Mongabay.co.id

Memantau Instalasi Listrik Surya di Kantor Pemerintah

 

Target bauran energi baru terbarukan (EBT) di Bali akhirnya mundur. Salah satu targetnya adalah perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap dan farming.

Deretan panel PLTS menaungi parkir motor di kantor Disnaker dan ESDM Provinsi Bali. Dipasang Maret 2021 sebagai bantuan dari Kementerian ESDM.

PLTS rooftop berdaya 40 kilo watt peak (kWp) ini menggunakan 2 inverter dan dayanya dipakai langsung saat siang hari. Atap-atap panel surya ini berada di halaman tengah bangunan pemerintah untuk meneduhi deretan kendaraan.

Ada juga hibah terakhir sebesar 10 MW yang tersebar di sejumlah bangunan terutama pemerintah. Skema kerjasama hibah pemerintah Korea 6,6 kWp offgrid 2 unit juga sudah diterima sebagai ujicoba.

Dari catatan terakhir per Juni, total daya bangkit energi baru terbarukan (EBT) di seluruh kabupaten dan kota di Bali sebesar hampir 4500 kWp. Terbanyak di Buleleng, Bangli, dan Karangasem karena ada pembangkit besar. Misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTM) 1000 kWp di Buleleng, dan PLTS masing-masing 1000 kWp di Karangasem dan Bangli.

Daya bangkit adalah kemampuan membangkitkan listrik, sementara daya mampu adalah daya yang dihasilkan saat itu. Karena sumber energinya dari alam, bisa jadi ada perbedaan daya yang dihasilkan dari direncanakan.

Sebagai catatan, Watt peak (Wp) adalah satuan daya produksi tertinggi yang bisa dihasilkan panel surya, saat tingkat penyinaran paling optimal. Sedangkan Watt adalah satuan yang menyatakan daya energi per satuan waktu. Watt didapatkan dari perkalian antara Volt (tegangan) dengan Ampere (arus). Jika dikonversikan, 1 kWp adalah 1000 Wp. Sedangkan 1 MWp adalah 1.000.000 Wp.

baca : Refleksi dari Monumen Kegagalan Proyek Energi Bersih di Bali

 

PLTS di Kantor Disnaker dan ESDM Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Pembangunan instalasi EBT tersebut sudah ada yang dimulai 2012 dengan daya bangkit kecil, belasan kWp, kemudian bertambah dengan landai di tahun-tahun berikutnya.

Pada 2016, ada pemasangan PLTS atap berkapasitas 158 kWp di kantor Gubernur Bali oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (P3TEK KEBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia. Ketika dikunjungi Juni lalu, instalasi ini masih bekerja memasok listrik surya pada siang hari saja.

Panel-panel surya ini dipasang menutupi lapangan tenis. Panel dipasang cukup tinggi dengan tiang-tiang besi sehingga lapangan tenis berukuran hampir 260 meter persegi di Kantor Gubernur Bali ini masih terlihat lapang.

Panel surya ini berlokasi di area tenggara, lokasi yang dianggap titik optimal tertangkapnya cahaya matahari. Karena matahari terbit dari arah timur kemudian tergelincir di ufuk barat.

Nengah Geria, pimpinan tim pemelihara mengatakan, PLTS ini memberi kontribusi penghematan listrik PLN sekitar 30% per hari jika panen cahaya mentari optimal. Misalnya tagihan listrik terakhir dari PLN lebih dari Rp60 juta per bulan. Tanpa PLTS, tagihan rata-rata Rp100 juta per bulan.

Penghematan sekitar 30-40% tergantung daya terbangun dan keperluan listrik kantor ini. Kebutuhan daya listrik total rata-rata sekitar 550 ribu watt per jam. Sementara produksi listrik PLTS sekitar 158 ribu watt per jam.

Namun, sistem smart grid yang dirancang sudah lama tak beroperasi. Smart grid adalah sebuah sistem yang mampu mengoperasikan jaringan listrik dengan kombinasi teknologi komputer dan jaringan komunikasi. Jika smart grid beroperasi, Geria mengaku bisa mengatur distribusi kebutuhan listrik lewat ponsel dan memantau jarak jauh.

baca juga : Menguji Pergub Energi Bersih Bali, Bagaimana Implementasinya?

 

PLTS di kantor Gubernur Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Agar listrik dari surya ini bisa digunakan, ada alat bernama inverter berjumlah lebih dari 30 unit yang terpasang di dalam ruangan kontrol. Fungsi inverter mengubah arus listrik searah (DC) ke arus bolak-balik (AC) dan sebaliknya. Juga berfungsi mengatur dan menstabilkan tegangan dari output listrik yang dihasilkan.

