Mongabay.co.id

Pekerjaan Rumah Mengelola Mangrove Nusantara

 

Pengelolaan ekosistem mangrove secara nasional yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia selama ini sudah berjalan baik. Bahkan, pengelolaan mangrove secara nasional sudah mengarah kepada terpadu dengan menggabungkan seluruh sumber daya yang ada.

Sayangnya, kondisi tersebut ada saat Peraturan Presiden RI Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove masih berjalan. Atau, sebelum Presiden RI Joko Widodo mencabut Perpres tersebut pada 2020.

Pakar Mangrove dari Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Rudhi Pribadi menyebut kondisi tersebut adalah sesuatu yang tidak diharapkan terjadi di tengah kondisi yang terus membaik dalam pengelolaan mangrove.

Akibat pencabutan regulasi tersebut, pengelolaan mangrove mengalami situasi pasang surut yang memicu ada beberapa persoalan. Di antaranya, kelompok kerja mangrove nasional yang sudah sangat diandalkan, terkena imbasnya dan akhirnya harus dibubarkan.

“Ada beberapa perubahan terjadi, menyebabkan status kondisi mangrove di Indonesia agak terombang ambing,” ungkap dia kepada Mongabay.

baca : Upaya Memulihkan Ekosistem Mangrove yang Kritis

 

Sejumlah nelayan pulang dari melaut dan harus melewati hamparan lumpur di sekitar Pesisir Desa Batu Belubang yang sudah kehilangan mangrovenya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Perubahan tersebut dirasakan oleh masyarakat yang ikut terlibat dalam pengelolaan di lapangan. Ada yang merasa kebingungan dengan situasi yang sedang terjadi, dan ada yang memilih untuk meneruskan pekerjaan dalam mengelola mangrove secara mandiri.

Situasi tersebut, menjadi puncak dari perubahan regulasi dalam mengelola mangrove. Sebelum Perpres 73/2012 dicabut, masyarakat lebih dulu menghadapi situasi hampir sama ketika Pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Pemberlakuan UU tersebut, juga secara langsung memicu banyak perubahan terjadi. Hal itu, karena UU tersebut mengerucutkan pengelolaan mangrove menjadi wewenang Pemerintah Provinsi saja, dan meniadakan wewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Namun demikian, Rudhi Pribadi mengatakan kalau perubahan wewenang tersebut sempat membuat Pemprov merasa gagap dalam mengelola mangrove. Hal itu disebabkan, karena sumber daya yang masih terbatas dan kawasan ekosistem mangrove juga cukup luas untuk dikelola.

Untuk bisa menyesuaikan diri dengan UU 23/2014 tersebut, Pemprov memerlukan waktu yang tidak sebentar. Seluruh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) provinsi bahkan baru bisa melakukan penyesuaian pada 2018.

Pada tahun tersebut, pengelolaan mangrove mulai dilakukan dengan baik sesuai dengan kebijakan di masing-masing provinsi. Namun, belum berjalan lama penyesuaian tersebut, tanpa diduga Presiden RI kemudian mencabut Perpres 73/2012.

Meski sempat menimbulkan kebingungan di lapangan, namun pencabutan Perpres tersebut dalam pelaksanaan di lapangan dinilai tidak ada pengaruh secara langsung. Bahkan, beberapa lokasi kawasan mangrove masih berjalan normal dalam melaksanakan pengelolaan.

baca juga : Rehabilitasi Mangrove Hadapi Berbagai Tantangan

 

Wisatawan lokal yang mengunjungi hutan bakau Mageloo, Ndete, Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Rudhi Pribadi menyebutkan penilaian tersebut ada, karena sejak Perpres dicabut, kelompok kerja mangrove nasional juga kemudian dibubarkan. Padahal, keberadaan pokja tersebut dirasakan sudah banyak membantu dalam mengelola mangrove, karena melibatkan para pihak yang berkompeten.

Namun demikian, pemberlakuan UU 23/2014 dan pencabutan Perpres 73/2012 ternyata memunculkan hikmah yang sangat besar. Itu terbukti dengan semakin meningkatnya perhatian Pemerintah terhadap pengelolaan mangrove, dan semakin besarnya peran non Pemerintah di dalamnya.

 

Non Pemerintah

Dia menyebutkan, peran tidak sedikit dari kelompok non Pemerintah tersebut bisa dilihat dari beberapa organisasi non Pemerintah yang sebelumnya hanya fokus pada konservasi di luar mangrove, kemudian mengubah kebijakan dengan melibatkan mangrove sebagai bagian dari sumber daya untuk konservasi.

“Ini sesuatu yang menarik, bahwa ekosistem mangrove menjadi daya tarik bagi swasta, dan masyarakat. Pada awalnya masyarakat tidak merasakan ada peralihan perundangan tersebut, tapi akhirnya mereka bisa survive juga,” jelas dia.

