Mongabay.co.id

Foto Bersuara oleh Anak-anak di Kaki Gunung

 

Puluhan anak perempuan menyuarakan kondisi lingkungan rumahnya melalui foto dan cerita pendek. Kisah anak-anak yang mukim di Desa Ban, lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem, Bali dari sudut berbagai sudut pandangnya melihat masalah sampah dan kendala pertanian.

Wayan Sriani dari Dusun Pengalusan menunjukkan serial foto-foto warga membuang sampah di pinggir jalan banjar bercampur sisa-sisa dari anyaman bambu. Sampah plastik bercampur dengan sisa serutan bambu.

Ia mengatakan lokasi pembuangan sampah ini pernah kebakaran pada 2016, tapi penumpukan sampah masih berlangsung. “Kami perlu orang yang mengajarkan daur ulang sampah plastik dan rautan bambu, atau bank sampah besar untuk menampung,” harap Sriani melalui video conference pameran online Photovoices International,10 Juni lalu bertajuk Pemberdayaan Remaja Perempuan di Desa Ban. Kali ini ada 39 anak terlibat dalam produksi cerita dan foto.

Ni Wayan Nuasih, 13 tahun, menceritakan usaha pertanian di kampungnya. Misalnya tentang petani jagung yang belum bisa mengolah hasil panen.

“Menanam jagung dimulai saat turun hujan, tanah tak perlu dicangkul. Setelah 3 bulan tumbuh, dikasi pupuk kimia, dan dibiarkan 6 bulan sampai panen,” ceritanya. Hasil panen langsung digantung untuk mengeringkan.

Menurutnya petani jarang menjual hasil panen jagung karena untuk konsumsi dan pakan ayam. “Jagung kering jadi benih dan pakan ayam. Manikaji menanam dua kali. Hanya disiangi dan dicabut rumput. Hama tupai, semut, monyet, hujan membuat jagung roboh,” papar Nuasih menjelaskan foto-foto yang tertera di layar.

baca : Photovoices, Menggunakan Mata Masyarakat sebagai Lensa Kehidupan

 

Kondisi jalan yang rusak di Desa Ban, lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem, Bali. Foto : Photovoice/Meriati Restiani Desi.jpg

 

Ni Kadek Widnyani menceritakan foto temannya, Desi. Seorang petani cabai bernama Simpen. Ketika harga cabai naik, tapi belum memenuhi sisa kerugian gagal panen musim sebelumnya. “Perawatan sulit, pemberian pupuk dan curah hujan tinggi membuat gagal panen seperti busuk dan buah rontok. Petani mengatasi dengan obat dan harapan,” tuturnya.

Ni Made Putri melanjutkan dengan mengisahkan foto temannya tentang seorang anak yang coba tanam cabai lagi tapi gagal panen karena hujan. Keluarga petani ini sudah menyemprotkan obat hama dan batang cabai dipasang bambu agar tidak patah. Tapi tetap mati juga.

Hasil pertanian utama di Desa Ban adalah singkong, jagung, dan labu. “Tapi sayangnya tak dijual, karena saat dibawa ke pasar, tak ada yang mau beli. Karena pariwisata ditutup, mempengaruhi. Mengandalkan kerajinan bambu,” paparnya.

Ni Wayan Sadi, 16 tahun mengatakan, kini menanam jagung bisa sepanjang tahun karena hujan lebih panjang dan air melimpah tapi masih banyak gagal panen. “Mohon agar bisa diedukasi menanam baik dan bantuan bibit agar bisa tanam baru,” urainya. Pada 2015, warga pernah dapat bibit buah seperti sawo, jeruk, tapi tak bisa tumbuh subur. Ia berharap masyarakat dapat solusi pertanian yang sesuai dengan cuaca dan kondisi tanah kampungnya.

baca juga : Aksi Perempuan dalam Meredam Krisis Iklim

 

Petani cabai di Desa Ban, lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem, Bali. Foto : Rentani Duana Mertini

 

Ni Wayan Desi kini memaparkan cerita di balik foto Widnyani. Dalam foto-foto adalah sosok Ketut, petani tanaman jenis kacang-kacangan, di Bali bahasa lokalnya, undis. Menanam tanaman undis yang digemari warga sebagai sayuran inipun memerlukan perawatan khusus. Karena ada hama ulat, namun petani tidak tahu cara mengatasinya. Undis mirip kacang merah namun lebih bulat dan saat kering berwarna hitam. Jenis sayuran yang cocok di lahan kering seperti Desa Ban ini, karena tak perlu banyak air.