Ada juga belasan baterai untuk menyimpan cadangan produksi PLTS. Namun hanya untuk sekitar 3 jam. Pada malam hari, masih tergantung listrik sambungan konvensional PLN karena ada banyak server yang perlu daya besar. “Harus hidup terus,” kata Geria.

Di samping lapangan tenis ada Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang terlihat telantar karena beberapa baling-balingnya telihat patah. PLTB ini juga bantuan pusat, dibangun 2019, daya terpasang sekitar 80 ribu watt per jam (8 kWp), tetapi produksinya tidak masuk sistem kelistrikan kantor ini.

Terlihat 8 tiang dengan tinggi masing-masing sekitar 20 meter hanya jadi pajangan. Angin berembus cukup kencang. Namun, kencangnya angin tak kuasa menggerakkan baling-baling yang tersisa. Sekitar kantor juga banyak pohon tinggi.

Geria mengatakan lebih mudah pelihara PLTS, karena risiko sedikit. Misalnya tidak perlu dipadamkan saat pemeliharaan kecuali ada kabel putus.

Sayangnya, smart grid sudah tak berfungsi. Menurut Geria ada masalah penyediaan internet untuk sistem ini. Meteran Exim juga belum ada. Alat ini berfungsi untuk menghitung beban listrik lebih yang dihasilkan dari penggunaan panel surya yang selanjutnya bisa dijual ke PLN.

Produksi listrik yang berlebih tidak bisa terserap atau terjual ke PLN karena exim meter belum juga terpasang. Saat musim panas kini, produksi di hari libur dan Sabtu-Minggu pun terbuang.

perlu dibaca : Pada 2022, Bali Menargetkan Energi Bersih

 

Rangkaian panel surya di Noja Bali Hidroponik, Denpasar, Bali, yang dibentuk seperti bunga matahari sebagai sumber energi penggerak pompa irigasi hidroponik. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Regulasi daerah

Pemerintah daerah telah mengesahkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) tahun 2020-2050. Regulasi lainnya adalah Peraturan Gubernur Bali No.45/2019 tentang Bali Energi Bersih dan Peraturan Gubernur Bali No.48/2019 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.

Saat ini Bali memiliki ketersediaan energi dengan kapasitas 1.261,2 MW. Sumbernya pembangkit lokal dengan kapasitas 921,2 MW dan saluran dari luar Bali, kabel laut dari Paiton ke Gilimanuk, dengan kapasitas 340 MW.

Pembangkit energi lokal Bali dominan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), sedangkan dari Paiton merupakan energi tidak ramah lingkungan karena memakai bahan bakar batu bara. Beban puncak kebutuhan energi di Bali pada tahun 2019 adalah sebesar 902 MW. Berdasarkan data ini, Pemprov menilai Bali belum mandiri energi, dan belum sepenuhnya menggunakan energi bersih/ramah lingkungan.

Perda RUED Provinsi Bali memprioritaskan energi bersih/ramah lingkungan. Karena itu ditetapkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Energi Baru Terbarukan (EBT) pada tahun 2015 baru sebesar 0,27 %, dan ditargetkan akan meningkat menjadi 11,15 % pada tahun 2025, dan menjadi 20,10 % pada 2050. Di atas kertas, diprioritaskan pada PLTS atap, bioenergi, serta EBT lainnya.

Sumber energi batubara dirancang menjadi 3,32 % pada tahun 2025 dan menjadi zero atau nol pada tahun 2050. Pembangkit listrik dengan bahan bakar batubara digunakan pada PLTU Celukan Bawang dan PLTU Paiton Jawa Timur yang disalurkan melalui kabel laut. Minyak bumi porsinya akan turun menjadi 45,05% pada tahun 2050.

Untuk memenuhi kebutuhan permintaan energi, maka penggunaan sumber energi gas akan diperbesar menjadi 34,85% pada tahun 2050. Selain itu untuk menjaga keandalan sistem kelistrikan di Jawa dan sistem di Bali, penguatan sistem dilakukan melalui grid Jamali atau Jawa Bali Connection (JBC) yang berfungsi sebagai cadangan bersama (reserve sharing).

baca juga : Bali Sebenarnya Mudah Capai Target Bauran Energi Surya, Asal…

 

Sejumlah titik panel surya diletakkan di tengah laut untuk menghasilkan energi listrik bagi teknologi biorock untuk mempercepat tumbuhnya karang di perairan Teluk Pemuteran, Buleleng, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Perda RUED Bali merangkum beberapa kebijakan dalam mengelola energi, antara lain ketersediaan energi untuk kebutuhan daerah, prioritas pengembangan energi bersih, dan pemanfaatan sumber EBT daerah. Dalam dokumen Perda RUED, yang dimaksud energi bersih adalah energi yang dihasilkan oleh sumber energi yang dalam produksi maupun penyediaannya tidak menimbulkan emisi gas rumah kaca. Emisi ini yang disebut penyebab perubahan iklim, misalnya gas polutan karbondioksida, metana, dan lainnya. Jenis energi bersih adalah gas bumi dan energi baru terbarukan.

