Mongabay.co.id

Organisasi Masyarakat Sipil Desak Perpanjangan Inpres Moratorium Sawit

Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Sawit (Inpres Moratorium Sawit) hampir memasuki masa akhir pada September ini. Kalangan organisasi masyarakat sipil mendesak, kebijakan yang mendorong perbaikan tata kelola industri sawit di Indonesia ini diperpanjang.

Walau belum berjalan optimal, kebijakan ini mulai memperlihatkan hasil, seperti aksi Pemerintah Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengkaji ulang izin 30 perusahaan sawit selama dua tahun terakhir. Hasilnya, pencabutan belasan izin perkebunan sawit.

Papua Barat bisa menyelamatkan 267.856 hektar lahan/hutan dan 43.689 hektar masih berproses.

Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mencatat beberapa daerah lain juga telah memiliki langkah progresif dalam menerjemahkan Inpres Moratorium Sawit di wilayah mereka masing-masing. Kabupaten Kutai Kartaneragara, misal, juga evaluasi perizinan perkebunan sawit mengajukan delapan izin untuk dihentikan.

Pada 2019, Kabupaten Kukar juga evaluasi perizinan perkebunan sawit secara keseluruhan. “Banyak contoh implementasi inpres ini di daerah. Mereka macam-macam manfaatkannya, ada yang review perizinan, ada juga yang mekanisme semacam penundaan” kata Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL awal Juli lalu.

Beberapa daerah pun menerbitkan surat edaran (SE) untuk menindaklanjuti inpres moratorium sawit ini. Seperti, Pemerintah Sanggau, Kalimantan Barat, mengeluarkan SE Bupati tentang Pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit dan Kabupaten Gorontalo dengan SE soal Pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit pada organisasi pemerintah daerah (OPD).

Ada juga Peraturan Bupati Buol Nomor 8/2019 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit. Bupati Buol juga mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan Gugus Tugas Reforma Agraria.

Pembentukan tim serupa juga di Papua dengan Tim Penataan Izin Kehutanan, Pertambangan dan Perkebunan di dalamnya terkandung penundaan izin baru. Ada juga Pemerintah Riau yang membentuk Tim Pengendali dalam upaya penertiban sawit ilegal oleh Gubernur Riau.

 

Baca juga: Bagaimana Implementasi Inpres Moratorium Sawit dalam Tataran Petani?

Batang kayu sisa-sisa hutan alam yang terbabat jadi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Sawit berkelanjutan

Seruan perpanjangan juga datang dari Koalisi Moratorium Sawit. Mereka mengeluarkan kertas kebijakan terkait urgensi perpanjangan inpres ini. Mereka menyebut perpanjangan moratorium sawit perlu untuk penyerapan permintaan pasar internasional minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) berkelanjutan dari Indonesia.

Setiap tahun, 19% konsumsi dan permintaan CPO global berasal dari sawit bersertifikat berkelanjutan. Kebijakan moratorium sawit pada 2018 mendapat respon positif dari pasar global.

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, Inpres Moratorium ini menjadi jawaban tuntutan pasar internasional terhadap sawit berkelanjutan. “Kebijakan ini jadi tools bagi pemerintah Indonesia dalam memperbaiki tata kelola untuk menghasilkan sawit yang dapat diterima pasar global,” katanya dalam keterangan tertulis.

Berdasarkan analisis koalisi, hingga 2025, penjualan CPO bersertifikat RSPO akan meroket hingga 9,5 juta ton. Karena itu, demi memenuhi kebutuhan global dan desakan pasar, momentum perpanjangan moratorium sawit perlu maksimal.

Koalisi usulkan, salah satu strategi bisa diterapkan dengan memaksimalkan pemanfaatan lahan yang ada melalui percepatan sertifikasi ISPO tanpa ekspansi.

Selain itu, perpanjangan moratorium sawit juga dapat meningkatkan kredibilitas produk sawit Indonesia secara global dengan perbaikan tata kelola berkelanjutan sebagaimana amanat dalam inpres itu.