Desi berkisah, biji yang baru tumbuh juga diganggu ayam dan burung. Setelah 6 bulan ditanam, undis siap dipanen. Sekali panen bisa mendapatkan 20 kg, tergantung lebat buahnya, warnanya kuning dan cokelat. Harga jual sekitar Rp9-13 ribu/kg undis muda dan kering Rp25 ribu/kg. Undis menurutnya menjanjikan karena bisa dipanen beberapa kali dalam satu musim tanam. Tanah cocok ditanami, namun warga belum serius merawat sehingga hasil tak maksimal. “Saat ini lebih buruk, banyak mati dan tumbuhnya buruk karena tingginya curah hujan,” ujarnya tentang foto-foto yang diambil saat musim penghujan lalu.

Ni Nengah Senin memotret 3 perempuan petani singkong. Mereka tidak bisa jual hasil panen keluar desa karena pandemi, hanya dikonsumsi sendiri.

Nengah Ekarianing di Dusun Manikaji giliran bercerita dan membaca tulisan tentang jalan rusak, sementara truk lalu lalang berimpitan dengan kendaraan warga. Jalan tanah dan berlubang ini bagian dari kesehariannya. “Ibu peternak yang naik motor untuk cari rumput makanan ternak jatuh di jalan rusak,” katanya diikuti penayangan foto temannya.

Ia mengingat ada yang berjanji akan mengaspal jalan rusak itu. Saat ini baru teraspal 2 km dari total 8 km. “Semoga segera teraspal seluruhnya,” harapnya.

baca juga : Beginilah Pemandu Selam Lokal Tulamben Menjaga Pesisirnya

 

Anak-anak Desa Ban, lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem, Bali. Foto : Photovoice

 

Ni Wayan Sewi, 14 tahun, menceritakan fotonya Ketut Mariani. Seorang pedagang keliling yang menjual bahan makanan ke rumah warga seperti tahu, tempe, kacang, dan lainnya. Ia melalui jalan kecil dan rusak mendatangi pelanggan. Pedagang muda ini baru jualan tahun 2020, sebelumnya jadi petani dan buruh angkut kayu. Ia minta agar jalan diaspal.

Jalan rusak ini juga berisiko untuk Komang Putri yang baru belajar naik motor ke sekolah. “Kesulitan melalui jalan karena rusak, ia sudah bisa naik motor kelas 5, tapi tak menggunakan helm karena diejek temannya,” sebutnya.

Salah satu kebiasaan buruk yang masih bisa ditemui adalah orang tua tidak menyarankan anak-anak pakai helm dengan alasan masih kecil. Padahal fungsinya untuk keamanan, melindungi kepala, dan anak-anak harusnya diwajibkan.

Ni Wayan Sewi yang bercerita tentang foto Rentini juga menceritakan dampak jalan rusak. Truk Wayan Mirna yang kerepotan bawa penumpang manusia, grup genjek (kesenian tradisional) untuk upacara adat 6 bulanan bayi. Truk kesulitan melaju karena muatannya penuh dan jalan rusak.

Sejumlah anak-anak perempuan yang bercerita melalui foto diminta testimoni pengalamannya. Puspita mengatakan makin semangat melanjutkan sekolah, untuk jadi wanita pertama di dusunnya yang lmelanjutkan perguruan tinggi. Ia hobi menggambar dan ingin ambil jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV). Sedangkan Ni Nengah Senin, anak perempun ini ingin jadi chef.

 

Seorang anak Desa Ban, Kabupaten Karangasem, Bali yang sedang membuat anyaman bambu. Foto : Photovoice/Witama Sedeng

 

Dari laman program Photovoices International ini disebutkan program sudah dijalankan sejak 2016 di Desa Ban. Tujuannya menyuarakan masalah-masalah dari kacamata anak dan remaja.

Foto merupakan salah satu medium yang banyak dipakai untuk menyuarakan sesuatu, termasuk dari anak-anak. Sebelumnya, dari Bali, sebanyak 80 foto hasil jepretan anak-anak Sumba Photo Stories dipamerkan oleh Yayasan Kawan Baik Indonesia melalui sebuah platform pameran virtual tiga dimensi melalui laman sumbaphotostories.com.

Pameran virtual dalam 3 bahasa ini dihelat 11 Januari hingga 11 Maret 2021. Cara ini dipilih sebagai opsi terbaik memanfaatkan teknologi dan inovasi di ruang virtual untuk beradaptasi dengan pandemi Covid-19.

Dengan tajuk “Kabar dari Timur” pameran foto ini mengetengahkan foto-foto yang bercerita tentang keseharian anak-anak dan masyarakat di dua desa yang ada di pelosok bagian timur dari kabupaten Sumba Timur, NTT. Serial foto ini merupakan hasil dari 4 bulan pendampingan dan pelatihan tentang fotografi dan belajar membuat narasi dan bercerita. Kisahnya juga dari kaca mata anak yang menunjukkan keseharian dan budaya warga seperti memasak, bertani, sampai isu kesehatan dan lingkungan seperti pembangkit listrik mikro hidro di kampungnya.

 

Exit mobile version