Energi terbarukan ini contohya adalah energi dari sinar matahari, tenaga air, angin, panas bumi, biomassa, biogas, sampah, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, dan bahan bakar nabati cair. Sedangkan sumber energi tak terbarukan meliputi minyak bumi, gas bumi, batu bara, gambut, dan serpihan bitumen.

 

Target mundur

Dari catatan RUED 2020-2050, disebutkan potensi EBT 3685 MW, paling besar PLTS sebesar 1254 MW, kemudian PLTB 1019 MW, lalu PLTA 624 MW.

Namun, dibandingkan milestone atau strategi implementasi energi bersih 2021-2025, di penghujung 2025, baurannya baru 6% dari potensi atau sebesar 222 MW. Padahal targetnya 11% pada 2025. Pada 2021 ini tercatat penambahannya kurang dari 1 MW.

Ida Bagus Setiawan, Kepala Bidang ESDM Disnaker dan ESDM Provinsi Bali mengatakan Bali belum punya best practice terkait EBT yang andal, baru akselerasi.

Catatan rekapitulasi ESDM Bali menyebutkan, EBT eksisting saat ini di Bali sekitar 7,1 MW, berupa bantuan pemerintah tersebar di tiap kabupaten/kota dan yang diinstal badan usaha. Tertinggi adalah PLTS sebesar 5,2 MW terdiri dari 3,9 on grid (terhubung dengan jaringan PLN) dan 1,2 off grid (terhubung dengan jaringan rumah). Namun, itu baru di atas kertas, belum daya mampunya.

Misalnya yang tercatat sebagai PLTS farming yang membutuhkan luas lahan besar adalah PLTS Kubu, Karangasem yang kurang optimal. Ada juga PLTS di Nusa Penida berdaya 0,06 MW dan PLTS tersebar di 9 kabupaten/kota dengan daya 0,5 MW.

Sedangkan PLTS atap untuk rumah, villa, kantor, dan lainnya tercatat sebesar 1,4 MW dan off grid 1,097 MW. Misalnya pelanggan PLN sebesar 0,2 MW, BioSolarFarms sebesar hampir 1,5 MW, dan unit usaha lainnya.

Namun untuk skala besar, dibandingkan dengan kebutuhan daya listrik Bali, kontribusi PLTS masih sangat kecil. “Memungkinkan jika PLTS farming lebih besar, saat ini bauran EBT masih kecil,” kata Setiawan. Perkembangannya mulai nampak namun belum masif. Kendalanya adalah struktur, biaya investasi, dan teknis lain.

baca juga : Menagih Komitmen Energi Bersih Terbarukan Gubernur Bali [Bagian 1]

 

Wayan Sudiadna, penjaga PLTS Kubu, Karangasem, Bali, yang kondisinya memprihatinkan dengan banyaknya panel surya yang rusak. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Berkaca dari pengalamannya menggunakan PLTS atap di rumah, Setiawan mengatakan bermanfaat namun biaya pemasangan awal masih tinggi. Ia menghemat biaya listrik 25-30% dari biaya bulanan Rp600 ribu kini jadi Rp400 ribuan.

Berkaca capaian 2021 ini, menurutnya target akan mundur sampai 2023 karena anggaran pemerintah refokusing penanganan Covid-19, tak ada anggaran pengembangan, hanya belanja rutin.

Putu Putrawan, Senior Manajer Perencanaan PLN Area Distribusi Bali meyakini secara sistem kelistrikan pada 2021-2030 akan sangat aman, karena akan ada tambahan PLTS dan PLTG. “Persyaratan energi aman jika cadangan 30%,” katanya. Misalnya rencana PLTS di Bali timur dan barat dengan total daya bangkit 100 MW. Berikutnya PLTG masuk bekerja sama dengan Perusahaan Daerah Bali dengan daya bangkit 300 MW.

Untuk skema energi bersih, PLN memasukkan JBC dan kabel laut dari Jawa yang sumber pembangkitnya masih bersumber fosil. Pada 2021-2022, targetnya 576 MW, dan terus bertambah sampai 2200 MW sampai 2030. Rasio bauran “energi bersih” ini setelah mengeluarkan JBC dan kabel laut sekitar 18% pada 2021-2022.

 

Exit mobile version