Rahmadha, Juru Kampanye Sawit Kaoem Telapak menyebut, Indonesia sudah berada di jalur tepat dalam mewujudkan tata kelola sawit berkelanjutan dengan ada inpres ini. Inpres, katanya, jadi esensi dari penerimaan minyak sawit Indonesia di pasar global.

“Tapi peluang strategis ini berpotensi hilang jika aturan ini tidak diperpanjang,” katanya.

 

Perlu penguatan

Kalau melihat implementasi Inpres Moratorium Sawit di level pusat, kata Dodo, sapaan akrab Raynaldo, sudah ada beberapa capaian. Antara lain, penetapan konsolidasi data dan menyelesaikan penghitungan luasan perkebunan sawit yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833?KPTS/SR.020/M/12/2019.

Namun, katanya, inpres ini bukan tanpa kekurangan. Dia bilang, ada masalah transparansi dan akuntabilitas yang selama ini kurang ditunjukkan. “Prosesnya tidak cukup transparan, terutama untuk progres dan capaian,” katanya.

Dalam inpres, lanjut Dodo, disebutkan kalau presiden akan dapat laporan periodik enam bulan sekali. Sayangnya, informasi itu tak sampai ke masyarakat, termasuk organisasi masyarakat sipil ataupun akademisi.

 

Baca juga: Akhirnya Inpres Moratorium Sawit Terbit

Kebakaran di konsesi perkebunan sawit di Muarajambi. Foto: Yitno Supriyanto/ Mongabay Indonesia

 

Padahal, perkembangan capaian terbuka atas inpres ini bisa memberikan ruang cukup bagi masyarakat sipil untuk berkorespondensi dan berikan pandangan terkait perkembangan moratorium.

“Selama tiga tahun ini kami hanya dapat paparan tertentu saja berupa power point dari kementerian/lembaga terkait informasi-informasi apa yang sudah mereka lakukan. Itu saja,” kata Dodo.

Meskipun demikian, dia melihat ada kerja yang dilakukan oleh kementerian/lembaga yang diberikan mandat inpres ini. Hanya saja, semua pekerjaan itu masih belum terkonsolidasi dengan baik.

Untuk itu, katanya, perlu ada pemberian norma lebih jelas pada koordinator-koordinator yang dimandatkan dalam inpres. “Jadi, tambahkan juga norma hukum agar mereka melaporkan pada publik atau nyatakan pada publik terkait konsolidasi hasil yang mereka lakukan, selain pada presiden.”

Dodo juga menyebut perlu ada norma hukum dalam perpanjangan Inpres Moratorium Sawit yang dapat menjamin keterlibatan masyarakat sipil, akademisi dan pemangku kepentingan lain yang relevan dalam pelaksanaan kebijakan ini. “Supaya konsolidasi informasi ini dapat berjalan dengan lebih baik.”

Hal serupa juga dikatakan Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace. Dalam rilis Koalisi Moratorium Sawit, Arie menyebut, kalau laporan kepada presiden penting untuk publikasi pada publik.

“Untuk menjamin keterbukaan informasi. Karena kebijakan moratorium sawit yang mendatang sudah semestinya mampu bekerja sebagai langkah korektif bagi penyelesaian sawit dalam kawasan hutan,” katanya.

 

Evaluasi capaian

Dodo melihat, kalau Inpres Moratorium Sawit tidak memberikan target-target yang bisa dijelaskan secara kuantifikasi. Hal itu yang membuat evaluasi terhadap jumlah pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan tidak diketahui secara pasti. Dalam revisi inpres nanti, katanya, perlu ada target yang bisa dikuantifikasi.

Selama ini, katanya, inpres ini hanya kebijakan yang tak mendapat tempat prioritas.

“Jadi cuma dijalankan ordinary saja. Padahal, kalau bisa disebutkan berapa jumlah dari izin yang di-review, dicabut bahkan berapa kawasan hutan yang bertahan, hasilnya akan lebih jelas,” kata Dodo.