Bukti bahwa peran masyarakat semakin bertambah, adalah semakin banyaknya lokasi pengelolaan mangrove yang diinisiasi langsung oleh mereka. Dibandingkan dengan yang dikelola oleh Pemerintah, lokasi-lokasi tersebut bahkan bisa bertahan dan berkembang dengan baik hingga sekarang.

“Ini menarik, dalam mengelola ekosistem (mangrove), mestinya tidak harus bergantung penuh kepada Pemerintah,” tambah dia.

Dengan fakta tersebut, Pemerintah sebenarnya sangat membutuhkan kehadiran pokja mangrove nasional, karena itu sangat membantu proses pengelolaan di lapangan. Namun, untuk bisa menghadirkan kembali pokja, itu juga tidak akan mudah karena harus ada formula yang tepat.

Kehadiran pokja juga menjadi penting, karena selain bisa mendukung kegiatan yang sudah ada, juga akan bekerja dengan lebih teliti dengan cakupan tugas yang luas. Oleh karena itu, selain mengelola ekosistem, juga akan melakukan pemberdayaan masyarakat melalui program kerja yang ada.

Cara tersebut berbeda dengan yang sedang dilakukan oleh Pemerintah saat ini, di mana ada program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang di dalamnya ada program pemulihan ekosistem mangrove. Program tersebut, sasarannya untuk membantu secara ekonomi masyarakat pesisir yang terkena dampak pandemi COVID-19.

“Sifatnya bukan hanya charity saja, tapi terprogram dengan baik. Ada unsur monitoring, dan evaluasi. Sehingga untuk melakukannya harus melibatkan banyak pihak. Program Pemerintah kan sangat lemah dalam monitoring dan evaluasi,” jelas Rudhi Pribadi menyebut cara kerja pokja mangrove nasional.

baca juga : Apakah Mangrove si Penyerap Karbon Bisa Tergantikan Teknologi?

 

Nelayan dari Suku Bajo di pesisir Teluk Tomini, tepatnya di kampung Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, memanfaatkan mangrove untuk mencari ikan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Melihat banyak hal positif dari pengelolaan mangrove yang dilakukan pokja nasional, maka sangat ideal jika pokja kembali dihadirkan dan berdampingan dengan kelompok masyarakat yang sudah melakukan pengelolaan mangrove secara mandiri.

“Harusnya saling mendukung jika kelompok kerja mangrove dihidupkan kembali. Itu malah memperkuat dengan apa yang dikerjakan oleh masyarakat,” tambah dia.

Selain pokja mangrove nasional, pengelolaan juga akan semakin bagus jika Pemerintah mau membuat peraturan turunan dari semua regulasi yang ada saat ini sampai ke tingkat desa/kelurahan. Peraturan turunan dibutuhkan, karena masih banyak yang belum memahami tentang regulasi yang ada sekarang.

Satu lagi, Rudhi Pribadi menyebut bahwa persoalan yang belum teratasi sampai sekarang, adalah ketiadaan jejaring yang kuat dalam melaksanakan pengelolaan mangrove. Tanpa jejaring, maka antara satu provinsi dengan provinsi lain akan melakukan pengelolaan secara individual.

“Kegiatan-kegiatan yang sifatnya duplikasi, pengulangan kesalahan-kesalahan yang sama, seharusnya tidak terjadi. Itu terjadi karena jejaring masih lemah,” pungkas dia.

Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) Yahya Ihya Ulumuddin pada kesempatan berbeda menjelaskan bahwa pengelolaan mangrove secara nasional terus berjalan dengan baik, meski Perpres 73/2012 dicabut.

Dia menyebutkan bahwa saat ini LIPI sedang melaksanakan pemetaan kondisi mangrove terkini di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Pemetaan dilakukan dengna fokus pada pemetaan mangrove yang masih ada dan tidak ada pohon.

Kegiatan tersebut meluas dibandingkan pada pemetaan tahun sebelumnya yang fokus pada pemetaan mangrove yang masih ada pohon. Itu artinya, pada tahun tersebut tidak ada pemetaan mangrove yang sudah berubah menjadi areal tambak, mangrove yang ditebang, dan kemudian terkena abrasi.

Untuk tahun ini, pengelolaan juga fokus pada pemulihan ekosistem mangrove yang luasnya ditargetkan bisa mencapai 600.000 hektare pada 2024 mendatang. Kegiatan tersebut menjadi mandat dari Presiden RI Joko Widodo dan dilaksanakan di sembilan provinsi.

