang kali pertama menguasai jalur maritim di Asia. Ini dibuktikan dari sejarah perkapalan. Kapal atau perahu di Indonesia usianya jauh lebih tua dibandingkan di Tiongkok.
Sebelum Kerajaan Sriwijaya atau Sebelum Masehi, masyarakat di Asia Tenggara, khususnya Nusantara, juga telah melakukan pelayaran ke berbagai wilayah di dunia.
Bukti lainnya, sejak awal masehi Kekaisaran di Tiongkok tidak mampu menaklukan kerajaan di Nusantara. Ini dikarenakan armada laut mereka yang jauh lebih lemah dibandingkan milik kerajaan di Nusantara.
“Artinya jika jalur maritim di Asia ingin dibangun kembali, maka Indonesia yang memimpinnya. Indonesia yang membuat aturan jalur perdagangan tersebut, sama seperti yang dilakukan Kerajaan Sriwijaya dahulu,” kata Budi.
Sejarah perahu
Berdasarkan berbagai penemuan perahu maupun kapal kuno di Asia Tenggara atau Tiongkok, perahu-perahu kuno yang ditemukan di Nusantara jauh lebih tua usianya. Dari penemuan tersebut, yang paling banyak ditemukan di pesisir timur Sumatera Selatan. Perahu dan kapal kuno ini diperkirakan dari abad ke-5 hingga 8 Masehi. Ciri-cirinya menggunakan teknik ikat dan pasak.
Perahu dan kapal kuno ini ditemukan di Kabupaten Banyuasin, Musi Banyuasin, Palembang, Ogan Komering Ilir (OKI), dan Penukal Abab Lematang Ilir (PALI). Misalnya di Samirejo, Paya Pasir, Kolam Pinisi, Tulungselapan, Cengal, TPKS Karanganyar, dan Air Sugihan. Di luar Sumatera Selatan seperti di Tanjung Jambu, Lambur, Laut Jawa utara (Cirebon), Kota Kapur, dan Punjulharjo.
Selain itu, di Asia, mungkin hanya Kerajaan Sriwijaya yang menghargai seorang nakhoda. Nakhoda yang berarti juragan atau pemilik kapal, komando kapal atau kapten kapal, mendapatkan posisi penting di sisi raja, seperti terbaca pada Prasasti Telaga Batu. Dalam prasasti tersebut seorang nakhoda diminta setia kepada raja.
Sementara perahu di Tiongkok berkembang dari abad ke-13 hingga 16 Masehi, dengan ciri pembuatannya menggunakan teknik pasak dan paku besi. Perahu kuno ini ditemukan di Quanzhou-Fujian, Buntuan Mindanau, Bukit Jakas-Pulau Bintan di Riau, Ko Kadrat di Pattaya dan Ko Si Chang III.
Kapal-kapal ini yang digunakan Cheng-Ho untuk melakukan perjalanan samudera ke berbagai negeri di dunia. “Jangan-jangan setiap kali melakukan pelayaran, Cheng-Ho mampir ke Palembang, gunanya mencari informasi terkait peta perjalanan kapal-kapal Sriwijaya di masa lalu. Jadi, semacam pengulangan titik tujuan,” kata Budi.
Bagaimana dengan klaim Tiongkok yang kali pertama menemukan kompas yang akhirnya banyak digunakan pelaut? “Wah, jauh sebelum ada kompas, bangsa di dunia, termasuk di Asia Tenggara, menggunakan tanda alam seperti bintang dan matahari sebagai penanda arah angin atau wilayah. Penemuan kompas bukan berarti lebih awal menguasai dunia pelayaran,” ujarnya.
Selain perahu, berbagai penemuan artefak yang ada di sekitar permukiman kuno maupun di dalam perahu atau kapal di Nusantara, terdapat komoditas yang berasal dari Timur dan Barat. Baik berupa pehiasan, alat rumah tangga, dan lainnya. “Itu menunjukkan hubungan yang erat antara kita dengan wilayah Barat dan Timur. Kita ini bangsa yang terbuka. Di tengah. Lihatlah hari ini, sebagian besar bangsa ini secara genetik memiliki hubungan dengan bangsa di Barat atau Timur. ”
Berdaulat di laut dan pesisir
Sebagai penguasa jalur maritim, Kerajaan Sriwijaya jelas menguasai seluruh wilayah laut dan pesisir di Sumatera, Malaka, Kalimantan, Jawa, Filipina, Sulawesi, Papua, Maluku, Thailand, Vietnam, dan lainnya.