Dengan ada target jelas, katanya, akan memudahkan evaluasi terhadap pelaksanaan inpres. Perlu juga mekanisme evaluasi capaian inpres terutama terkait kaji ulang perizinan dan penegakan hukum dengan koordinasi lembaga terkait.

Dengan demikian, seandainya Kementerian Koordinator bidang Perekonomian menemukan pelanggaran, mereka bisa langsung berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pertanian ataupun ATR/BPN.

“Selanjutnya, tinggal bagaimana Menko Perekonomian bisa dorong kementerianlLembaga terkait untuk penegakan hukum.”

 

Baca juga: Belasan Izin Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut

Sawit, produk ‘andalan’ yang ciptakan banyak masalah kala tata kelola buruk. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Bentrok dengan UU Cipta Kerja?

Koalisi Moratorium Sawit menyinggung Undang-undang Cipta Kerja dalam kertas kebijakan terkait urgensi perpanjangan Inpres Moratorium Sawit. Koalisi menyebut, pengesahan UU Nomor 11 tahun 2020 itu mengancam perlindungan terhadap kawasan hutan dan tak menyelesaikan konflik agraria pada industri sawit.

Tidak hanya itu, 11 peraturan pemerintah (PP) turunan dari UU Cipta Kerja juga dipandang memengaruhi beleid hukum yang bersinggungan dengan tata kelola sawit. UU Cipta Kerja berpotensi marak pemberian izin perkebunan sawit yang mengubah lanskap hutan alam dan gambut.

Berdasarkan kajian koalisi, terdapat beberapa klausul yang memberikan kemudahan izin perkebunan sawit, terutama kalau ada yang masuk dalam proyek strategis nasional. Kemudahan itu lewat penyesuaian tata ruang hingga percepatan perizinan berusaha bagi kegiatan yang termasuk dalam risiko tinggi atau berdampak penting terhadap lingkungan hidup.

Selain itu, ada juga potensi pemutihan atas pelanggaran kerusakan hutan karena pembangunan perkebunan sawit yang ada sebelum penerapan UU Cipta Keja, sebagaimana termaktub dalam Pasal 60 PP 23/2021. Kondisi ini bisa terjadi sepanjang perusahaan melakukan pemenuhan atas persyaratan perizinan dan pembayaran denda administratif.

Dodo menyebut, UU Cipta Kerja hingga kini masih proses menemukan bentuk, sementara Inpres Moratorium Sawit sudah sangat spesifik dan jelas. Karena itu, dia meminta, penafsiran terhadap UU Cipta Kerja jangan dilakukan berlebihan.

“UU Cipta Kerja tidak memaksa izin itu harus keluar, hanya bilang boleh. Nah, inpres ini nanti bilang tidak boleh ada izin, harus moratorium, jadi ikuti inpres.”

Hal serupa juga dikatakan Trias Fetra, Palm Oil Program Officer Yayasan Madani Berkelanjutan. Dia mengingatkan, bagaimana inpres ini memiliki mandat menyelesaikan tumpang tindih lahan.

“Sementara UU Cipta Kerja untuk percepatan investasi dan pembukaan lapangan kerja. Tapi, untuk iklim usaha yang bagus itu perlu usaha dulu untuk menyelesaikan tumpang tindih lahan,” katanya.

Jadi, katanya, kalau Indonesia ingin naik kelas dengan UU Cipta Kerja, mandat Inpres Moratorium Sawit harus dikerjakan terlebih dahulu.

 

 

 

*****

Foto utama: Inpres Moratorium Sawit, perlu diperpanjang dengan penguatan, termasuklah bisa menyelesaikan konflik-konflik lahan, seperti di Masyarakat Adat Laman Kinipan. Hutan mereka terbabat karena masuk dalam konsesi perizinan sawit yang dikeluarkan pemerintah. Foto: Save Our Borneo

Exit mobile version