Mongabay.co.id

Inpres Moratorium Sawit Hampir Usai, Bagaimana Kelanjutannya?

 

 

 

 

Pembenahan tata kelola sawit, melalui Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Sawit (Inpres Moratorium Sawit), belum tuntas. Sayangnya, masa waktu inpres ini tinggal beberapa bulan lagi sebelum berakhir September ini setelah tiga tahun berjalan. Koalisi organisasi masyarakat sipil menyerukan perjanjangan kebijakan ini dengan penguatan antara lain, evaluasi, dan peningkatan produktivitas sawit.

Koalisi menyatakan, perpanjangan kebijakan ini penting karena akan berdampak positif pada dukungan pasar global, memicu produktivitas lahan, penyelesaian tumpang tindih lahan hingga berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim.

Koalisi Maratorium Sawit ini antara lain terdiri dari Yayasan Madani Berkelanjutan, Sawit Watch, Yayasan Pusaka, Greenpeace, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Kemitraan, dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK). Juga, Kaoem Telapak, Elsam, Forest Watch Indonesia (FWI), The Institute for Ecosoc Rights dan lain-lain.

Mereka bilang, upaya capaian pembenahan tata kelola sawit, baik dari evaluasi perizinan maupun peningkatan produktivitas masih jauh dari kata selesai. Padahal, dalam regulasi itu mengamanatkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengindentifikasi dan mengevaluasi izin kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan.

Hingga kini, pemerintah baru mengidentifikasi luas kebun sawit dalam kawasan hutan seluas 3,4 juta hektar lahan perkebunan sawit yang ada dalam kawasan hutan.

Pemerintah juga sudah menentapkan luas tutupan sawit 16,381 juta hektar yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833/2019. Meski demikian, luasan ini baru sebatas tutupan, belum disesuaikan dengan kondisi lapangan.

Sri Palupi, peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights mengatakan, inpres ini penting dan mendesak bukan hanya diperpanjang tetapi juga penguatan. “Ini kebijakan sangat strategis, hanya belum optimal dalam tataran implementasi. Belum optimal implementasi moratorium sawit karena berbagai hal yang menghambat seperti belum ada target spesifik,” katanya.

Untuk itu, perlu penguatan produk hukum disertai dengan target spesifik, antara lain, peningkatan produktivitas maupun evaluasi izin dengan ukuran target jelas.

 

Baca juga: Organisasi Masyarakat Sipil Desak Perpanjangan Inpres Moratorium Sawit

Batang kayu sisa-sisa hutan alam yang terbabat jadi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan analisis koalisi, capaian masih minim walau kebijakan ini sudah berjalan 2,5 tahun, baik di pemerintah pusat, lembaga maupun pemerintah daerah. Evaluasi dan penyelesaian tumpang tindih izin masih belum tuntas, begitu juga produktivitas masih jadi tantangan besar.

Koalisi menilai, tidak ada perubahan berarti dalam produktivitas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) selama masa periode moratorium. “Jika sebelumnya, 1,34% sebelum moratorium dan saat moratorium jadi 2,62%,” kata Rahmadha, juru kampanye sawit Kaoem Telapak.

Terlebih, katanya, produktivias perkebunan rakyat tertinggal jauh dibanding perkebunan negara dan swasta. Dengan begitu penting regulasi ini diperpanjang dan inovasi dalam pencapaian target.

Untuk petani rakyat, katanya, perlu ada komitmen pembenahan serius agar mampu menyelesaikan berbagai permasalahan petani seperti legalitas, optimalisasi dana sawit, dan peremajaan kebun.

 

Perlu peta jalan terukur

Irfan Bakhtiar, Direktur Program Sawit Berkelanjutan, Yayasan Kehati mengatakan, menyelesaikan sawit dalam kawasan hutan merupakan kerja cukup besar, perlu sumber daya manusia, komitmen dan kerja dari banyak pihak. Pasalnya, kasus itu punya masalah dan penyelesaian berbeda-beda.

