Mongabay.co.id

Pembangunan PLTA Masih Membayangi Sejumlah Sungai di Aceh

 

 

Provinsi Aceh memiliki sejumlah sungai yang penting bagi kehidupan masyarakat.

Berdasarkan Keputusan Presiden [Keppres] Nomor: 12 tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, di Aceh terdapat sembilan wilayah sungai yaitu: Aceh – Meureudu, Woyla – Bateue, Jambo Aye, dan Alas – Singkil yang pengelolaan berada dibawah kewenangan Pemerintah Pusat. Berikutnya, Teunom – Lambeuso, Pase – Peusangan, Tamiang – Langsa, Baru – Kluet dan Simeulue yang pengelolaannya merupakan wewenang pemerintah daerah.

Dari sembilan wilayah sungai tersebut terdapat 151 daerah aliran sungai [DAS]. Tercatat pula, tiga wilayah sungai itu masuk dalam wilayah sungai strategis nasional yaitu: Aceh – Meureudu, Woyla-Bateue, dan Jambo Aye.

Bagaimana kondisi DAS itu? Ada yang berada dalam bayang-bayang rencana pembangunan bendungan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air [PLTA] dan ada juga yang dalam kondisi rusak.

Sejumlah DAS yang dalam incaran pembangunan bendungan PLTA adalah Sungai Jambo Aye, Sungai Peusangan, Sungai Teunom, Sungai Manggamat, dan Sungai Alas-Singkil.

Foto: Indahnya Hutan Leuser dari Sungai Alas-Singkil

 

Perambahan terjadi di pinggir sungai Alas wilayah Aceh Tenggara, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dalam Rencana Usaha Penyedia Tenaga Listrik yang ditetapkan PT. Pembangkit Listrik Negara [PLN] 2013 – 2022 dinyatakan bahwa potensi proyek PLTA berdasarkan Masterplan of Hydro Power Development tahun 2011, di Aceh ada 16 potensi untuk pembangunan PLTA.

Rencana pembangunan bendungan PLTA yang cukup besar adalah PLTA Tampur yang masuk wilayah Kabupaten Gayo Lues, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. PLTA yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser ini direncanakan memiliki tinggi bendungan 193 meter, dengan kapasitas listrik mencapai 443 megawatt. Luas genangan mencapai 4.030 hektar.

Namun, rencana pembangunan PLTA Tampur yang akan menenggelamkan Desa Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues tersebut gagal. Ini dikarenakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh melakukan gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN].

Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara yang diperkuat Putusan Mahkamah Agung membatalkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPPKH] dengan Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I yang dikeluarkan Gubernur Aceh.

Rencana lainnya adalah pembangunan PLTA di Sungai Alas – Singkil atau masyarakat Kota Subulussalam menyebutnya Lae [sungai] Soraya. PLTA berkapasitas 126 megawatt tersebut berlokasi di Desa Pasir Belo, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam.

Bendungan dan PLTA tersebut direncakanan akan dibangung oleh gabungan perusahaan, yaitu PT. Atmo Daya Energi [Adein], PT. Hyundai Engineering, dan Saman Corporation. Pada 28 Juni 2019, perusahaan ini telah memaparkan rancangannya ke pejabat Satuan Kerja Pemerintah Kota [SKPK] dan Dewan Perwakilan Rakyat Kota Subulussalam.

Baca: Pembangunan PLTA Samarkilang Tidak Tercantum dalam Tata Ruang Aceh

 

Tampak dari udara kegiatan galian pasir di Sungai Alas, wilayah Aceh Tenggara, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, Muhammad Nasir, mengatakan saat ini sejumlah DAS di Aceh sedang dalam incaran investor untuk pembangunan PLTA. Padahal,  rencana membangun bendungan untuk pembangkit listrik bukanlah solusi yang baik untuk memenuhi kebutuhan listrik.

