Mongabay.co.id

Alih-alih Terus Memadamkan, Mungkinkah Karhutla Dicegah?

Mencermati peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama 2019, -dimana berdasarkan data 63 persen luas lahan terbakar antara 2015 – 2019 merupakan area lahan baru, Presiden Joko Widodo di tahun berikutnya mengeluarkan Inpres Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan   Karhutla.

Di dalam Inpres ini, Presiden menginstruksikan kepada 28 Kementerian dan Lembaga termasuk Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk melakukan pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Artinya jelas, seluruh pihak terkait apalagi yang langsung tugas dan fungsi (tupoksi)-nya berkaitan dengan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, diminta untuk mengembangkan program dan kegiatan pencegahan kebakaran hutan dan lahan sebagai program pertama dan utama.

Hasilnya memang tampak terlihat. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)  per November 2020, kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Tanah Air mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2019. Pada tahun 2019 lalu, seluas 1,6 juta hektar hutan/lahan di Indonesia terbakar. Sementara di tahun 2020 hanya lebih kurang sekitar 300 ribu hektar hutan yang terbakar.

Dalam Rapat Koordinasi Nasional Karhutla (22/02/2021) Presiden kembali mengingatkan potensi karhutla dapat terjadi di pulau-pulau seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dengan puncaknya dapat terjadi pada bulan Agustus dan September 2021.

Saat itu, Presiden menyampaikan pentingnya infrastruktur monitoring dan pengawasan yang harus ada hingga ke tingkat bawah. Penataan ekosistem lahan gambut dalam kawasan hidrologi gambut dan langkah-langkah penegakan hukum.

Baca juga: Sulitnya Eksekusi Kasus Karhutla Walau Sudah Berkekuatan Hukum Tetap, Mengapa?

 

Pemadaman karhutla di Kabupaten Kampar, pada Januari 2020. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Lalu sekarang bagaimana fakta karhutla di tahun 2021 ini? Kementerian LHK menyebut di awal tahun periode Januari – Februari, luas karhutla turun sebesar 51 persen dibandingkan periode sama tahun 2020. Sejalan dengan waktu, -dikutip dari data  Sipongi KLHK hingga bulan Juli 2021 tercatat hutan dan lahan yang terbakar adalah 52.481 hektar

Ini diperkiraka masih bisa bertambah, berdasarkan prakiraan musim kemarau 2021, maka pada 342 Zona Musim (ZOM), puncak musim kemarau akan terjadi di Agustus 2021 diprakirakan terjadi di sebagian besar wilayah Zona Musim (ZOM) sebanyak 230 ZOM atau 67,3 persen. (Pikiran Rakyat.com, 22/5/2021)

Hal ini tentunya menjadi warning alarm dan kewaspadaan kita bersama.Tentunya kita sangat tidak berharap pada puncak musim kemarau tahun ini kebakaran hutan dan lahan kembali melanda sebagain besar wilayah Indonesia.

Seperti kita ketahui, kondisi keuangan negara saat ini berat, kantong anggaran negara harus berbagi beban untuk penanganan pandemi COVID-19. Jika karhutla masif terjadi di tahun ini, maka dapat dipastikan keuangan negara akan semakin banyak terkuras.

Sebagai gambaran, di tahun 2019, BNPB merilis dana yang telah dikeluarkan untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan sebesar Rp 3,4 triliun. Dana tersebut habis digunakan untuk menangani 747 kasus Karhutla.

Baca juga:  Pentingnya Perbaikan Tata Kelola dalam Persoalan Karhutla

 

Satgas karhutla bersama tim perusahaan berusaha memadamkan api di gambut di sebuah konsesi di Kabupaten Muaro Jambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Dari Upaya Pemadaman ke Pencegahan Karhutla

Sudah waktunya cara pandang seluruh pihak berubah dari pemahaman memadamkan dan menanggulangi menjadi cara pandang untuk mencegah karhutla. Hal ini tentunya perlu kesiapsiagaan dari tingkat bawah.

Dalam berbagai diskusi yang saya ikuti di bebeberapa daerah antara lain Kabupaten Pelalawan (Riau), Kabupaten Pulang Pisau (Kalteng) dan Kabupaten Ogan Komiring Ilir (Sumsel) hal ini bisa jadi petunjuk bagaimana cara berpikir di aras operasional.

Masih banyak pikiran di kalangan perusahaan dan masyarakat di tingkat lokal, yang masih berorientasi pada bagaimana memadamkan api akibat kebakaran hutan dan lahan yang telah terjadi.

