Mongabay.co.id

Ancaman Kekeringan Melanda NTT. Apa yang Harus Dilakukan?

 

BMKG merilis pernyataan soal musim kemarau dan kekeringan meteorologis di beberapa wilayah Indonesia, Sabtu (10/7/2021).

Dalam rilisnya, disebutkan berdasarkan jumlah Zona Musim (ZOM), sebanyak 67.54% wilayah Indonesia sudah masuk musim kemarau.

Wilayah yang sedang mengalami musim kemarau meliputi Aceh, sebagian besar Sumatera Utara, Riau bagian utara, Jambi bagian barat dan timur, Sumatera Selatan bagian selatan, sebagian besar Lampung dan sebagian Bangka Belitung.

Untuk wilayah Jawa meliputi sebagian Banten, DKI Jakarta, sebagian Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Juga meliputi wilayah Bali, NTB NTT, sebagian Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur bagian selatan.

Untuk wilayah Sulawesi,Maluku dan Papua meliputi Sulawesi Selatan bagian barat, Sulawesi Barat bagian selatan, Sulawesi Tengah bagian utara, sebagian Maluku, sebagian Papua Barat  dan Papua bagian selatan.

Terdapat 8 daerah yang sudah lama tidak mengalami hujan hingga berada pada kategori panjang ekstrem tersebar di 2 provinsi, yakni ada di NTT meliputi Kota Kupang sebanyak 97 hari, Kabupaten Kupang sejumlah 95 hari serta Sumba Timur  94 hari.

Wilayah NTT lainnya yakni  Lembata sebanyak 94 hari, Sikka berjumlah 82 hari dan Belu sebanyak 63 hari. Untuk provinsi NTB meliputi Bima sebanyak 97 hari dan Sumbawa berjumlah 69 hari.

Peringatan dini kekeringan meteorologis di beberapa kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur berpotensi mengalami kekeringan meteorologis pada klasifikasi siaga hingga awas untuk dua dasarian kedepan.

baca : NTT Alami Krisis Air Bersih. Apa yang Harus Dilakukan?

 

Sawah di Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka,NTT yang mengalami kekeringan akibat debir air di bendungan menurun drastis.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Hemat Gunakan Air

Stasiun Klimatologi Kelas II Kupang Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat ada 13 daerah di NTT yang menyandang status awas terkait ancaman kekeringan meteorologis.

Kepala Stasiun Klimatologi Kelas II Kupang, BMKG, Rahmattuloh Adji dalam rilisnya menyebutkan,ke-13 daerah tersebut yakni  Kota Kupang dan 12 kabupaten lainnya meliputi Belu, Kupang, Lembata, FLores Timur, Sikka, Ngada, Manggarai Barat, Sabu Raijua, Rote Ndao, Sumba Tengah dan Sumba Timur.

Rahmattuloh menjelaskan daerah-daerah yang berstatus awas kekeringan meteorologi ini memiliki kondisi Hari Tanpa Hujan (HTH) lebih dari 61 hari atau ekstrem panjang.

“Peluang curah hujan di daerah-daerah ini sangat rendah atau kurang dari 20 mili meter per dasarian dengan peluang di atas 70 persen,” paparnya.

Rahmattuloh mengatakan dengan kondisi maka daerah-daerah tersebut telah memenuhi syarat untuk dikeluarkan peringatan dini ancaman kekeringan meteorologis.

Menurutnya, saat ini Zona Musim (ZOM) di NTT sudah berada dalam periode musim kemarau berdasarkan pemantaun awal musim kemarau per 30 Juni 2021.

Dirinya meminta agar ditingkatkan kewaspadaan terkait adanya ancaman bencana kekeringan. Pihaknya pun meminta agar dilakukan penghematan penggunaan air.

“Daerah-daerah dengan status peringatan dini kekeringan meteorologi perlu melakukan langkah antisipasi seperti melakukan kegiatan budidaya pertanian yang tidak membutuhkan banyak air,” sarannya.

