Tidak dapat dimungkiri bahwa, ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menjadi momok yang menakutkan bagi negeri ini. Tahun demi tahun karhutla berulang, tidak ada jaminan bahwa karhutla akan berhenti secara permanen dan tidak akan terjadi di tahun-tahun ke depan.
Khusus untuk tahun ini, -maka jika karhutla terjadi, dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia akan menghadapi dua bencana sekaligus. Karhutla dan pandemi COVID-19 yang hingga tulisan ini dibuat, masih terus merebak dengan korban jiwa dan penderita yang terus bertambah.
Terkait penanganan COVID-19, belum lama ini Universitas Oxford di Inggris memberikan rapor merah kepada Pemerintah Indonesia, mengacu pada empat indikator penilaian berikut: respons pemerintah secara umum (Overall Government Response Index), upaya penanggulangan dan kesehatan (Containment and Health Index), penegakan social distancing (Stringency Index), dan dukungan ekonomi (Economic Support Index).
Hasilnya, Indonesia hanya mendapatkan nilai indeks 43,91 yang artinya nilai tersebut setara nilai D (di bawah nilai 50). Berkat penilaian tersebut, Indonesia menempati posisi terendah di antara negara ASEAN, bahkan nilai Indonesia kalah jauh dari Kamboja.
Lalu bagaimana jika bencana karhutla terjadi terjadi bersamaan? Banyak pihak yang meragukan kemampuan pemerintah menghadapi double disasters ini.
Baca juga: Menimbang Aksi Pemerintah Tangani Karhutla
Mengkaji Ancaman Karhutla di Indonesia
Kita masih dapat memaklumi jika karhutla bersumber dari kejadian alam, seperti fenomena El Nino, yang dapat memantik api di lahan yang sudah mengering.
Namun, pada kenyataannya permasalahan karhutla yang menahun, bersumber dari ulah manusia itu sendiri.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut bahwa 99% penyebab terjadinya karhutla di Indonesia adalah ulah manusia yang lebih mementingkan keuntungan ekonomi semata. Karhutla telah menjadi persoalan multi dimensi. Tidak hanya pada kerugian lingkungan, tetapi kerugian negara dan masyarakat.
Seperti dari sisi kesehatan masyarakat. Karhutla 2019 menyebabkan 900 ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
Kajian “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits from Peatland Restoration,” dari tim peneliti Harvard University dan Columbia University mengungkap, jika pengendalian karhutla masih berjalan apa adanya (business as usual) maka angka kematian dini akan mampu mencapai 36 ribu jiwa di seluruh wilayah terdampak, untuk periode 2020 hingga 2030.
Penelitian ini memperkirakan, dari total angka kematian dini akibat korban paparan asap itu, 92 persen akan terjadi di Indonesia, 7 persen di Malaysia, dan 1 persen di Singapura.
Demikian pula dari sisi ekonomi, karhutla menyebabkan kerugian besar. Kajian Bank Dunia menyebut Indonesia mengalami kerugian dari karhutla sebesar USD5,2 milyar (Rp72,9 trilyun) setara dengan 0,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Belum termasuk korbanan non materi yang tidak dapat dihitung, seperti hilangnya opportunity time ratusan ribu anak-anak yang terganggu sekolahnya dan menikmati kehidupan yang sehat.
Baca juga: Jejak Korporasi Penyulut Api
Pentingnya Membenahi Tata Kelola
Menurut hemat penulis persoalan karhutla tidak bisa dilihat dari persoalan teknis pemadaman api semata. Ia mencakup persoalan yang lebih luas.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa persoalan tata kelola adalah dalang dari karhutla. Ia mencakup, mulai dari persoalan transparansi data, anggaran, dan penegakan hukum para pelaku karhutla. Buruknya kejadian karhutla pun mengindikasikan buruknya tata kelola hulu ke hilir. Membenahinya tentunya menjadi tantangan tersendiri, -sulit, tapi bukannya tidak mungkin.