“Ini akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat yang selama ini bergantung pada sungai, tempat mereka mencari nafkah,” ujarnya, Selasa [27/7/ 2021]

Dengan membendung sungai, kondisinya akan berubah dan mempengaruhi biota yang ada serta hutan di sekitar. Nasir juga mengatakan, selama ini masyarakat yang tinggal di lokasi yang direncanakan pembangunan, tidak mendapatkan informasi terkait dampak proyek tersebut.

“Terlebih lagi, sebagian besar daerah di Aceh termasuk berisiko terjadi gempa dan berpengaruh pada bendungan,” ujarnya.

Baca: Cerita Masyarakat Lesten, Tidak Rela Desanya Ditenggelamkan Proyek PLTA Tampur 

 

Foto udara yang menunjukkan perkebunan di bantaran sungai di Aceh Utara, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kondisi sungai

Zulkifli, warga Teunom, Kabupaten Aceh Jaya mengatakan, kerusakan hulu Sungai Teunom yang masuk Wilayah Sungai Teunom – Lambeuso juga terjadi.

“Tidak hanya di Aceh Jaya, tapi hulunya di Kabupaten Pidie juga rusak. Pinggiran sungai berupa hutan berubah fungsi menjadi areal pertanian dan perkebunan.”

Dia mengatakan, selain karena perambahan, hulunya juga rusak akibat kegiatan pertambangan emas ilegal. “Pengerukan sungai bahkan menggunakan alat berat untuk mencari emas di hulu, dan yang menerima dampak adalah masyarakat,” ungkapnya.

Taufik, masyarakat Pantai Cermin, Kabupaten Aceh Barat, menuturkan hal senada. Di wilayahnya juga ada pertambangan emas ilegal.

“Air sungai menjadi keruh akibat kegitan tersebut, padahal sebagian besar masyarakat menggunakannya sebagai sumber air bersih.”

Menurut dia, pertambangan emas ilegal sudah berlangsung lama dan penertiban pernah dilakukan. “Namun, jika ada pelaku tertangkap dan alat berat disita, tidak berapa lama kegiatan itu berulang lagi.”

Baca juga: Jangan Lagi Sebut Ganja di Desa Agusen

 

DAS Jambo Aye yang alirannya mencakup Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Timur, dan Aceh Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Suhaimi Hamid, dari Forum DAS Krueng Peusangan mengatakan, luas DAS Krueng Peusangan mencapai 238.550 hektar. Panjang sungai utamanya, dari pinggir laut Bireuen hingga ke Danau Lut Tawar mencapai 128 kilometer.

“Sungai-sungai yang bermuara ke Krueng Peusangan sekitar 107 sungai yang terdiri 12 sub DAS. Ada Krueng Peusangan Hilir, Ulee Gle, Teupin Mane, Krueng Keueh, Krueng Simpo, Wih Genengan, Timang Gajah, Wih Bruksah, Bawang Gajah, Wih Balek, Krueng Ceulala, dan Laut Tawar,” ujarnya.

Saat ini, papar dia, DAS Krueng Peusangan rusak, bahkan masuk kategori kritis satu nasional. Hal ini disebabkan adanya galian C, perambahan untuk perkebunan, dan pembalakan liar.

“Hutan di DAS Krueng Peusangan begitu cepat beralih fungsi. Setelah kayunya ditebang serampangan, tak berselang lama ada yang membersihkan untuk dijadikan kebun. Ada kebun sawit, kopi, kakao, pinang, dan lainnya. Galian C tanpa izin juga turut membuat sungai rusak, terjadi erosi,” ujarnya.

Berdasarkan SK Menhut No.170 Tahun 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, sekitar 167.443 hektar atau 65% dari luasan kawasan DAS Peusangan merupakan Kawasan Budidaya atau areal penggunaan lain.

Sebanyak 47.816 hektar [18%] merupakan hutan lindung; 24.383 hektar [9,5%] hutan produksi; sisanya berupa kawasan hutan produksi terbatas, suaka alam dan perairan.

 

 

Exit mobile version