Rahmattuloh juga berpesan agar selalu mewaspadai terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Hemat dalam menggunakan air bersih menjadi prioritas untuk dilakukan di tengah adanya ancaman kekeringan meteorologis.

baca juga : Bangun Tujuh Bendungan di NTT, Apakah Bisa Menjawab Krisis Air?

 

Kebakaran lahan yang melanda hutan lindung Egon Ilimedo di Desa Hoder, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka,NTT.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Perlu Respon Pemerintah

WALHI NTT dalam rilisnya yang diterima Mongabay Indonesia, Senin (19/7/2021) juga meminta agar pemerintah menindaklanjuti secara serius terkait himbauan ini.

WALHI menyebutkan, dalam analisisnya  BMKG menyatakan bahwa, pertama, data HTH hingga update 10 Juli 2021 menunjukkan bahwa di beberapa wilayah NTTmengalami Hari Tanpa Hujan dengan kategori panjang 21 – 30 hari hingga ekstrem panjang lebih dari 60 hari.

Kedua, prakiraan peluang curah hujan menunjukkan bahwa beberapa wilayah diperkirakan akan mengalami curah hujan sangat rendah yakni kurang dari 20 mm/dasarian dengan peluang 71 – 100 %.

“Kedua kondisi ini, memenuhi syarat bagi BMKG untuk mengeluarkan peringatan dini kekeringan meteorologist sebagai akibat dari perubahan iklim,” sebut Yuvensius Stefanus Nonga, Divisi Sumber Daya Alam WALHI NTT.

Yuven sapaannya menyebutkan,bumi hari ini sedang menghadapi krisis iklim yang dipicu akibat industrialisasi dan pola konsumsi yang tinggi.

Secara nasional pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk berkontribusi terhadap penurunan emisi, sekaligus melakukan upaya adaptasi sehingga masyarakat dapat melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Pada faktanya, kata dia, aksi-aksi pemerintah justru lebih banyak ditujukan pada pembangunan infrastruktur, perkebunan monokultur dan lain-lain atas nama perubahan iklim.

baca juga : Kekeringan dan Terserang Hama Ulat Grayak Ancam Produksi Jagung di Sikka. Apa Solusinya?

 

Kebakaran lahan yang melanda hutan lindung Egon Ilimedo di Desa Hoder, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka,NTT.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Yuven sesalkan, pemerintah daerah pun tidak cukup kapasitas untuk melakukan adaptasi perubahan iklim. Sementara masyarakat yang mayoritas adalah petani dan nelayan mengalami dampak perubahan iklim yang paling buruk seperti gagal panen dan kesulitan melaut.

“Hal ini akan berpengaruh pada kualitas hidup petani dan nelayan semakin terpuruk. Di tengah tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, sektor utama pemenuhan kebutuhan hidup justru terancam gagal,” ucapnya.

Yuven mengatakan, pada kekeringan sebagaimana yang diperingati oleh BMKG, hal ini pun akan memberikan dampak buruk bagi jutaan petani dan nelayan di NTT.

Dalam rekomendasinya, BMKG mengimbau tiga hal yakni budidaya pertanian yang tidak membutuhkan banyak air, waspada kebakaran hutan, lahan dan semak serta hemat penggunaan air bersih.

“Kondisi seperti ini, butuh peran pemerintah untuk merespon dampak buruk yang dialami oleh petani dan nelayan,” tegasnya.

WALHI NTT merekomendasikan kepada pemerintah provinsi NTT untuk melakukan respon bencana kekeringan yang orientasinya adalah pemenuhan hak masyarakat dengan melakukan tiga hal.

Yuven katakana pertama, pemerintah perlu melakukan inventarisir masalah agar dapat diketahui kebutuhan masyarakat selama menghadapi kekeringan.

Selain itu, pemerintah harus melahirkan kebijakan-kebijakan yang menjawab kebutuhan masyarakat di tengah kekeringan.

Yang terakhir kata dia, harus ada pemerataan pendistribusian bantuan untuk masyarakat yang terdampak kekeringan.

 

Exit mobile version