Penulis akan menjelaskan pokok-pokok persoalan tata kelola yang perlu menjadi perhatian khusus, seperti diuraikan di bagian berikut:
Pertama, transparansi data dan informasi karhutla. Kemudahan masyarakat dalam mengakses data karhutla adalah hak dasar yang harus disediakan oleh pemerintah.
Patut diapresiasi bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyediakan SiPongi sebagai portal penyedia data karhutla. Namun, selanjutnya masih butuh kolaborasi dari media massa dan para pihak agar informasi yang disampaikan itu tepat dan akurat, tidak simpang siur, yang dapat memunculkan bias perbedaan data.
Untuk hal ini, perkembangan pesat teknologi citra satelit harus terus dipakai secara kontinyu untuk monitoring kemunculan lokasi titik api atau area potensi terbakar secara akurat.
Secara khusus pemantauan harus terus difokuskan pada area yang memiliki sejarah rawan karhutla di masa silam, termasuk area-area konsesi dan lahan masyarakat yang berada di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Papua, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan.
Baca juga: Atasi Karthutla di Masa Pandemi, Perlu Peran Semua Pihak
Kedua, partisipasi dan kolaborasi. Permasalahan karhutla tersebar pada banyak sektor yang saling bergantung satu sama lain. Untuk itu, partisipasi dan kolaborasi dari banyak pihak adalah sebuah keniscayaan.
Termasuk di dalamnya, sinergitas para petugas pemadam api yang mencakup para pemangku kepentingan, baik pusat maupun daerah, hingga level tapak, harus satu visi, misi, dan strategi.
Ketiga, persoalan pengukuran kinerja. Salah satu regulasi yang harus dirombak adalah tentang indikator keberhasilan penanganan karthula. Seharusnya indikasi keberhasilan penanganan karhutla bukan lagi berpedoman pada serapan alokasi anggaran karhutla. Namun pada kinerja dan prestasi pemadaman api. Pun, pada penyiapan struktur masyarakat dan peralatan sebelum karhutla terjadi.
Suatu instansi maupun lembaga saat ini akan dicap tidak bekerja dengan baik apabila serapan anggaran penanganan karhutla menurun. Alhasil, semua instansi saling berpacu dalam menghabiskan anggaran, bukan lagi mengacu pada efektivitas penanganan karthutla. Sungguh, mekanisme seperti ini sudah tidak relevan dan harusnya diganti.
Keempat, pengawasan dan penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa karhutla sering kerap terjadi di lahan dan konsesi.
Hal ini tak lepas dari paradigma sebagian pengusaha untuk terus mencari keuntungan dengan korbanan paling minimal. Opsi membakar lahan pun lalu menjadi pilihan. Pada saat ketahuan, mereka berkelit saat ditindak, dan menimpakan detik kesalahan pada pihak lain.
Pengawasan dan penegakan hukum yang tajam dan tanpa pandang bulu tentu menjadi kunci untuk mengatasi ini. Saat area terbakar, sedini mungkin investigasi kasus dan pemberian sanksi, -baik administratif dan hukum, harusnya dapat segera dimulai.
Kejahatan karhutla harus ditempatkan dalam konteks kejahatan kepada kemanusian. Ia bukan hanya kejahatan sektoral. Untuk memberi efek jera maka sanksi hukum maksimal perlu diberlakukan, termasuk kepada korporasi pelanggar. Tidak saja pada pelanggar di tingkat perorangan.
Kita harus tetap menjaga momentum bahwa Indonesia menjadi negara yang mampu mengurangi laju deforestasi (dan juga karhutla). Bukan saja untuk menjadi baik di mata dunia, tetapi terlebih penting adalah untuk menjaga keselamatan bangsa kita sendiri.
* Delly Ferdian, penulis adalah Peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan, Jakarta. Artikel ini adalah opini pribadi penulis.