“(Penyelesaian ini) butuh waktu. Kami menyarankan, memperpanjang inpres dengan agenda jelas, program jelas dan anggaran jelas,” katanya.

Dia mencontohkan, Kehati menganalisis tutupan sawit di Kalimantan Tengah seluas 1,7 juta hektar, 829.873,26 hektar dalam kawasan hutan. Khusus untuk Kotawaringin Timur, seluas 280.579 hektar sawit di kawasan hutan memiliki izin perkebunan, 49.273,15 hektar tidak berizin dengan masalah beragam, seperti tidak ada izin lokasi, izin perkebunan, izin terbit saat pergantian RTRW. Atau, belum memiliki pelepasan hutan namun memiliki izin perkebunan dan lain-lain.

Inda Fatinaware, Direktur Sawit Watch mengatakan, regulasi ini dinilai sebagai jawaban bagi tuntutan pasar internasional mengenai produk sawit berkelanjutan. Kebijakan ini, katanya, jadi alat bagi pemerintah Indonesia dalam melakukan perbaikan tata kelola untuk menghasilkan produk yang dapat diterima pasar global.

“Tidak hanya untuk pemerintah pusat, perpanjangan moratorium sawit juga dibutuhkan oleh daerah untuk mengurai permasalahan tumpang tindih lahan,” katanya.

Satu langkah perlu diapresiasi adalah komitmen Pemerintah Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengevaluasi izin 30 perusahaan perkebunan sawit dalam dua tahun terakhir.

Hasilnya, pencabutan 14 izin perusahaan sawit oleh bupati dan rencana mencabut izin empat perusahaan di provinsi konservasi itu. Langkah ini, semestinya dapat dilakukan pemerintah daerah lain untuk mengurai permasalahan serupa.

Koalisi moratorium sawit menyebutkan, ada konsekuensi kalau moratorium sawit tidak lanjut. Pertama, target wajib sertifikasi ISPO pada 2025 sulit tercapai karena permasalahan legalitas lahan petani yang belum selesai masih jadi kendala utama. Kedua, PNBP dari provinsi sentra sawit akan terus hilang karena izin yang belum memiliki hak guna usaha menyebabkan kehilangan pendapatan negara dari PNBP.

Untuk itu, katanya, penting penguatan inpres dengan ada target spesifik, seperti target peningkatan produktivitas dengan ukuran jelas per ton per hektarnya, target optimalisasi pendampingan petani (jumlah penyuluh petani per kabupaten/ kota). Juga, target luasan perizinan perkebunan sawit yang dievaluasi per hektar pertahunnya dan target luasan penyelesaian lahan sawit dalam kawasan hutan. Kemudian, target pengembalian tutupan hutan alam tersisa dalam izin untuk dikembali sebagai kawasan hutan atau ditetapkan sebagai kawasan bernilai konservasi tinggi perhektar per tahun.

 

Baca juga: Jalan Panjang Menuju Sawit Swadaya Berkelanjutan di Sintang

Tanam sawit dengan tanaman sela jagung. Foto: Dian Wahyu Kusuma

 

Tumpang tindih

Koalisi Moratorium Sawit menyebutkan regulasi ini berpeluang menciptakan iklim usaha kondusif melalui penyelesaian tumpang tindih izin sawit dengan konsesi lain maupun kawasan hutan. Analisa koalisi menyebutkan, dari 27,4 juta hektar izin sawit tercatat, 8,98 juta hektar tumpang tindih dengan konsesi lain.

”Izin sawit  juga tumpag tindih dengan kawasan hutan yang mencapai 6,97 juta hektar,” kata Inda. Sedangkan, hanya 14,9 juta hektar izin sawit tidak tumpang tindih dengan konsesi lain maupun kawasan hutan.

Bambang Hendroyono, Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, persoalan kebun sawit dalam kawasan sawit akan selesai melalui UU Cipta Kerja dan mereka sedang menyiapkan prosedur pelaksanaannya.

