Mongabay.co.id

Bangun Kesadaran Menghargai Air

Warga Sumenep berbondong-bondong untuk mendapatkan bantuan air karena di daerahnya mengalami kekeringan. Bagaimana kalau ada tambang fosfat yang akan mengeksploitasi kawasan karst? Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

 

Air merupakan bagian terpenting dalam kehidupan. Kehadiran air atau sumber mata air jadi tanda keberadaan makhluk hidup. Sejarah mencatat, bagaimana peradaban berkembang dari tepian sungai. Seperti peradaban tertua umat manusia muncul di Lembah Mesopotamia, sekitar tahun 8.000 SM. Area ini teraliri Sungai Eufrat dan Tigris.

Begitu juga peradaban Mesir kuno yang tumbuh di sepanjang Sungai Nil, peradaban Sungai Indus, hingga kekaisaran China kuno bermula dari peradaban Sungai Kuning.

Tanpa air yang mengalir di sungai-sungai itu, mustahil peradaban awal umat manusia dapat berkembang pesat. Fakta ini, menuntun pada sebuah kenyataan tak terbantahkan, bahwa, manusia tidak berarti tanpa air. Bukan berlebihan bila menyebut air adalah nadi kehidupan.

Air tergolong kebutuhan primer bagi manusia. Manusia mungkin bisa bertahan tanpa makan untuk beberapa hari, namun hanya memiliki waktu 100 jam untuk bisa hidup tanpa air. Rentang waktu ini dapat makin singkat tergantung kondisi lingkungan.

Tubuh manusia hampir 70% terdiri dari cairan yang berhubungan dengan senyawa air. Riset pakar biologi dari George Washington University, Randal K. Packer, menyebut, orang dewasa akan kehilangan 1-2 liter keringat dalam satu jam ketika beraktivitas di cuaca panas. Bila kondisi ini tak cukup asupan air, maka akan mendekati kematian dampak kerusakan ginjal.

 

Konsumsi air

Laporan WWF 2018 menyebut, air layak minum hanya 3% dari total air yang ada di bumi. Dari jumlah ini, hanya sepertiga saja berupa sumber mata air. Sisanya, mengeras berupa es di lingkar kutub. Apakah jumlah yang sedikit ini tersebar merata? Tentu tidak. Kualitas air sangat bergantung kepada lingkungan.

Mayoritas masyarakat dunia gunakan sumber air tanah untuk mencukupi kebutuhan air bersih setiap hari. Di Indonesia, lebih sepertiga jenis tanah didominasi batuan kapur. Maknanya, wajib memasak dulu agar dapat dikonsumsi. Angka ini makin dipersempit oleh krisis iklim dan pemanasan global yang mencemari bahkan merusak sumber mata air.

 

Baca juga: Sumber Air Masyarakat, Sudahkah Layak dan Aman?

Aliran mata air dari Gunung Mangkol yang menjadi sumber air baku bagi masyarakat Kota Pangkalpinang sejak masa kolonial. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Di beberapa kota besar, penggunaan air tanah secara berlebihan dapat memicu bencana yang mengerikan. Ambil contoh, Jakarta. Sebuah laporan dirilis Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menyebut, laju penurunan tanah di Jakarta mencapai enam cm. Kondisi ini disebabkan penyedotan air tanah terus-menerus untuk memenuhi kebutuhan air. Situasi ini membuka kemungkinan, Jakarta akan tenggelam ke depan.

Data UNESCO menyatakan, setiap manusia memiliki hak dasar atas air minimal 60 liter perhari. Kondisi ini, menyebabkan permintaan air bersih setiap hari terus mengalami peningkatan buntut dari ledakan penduduk. Hal ini sejalan dengan teori Malthusian yang ditulis oleh Thomas Robert Malthus pada 1798 dalam bukunya berjudul An Essay on the Principles of Population.

Sulit menghindari ledakan penduduk, yang bisa dilakukan mengontrolnya. Begitu juga konsumsi air bersih di bumi, yang bisa dilakukan adalah mengontrol penggunaan.