Namun, dalam penguasaan wilayah pesisir dan daratannya, Sriwijaya hanya mengambil peranan sebagai “penyalur” dari komoditas yang dihasilkan dari wilayah pesisir tersebut dengan membuat berbagai pelabuhan atau dermaga. Pemilik atau penanggung jawab wilayah diserahkan kepada masyarakat atau kekuatan lokal.
“Tidak heran di masa Sriwijaya kesejahteraan rakyatnya menyebar, tidak tersentral di pusat kekuasaan. Sedikit sekali terjadi pemberontakan dari wilayah kekuasaan Sriwijaya,” katanya.
Bambang Budi Utomo, arkeolog lahan basah dari Pusat Arkeologi Nasional dalam artikelnya “Di Zaman Sriwijaya Kedaulatan di Laut Sudah Ditegakkan” menuliskan pada zaman Sriwijaya, distribusi barang antarpulau harus dilakukan dengan menggunakan kapal-kapal “berbendera” atau kapal Sriwijaya. Ini berbeda pada kekinian, banyak ditemukan kapal berbendera asing yang berlalu-lalang di Nusantara.
Pada abad ke-7, sebuah “tol laut” sudah dikembangkan Kerajaan Sriwijaya yang menghubungkan Palembang (Sriwijaya) ke Guangdong (Tiongkok). Pelabuhan singgahnya di Natuna. Kemudian dari pelabuhan Sriwijaya komoditi perdagangan itu disalurkan ke pelabuhan lain seperti ke Kalimantan Barat dan Jawa.
“Siapa-siapa yang hendak berdagang di wilayah perairan Sriwijaya, harus memakai kapal Sriwijaya”, demikian kira-kira aturan yang dikeluarkan Dapunta Hyang, jabatan penguasa dari Kadatuan Sriwijaya, dari abad ke-8 hingga 10 Masehi.
Dijelaskan arkeolog yang akrab dipanggil “Tomi” yang baru meluncurkan buku “Warisan Bahari Indonesia”, setelah Sriwijaya runtuh, kedaulatan di laut terus diperjuangkan berbagai kerajaan baru di Nusantara.
Pada 1670-an, di Makassar berkumpul para Matoa (pemuka kelompok masyarakat Bugis-Wajo) dari Lombok, Sumbawa, dan Paser (Kalimantan Selatan). Mereka membicarakan aturan-aturan dan tata tertib yang harus dipatuhi dalam pelayaran dan perdagangan. Perundingan ini dipimpin Amanna Gappa, Matoa dari Wajo, sehingga tradisi pelayaran yang lahir dari perundingan ini disebut hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa.
Peraturan ini ditulis dalam Bahasa Bugis pada 18 lontara dan dikenal dalam bahasa Bugis sebagai “Ade allopi loping bicaranna pa’balu baluE”, yang artinya kira-kira “Etika pelayaran dan perdagangan”.
Amanna Gappa terdiri dari 21 pasal, beberapa pasal sangat rinci menjelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dalam pelayaran. Antara lain, cara berdagang dalam pelayaran, susunan birokrasi di kapal, syarat-syarat untuk menjadi nakhoda, pembagian petak untuk menempatkan barang dagangan dalam kapal, serta empat tingkatan orang di kapal, yaitu sawi tetap (kelasi tetap), sawi loga (kelasi bebas), sawi manumpang (kelasi menumpang), dan tommanumpang (orang yang menumpang kapal). Di etika ini juga sudah tercakup semacam asuransi kehilangan dan kerusakan barang.
Amanna Gappa lebih cenderung menganut konsep kebebasan berlayar di laut dengan etika. Lebih lanjut, Hukum Amanna Gappa juga telah mengatur hak dan kewajiban pemilik kapal dan anak buah kapal. Konsep-konsep “kepemilikan” laut kemudian diadopsi oleh hukum laut moderen, yang dapat ditemukan dalam sejumlah konvensi internasional. Dasar dari Hukum Amanna Gappa ini kemudian diadopsi di Eropa dan sampai saat ini dipakai sebagai Hukum Maritim Internasional.