Selain itu, ada juga yang dilaksanakan di luar sembilan provinsi, namun fokusnya adalah di luar kawasan hutan area ekosistem mangrove. Lahan yang dilakukan rehabilitasi, adalah lahan yang harus jelas statusnya, dan tidak boleh ada sengketa dengan pihak manapun.

Bagi Yahya Ihya Ulumuddin, kejelasan status kawasan mangrove menjadi kunci utama dari pengelolaan secara nasional. Kejelasan status kawasan yang ada di dalam dan luar area hutan mangrove, akan mempermudah pengelolaan mangrove secara nasional.

perlu dibaca : Menanti Bibit-bibit dari Mangrove Center untuk Hijaukan Pesisir Indonesia

 

Wadah leko’tala ini bisa bertahan hingga 8 bulan, waktu yang cukup bagi bibit mangrove untuk tertanam kuat, hingga akar mangrove mengoyak wadah dan tertanam lebih kuat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Status Lahan

Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (P3K KKP) Muhammad Yusuf mengakui kalau kejelasan status lahan akan memberikan kemudahan dalam mengelola kawasan mangrove.

Meski dalam pembagian kawasan, KKP mendapatkan di luar kawasan hutan, namun itu tetap menjadi tantangan yang harus bisa diantisipasi. Mengingat, kawasan di luar hutan itu artinya area mangrove yang akan dikelola belum ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Dari hasil pembagian, KKP mendapatkan area seluas 64.746 ha atau sekitar 10 persen dari total area yang akan dilakukan rehabilitasi hingga 2024. Seluruh area adalah hutan mangrove yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dalam keseharian.

“Dengan fakta tersebut, akhirnya KKP melakukan pemberdayaan (masyarakat). Bahwa mangrove penting bagi mereka, dan selama ini mereka menebangnya untuk kayu bakar, arang, menjadi tambak. Itu adalah tantangan,” jelas dia.

Selain tantangan di atas, Muhammad Yusuf menerangkan jika KKP juga menghadapi tantangan lain dalam melaksanakan rehabilitas mangrove di bawah Kemenko Marves. Tantangan tersebut, tidak lain karena data yang ada ternyata berasal dari data lama.

Sementara, setelah dilakukan pembaruan data, didapatkan fakta bahwa area seluas 64.746 ha yang menjadi bagian KKP, 50 persen di antaranya sudah terkonversi menjadi area tambak, dan juga tanah kering. Hasil itu didapat setelah dilakukan analisa selama sepuluh tahun.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, KKP mencari jalan keluar dengan mencari lahan yang baru yang ada di luar kawasan hutan. Penggantian dilakukan, agar luas area bisa tetap utuh 100 persen sesuai dengan pembagian.

“Yang sudah terkonversi tidak bisa dikembalikan menjadi ekosistem mangrove. Area eks tambak udang tidak bisa dipulihkan, namun eks tambak untuk ikan dan bandeng masih bisa dipulihkan,” terang dia.

Di luar pengelolaan yang ada di bawah Kemenko Marves, KKP juga melakukan pengelolaan mangrove secara mandiri dan ditargetkan bisa mencapai luasan hingga 1.800 ha. Seluruh lahan tersebut akan diupayakan agar statusnya sudah tidak bermasalah lagi.

 

Nampak pohon mangrove yang mati dampak perubahan pasang surut laut proyek reklamasi Pelabuhan Benoa. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Hendra Yusran Siry menambahkan, area mangrove yang menjadi tanggung jawab KKP untuk dikelola, terlebih dahulu dicek terkait kejelasan status lahannya.

“Jika sampai ketahuan bahwa itu lahan milik masyarakat, maka harus dicek dengan benar. Kita tidak ingin ada masalah di kemudian hari,” tutur dia.

Diketahui, dari total 3,3 juta ha area mangrove yang ada di Indonesia, seluas 2.673.583 ha atau 81 persen dalam kondisi baik. Sedangkan, sisanya yang luasnya mencapai 637.624 ha kondisinya kritis dan saat ini masuk dalam program rehabilitasi nasional.

Dari total luas kawasan mangrove yang berstatus kritis tersebut, seluas 460.210 ha adalah masuk dalam kawasan hutan, dan sisanya seluas 177.414 ha adalah ada dalam luar kawasan hutan. Untuk pengelolaan kawasan kritis, saat ini ada dalam tiga instansi.

Seluas 483.194 ha atau 75,78 persen pengelolaannya ada dalam wewenang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Kemudian, seluas 89.685 ha atau 14,07 persen pengelolaannya ada di bawah wewenang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Terakhir, area mangrove yang luasnya mencapai 64.746 ha atau 10,15 persen adalah kawasan rehabilitasi yang pengelolaannya ada di bawah KKP, lembaga swadaya masyarakat (LSM), program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), dan lain-lain.

 

Exit mobile version