Dia bilang, masalah kebun sawit dalam kawasan hutan urgen diselesaikan lewat UU Cipta Kerja. Sebagai aturan turunan sudah ada PP Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP dari Denda Administrasi Bidang Kehutanan.

“Lewat aturan ini, semua masalah perkebunan sawit di kawasan hutan bisa diselesaikan,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, Maret lalu.

Penyelesaian mekanisme dijelaskan dalam Pasal 110 A dan 110 B. Pada Pasal 110 A, dikenakan kepada perusahaan dan perkebunan rakyat yang ketika berdiri berada di luar kawasan hutan, kemudian ada perubahan peraturan masuk dalam kawasan hutan. Bagi perusahaan yang kegiatan usaha sudah terbangun, memiliki izin lokasi dan izin usaha bidang perkebunan sesuai tata ruang, terletak di kawasan hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan. Setelah mendapat persetujuan pelepasan harus membayar provisi sumber daya hutan (PSDH), dana reboisasi (DR) atau denda pengenaan sanksi administratif.

Sementara yang berada dalam kawasan hutan lindung tidak bisa pelepasan, tetapi diberikan waktu melanjutkan hingga 15 tahun setelah musim tanam, harus bermitra dengan masyarakat, dan tak boleh penanaman kembali.

“Perkebunan rakyat yang dari awal sudah benar berada di luar kawasan, kemudian ada penunjukkan masuk dalam kawasan, bisa dilepas. Prioritas pelepasan adalah masyarakat. Mereka juga tidak kena denda administratif.”

Kawasan transmigrasi yang banyak memiliki kebun sawit eks perkebunan inti rakyat (PIR), katanya, bila masih berada dalam kawasan hutan segera lepas karena dari awal sudah ditetapkan bukan kawasan hutan.

Pasal 110 B, ini buat perusahaan yang sejak awal sudah berada dalam kawasan hutan tanpa izin sah dan sudah melakukan kegiatan. Apabila berada dalam hutan produksi, perusahaan boleh tetap beroperasi setelah membayar denda administratif, tetapi lahan tetap kawasan hutan dengan persetujuan penggunaan kawasan hutan.

Bila, berada dalam hutan lindung, selain membayar denda admistratif juga harus mengembalikan kawasan hutan pada negara.

Untuk perkebunan rakyat, apabila terbukti sudah diam di sekitar kawasan hutan selama minimal lima tahun dan luas kebun maksimal lima hektar, bisa mengelola kebun tanpa denda administratif, masuk dalam mekanisme perhutanan sosial.

“Kita memberi kesempatan mereka meningkatkan produktivitas hingga kesejahteraan meningkat. Lahan yang digunakan tetap masuk dalam kawasan hutan,” kata Bambang.

 

Lanjut?

Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, kebijakan moratorium sawit sangat relevan dengan upaya target Indonesia menuju nol emisi pada 2030. “Akan kita evaluasi (moratorium), kalau memang ini efektif ya kita lanjutkan,” katanya dalam diskusi Indonesia’s Forest and Land Use (FoLU) Net Sink by 2030.

Dia mengatakan, Indonesia memiliki lahan sawit luas hingga kebijakan intensifikasi dalam peningkatan produktivitas sangat perlu, bukan lagi ekstensifikasi atau perluasan lahan.

Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK mengatakan, pembahasan soal inpres ini masih berlangsung di tingkat Kemenko Perekonomian.

 

Baca juga: Bagaimana Implementasi Inpres Moratorium Sawit dalam Tataran Petani?

Konflik lahan puluhan tahun antara warga adat Pantai Raja dan perusahaan sawit negara, PTPN V tak kunjung usai. Warga protes dan menduduki kembali lahan adat mereka yang kini sudah berubah jadi kebun sawit. Foto: dokumen warga

 

******

Foto utama: Pembenahan tata kelola sawit masih perlu jalan panjang. Inpres Moratorium Sawit, salah satu alat menuju pembenahan tata kelola. Kebijakan ini sudah hampir memasuki masa akhir. Berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil menyatakan, perlu perpanjangan dengan penguatan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version