 

***

Kesadaran manusia tentang keberlanjutan lingkungan hidup mulai tumbuh. Inisiatif pertama kali muncul pada 1992 di Konferensi Tingkat Tinggi di Rio de Janeiro, Brazil.

Melalui sidang umum PBB ke-47, Majelis Umum mengadopsi resolusi A/RES/47/193 untuk menetapkan setiap 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia (World Water Day). Perayaan ini memiliki misi utama untuk memupuk kesadaran dan kepedulian manusia, bahwa, sudah saatnya berterima kasih kepada air yang telah menemani sepanjang sejarah kehidupan.

Pada 2021 ini, Hari Air Sedunia berusia 29 tahun sejak pertama kali diperingati pada 22 Maret 1993. Tema yang diangkat pun sangat menarik, yakni valuing water atau menghargai air.

Sebuah laporan tahunan dari United Nations World Water Development Report (UNWWDR) 2020 menyatakan, setidaknya ada lima perspektif yang dapat menjelaskan nilai-nilai yang tersemat dalam air. Yakni, sebagai sumber air, infrastruktur air, layanan air, air untuk produksi dan kegiatan ekonomi, hingga nilai sosio-kultural.

Lima aspek ini hanya sebagian kecil dari bukti betapa keberlangsungan umat manusia tidak bisa terlepas dari air.

Dalam laporan ini UN Water secara spesifik mengomentari wilayah Asia-Pasifik termasuk Indonesia. Mereka menyebut, air seringkali jadi sumber daya relatif langka dan berharga di kawasan. Kelangkaan air kemungkinan besar akan memburuk karena dampak perubahan iklim. Laporan ini perlu dijadikan bahan renungan bahwa, kita harus bersiap untuk kondisi paling buruk.

 

Baca juga: Kala Hidup di Daerah Sumber Air Malah Krisis Air Bersih

Warga Bali kesulitan air bersih. Mereka mencari air bersih ke mana-mana. Air dari PDAM tak jalan, mereka harus membeli per tangki atau harus membuat sumur bor dengan biaya mahal. Foto: Anton Muhajir/ Mongabay Indonesia

 

Tetes air terakhir

Jared Diamond, sejarawan dan geographer Amerika, pernah menulis buku yang berjudul Collapse pada 2004. Dia menceritakan, beberapa penyebab kepunahan beberapa peradaban manusia di muka bumi. Salah satunya, punahnya penghuni Easter Island atau Pulau Paskah. Pulau yang terletak di Samudera Pasifik dan bagian dari negara Chile ini dihuni oleh para perajin Moai (patung batu berukuran raksasa).

Untuk memindahkan satu patung ke sisi lain pulau, mereka menebang pohon untuk jadi roda. Tanpa disadari, mereka turut menebang pohon terakhir di pulau yang jadi awal mula bencana kepunahan.

Situasi serupa tetapi tak sama nampak juga dialami manusia hari ini. Manusia terus menghambur-hamburkan segala yang dimiliki, seolah-olah akan tersedia selamanya. Hingga tanpa sadar, menggunakan sumber daya alam terakhir, termasuklah sumber air.

Sebelum masa mengerikan itu terjadi, kita harus lebih menghargai air. Dari mana semua itu berawal? Tentu dari diri masing-masing. Perubahan besar selalu berawal dari individu.

Cobalah  memunculkan sugesti, menganggap air yang kita gunakan adalah tetes air terakhir di muka bumi ini. Dengan begitu,  sikap bijaksana  dan peduli pada air akan tumbuh.

Mari mengawali perubahan dengan langkah sederhana: menghargai air.

 

 

*Penulis adalah Research Assistant at National Battery Research Institute. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

 

*****

Foto utama: Antri air bersih. Warga Sumenep berbondong-bondong untuk mendapatkan bantuan air karena di daerahnya mengalami kekeringan. Ancaman baru muncul kalau ada rencana  tambang fosfat yang akan mengeksploitasi kawasan karst, yang jadi ‘rumah’ air Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

Exit mobile version