Kalaupun ada tindakan pencegahan adalah lebih kepada upaya agar karhutla tidak meluas, -suatu hal yang berkaca dari pengalaman dalam prakteknya sulit dilakukan.

Tidak heran jika dalam diskusi keluhan yang seringkali muncul dalam upaya pemadaman, adalah kurangnya sarana dan prasarana dalam melakukan pemadaman karhutla, termasuk dari Masyarakat Peduli Api (MPA) yang sudah banyak dibentuk di tingkat desa pada daerah-daerah yang rawan kebakaran hutan dan lahan.

Kita dapat mencermati, -mengambil contoh karhutla sepanjang periode 2020-2021 yang terjadi di areal perusahaan, tentunya kita bisa menyangsikan program cepat tanggap pencegahan karhutla efektif pada semua tingkatan instansi/lembaga.

Sementara itu, di tingkatan instansi dan lembaga pemerintahan daerah yang seharusnya mengembangkan program pencegahan karhutla, jarang sekali dijumpai program dan kegiatan yang solid, yang secara khusus ditujukan untuk melakukan pencegahan karhutla.

Padahal bayangkan, seandainya dana tersebut digunakan sekian persen saja untuk mendanai program dan kegiatan-kegiatan pencegahan,  barangkali tak akan kejadian sebanyak itu dana yang harus dihabiskan untuk hanya sekedar memadamkan api.

Persoalan pencegahan tentunya tidak hanya soal sarana dan prasarana yang minim, namun juga menyangkut pemahaman, kemampuan dan keterampilan masyarakat dalam menggunakan alat-alat yang ada.

Di luar upaya untuk pencegahan maka kementerian/lembaga terkait dan Pemda harus melakukan upaya pengawasan kepada perusahaan-perusahaan pengelola lahan, termasuk perkebunan dan tanaman industri, untuk tidak lagi melakukan cara-cara membakar dalam pembukaan lahan baru.

Baca juga: Menyoal Penanggulangan Karthutla dan Inkonsistensi Pemerintah

 

Pemadaman karhutla. Karhutla harus diselesaikan secara multi pihak secara bersama-sama. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dapatkah Pencegahan Karhutla Dilakukan?

Kembali kepada pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, mungkinkah kita dapat mencegah karhutla?  Tentu saja jawabnya bisa, namun memang tampakya butuh waktu yang agak panjang. Diperlukan perubahan paradigma (mindset) dalam melihat peristiwa karhutla.

Hal ini tentunya perlu pemahaman mendalam. Apakah para pihak masih melihatnya sebagai murni peristiwa alam biasa yang tidak dapat dicegah (natural phenomenon), -layaknya gempa bumi, ataukah sebagai peristiwa yang terjadi karena campur tangan manusia?

Banyak bukti saintifik yang meyakini lebih dari 99 persen penyebab karhutla, adalah akibat ulah manusia. Baik itu yang diakibatkan oleh kesengajaan yaitu melakukan pembakaran maupun kelalaian dalam menggunakan api, yang didukung kondisi alam yang mendukung terjadinya kebakaran.

Contohnya seperti kombinasi gejala El Nino, kondisi fisik degradasi lahan gambut, dan rendahnya sosial ekonomi masyarakat.

Untuk itu para pemangku kepentingan harus memiliki minset bahwa, -tidak bisa tidak, alih-alih sekedar fokus pada penanggulangan dan fokus pada pemadaman, maka pencegahan karhutla harus menjadi prioritas program yang dirancang sejak awal.

Tentunya kita  tidak berharap bahwa program pemadaman dan penanggulangan karhutla menjadi proyek  tahunan yang sepertinya diharapkan terjadi setiap tahunnya. Kita berharap seharusnya program dan kegiatan pencegahan Karhutla dapat segera dikembangkan seluruh para pihak terkait mulai dari tingkat pusat sampai tingkat lokal/desa.

Apabila seluruh pihak terkait benar-benar telah mengembangkan program pencegahan secara berkelanjutan dan konsisten, pastilah tingkat Karhutla akan dapat ditekan seminimal mungkin.

Jika ini dirancang secara serius sejak sekarang, setidaknya dalam jangka menengah 3 – 5 tahun ke depan kejadian karhutla akan dapat ditekan seminimal mungkin, meski mungkin tidak akan sampai di zero karhutla. Semoga.

 

* Zenwen Pador, penulis adalah Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Indonesia (eLSAHI), National Legal Expert Program SIAP IFM Kemitraan. Artikel ini adalah opini pribadi penulis.

 

 

Exit mobile version