Mongabay.co.id

Putusan Pengadilan Keluar, Bagaimana Kesepakatan Baru Masyarakat Adat Pantai Raja dan PTPN V?

Hakim, kuasa hukum dari warga adat Pantai Raja dan kuasa hukum PTPN V, beserta menuju lokasi sidang lapangan di Kampar. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pengadilan Negeri Bangkinang memutuskan, Masyarakat Adat Pantai Raja tak punya alas hak dan mereka menduduki lahan hak guna usaha PT Perkebunan Nusantara V, 21 Juli lalu. Malah, hakim membebankan masyarakat adat ini untuk membayar biaya perkaya Rp14 juta lebih. Dalam proses, sebelum putusan pengadilan ini, sudah ada kesepakatan baru antara Masyarakat Adat Pantai Raja dan PTPN V.

Hari itu, setelah hakim meninggalkan ruang sidang, Gusdianto, kuasa hukum masyarakat, langsung menemui ratusan perempuan adat Pantai Raja yang menunggu di teras belakang pengadilan. Tanpa bertele-tele, dia langsung menyampaikan putusan majelis atas gugatan PTPN V terhadap mereka.

“Intinya, kita kalah,” katanya.

Beberapa menit sebelum itu, majelis baru saja menolak seluruh eksepsi 11 dari 14 warga— tiga orang lain sejak awal mundur dan mau berdamai. Sebaliknya, hakim menerima sebagian gugatan PTPN V, dan menyatakan, masyarakat terbukti melawan hukum karena menduduki lahan HGU sah PTPN V.

Sedang berita acara kesepakatan antara Masyarakat Pantai Raja dengan Direksi PTPN V pada 6 April 1999, bukan alas hak masyarakat maupun pihak lain.

Warga yang digugat atau yang diwakili, tidak terbukti memiliki lahan di atas areal HGU PTPN V hingga mereka harus bayar biaya perkara atas persidangan Rp14,6 juta. Jumlah ini merupakan biaya materai Rp10.000, redaksi Rp10.000, proses Rp50.000, PNBP Rp160.000, panggilan Rp12.097.000, pemeriksaan setempat Rp2.300.000 dan pendaftaran Rp30.000.

Sedangkan beberapa gugatan PTPN V yang ditolak, antara lain, tuntutan agar masyarakat bayar kerugian setelah memblokir jalan, menduduki kebun dan menghalang-halangi aktivitas PTPN V Rp14,5 miliar termasuk sita jaminan.

Alasan majelis, PTPN V tidak merincikan dengan jelas kerugian yang diderita dan selama persidangan majelis juga tidak melakukan penyitaan apapun terhadap masyarakat.

Terkait permintaan agar masyarakat mengosongkan areal dan bila perlu minta bantuan aparat keamanan dengan membebankan biaya pada masyarakat, majelis nyatakan, saat pemeriksaan lapangan, mereka tak melihat lagi aksi pendudukan dan penguasaan areal di HGU PTPN V.

“Pada pokoknya, hampir seluruh gugatan PTPN V dikabulkan. Bahasa sederhananya, awak (kita) dikalahkan. Masih ada upaya hukum banding,” terang Gusdianto, termasuk salah satu yang digugat.

Gusdianto meyakinkan perempuan adat tidak berkecil hati tetapi tetap bersyukur, sembari memohon pada sang pencipta, kelak hakim banding beri putusan dengan hati nurani. Keadilan yang mereka nantikan itu dirasa sangat mahal di tengah segala keterbatasan. “Yang jelas kita akan tetap berjuang,” teriak seorang perempuan.

Antusias para perempuan adat ini terlihat sejak persidangan memasuki agenda pemeriksaan saksi. Dua dari mereka ikut beri keterangan di muka majelis. Solidaritas itu makin terjalin ketika perkara perdata gugatan melawan hukum ini memasuki babak akhir. Bahkan, ketika putusan batal dibacakan–seminggu sebelumnya– tidak menyurutkan semangat mereka datang.

 

Baca juga: Kala DPRD Riau Bahas Kasus Lahan Masyarakat Pantai Raja

Perempuan Adat Pantai Raja, ikut menghadiri proses sidang pengadilan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Kesepakatan baru

Sekitar sebulan sebelum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bangkinang baca putusan konflik antara Masyarakat Adat Pantai Raja dan PTPN V, kesepakatan baru penyelesaian sengketa lahan antara kedua belah pihak ditandangani di DPRD Riau.

Rapat dengar pendapat (RDP) lanjutan yang digelar Komisi II DPRD Riau, dihadiri ratusan warga Pantai Raja didominasi perempuan. Jumlah ini bahkan lebih banyak dibanding pertemuan pertama.

Pada 24 Juni itu, mereka hendak menyaksikan langsung keputusan mengenai nasib lahan mereka yang dirampas hampir 40 tahun lalu. RDP kali ini menetapkan langsung butir-butir perjanjian untuk masing-masing pihak yang bersengketa.

Hasilnya, Pemerintah Kampar diperintahkan mencari atau menyediakan lahan seluas 400 hektar di Kampar. Lahan ini dapat berasal dari pelepasan kawasan hutan pada kelompok hutan Sungai Kampar Kanan-Kampar Kiri, dengan mengurangi luas lahan yang diusahakan baik inti maupun plasma. PTPN V, Pemkab Kampar dan Pemerintah Riau harus mencari data realisasi sisa penggunaan lahan dari PTPN V. Atau lahan lain di Kampar dalam jangka waktu tidak terlalu lama, atau paling lambat satu tahun.

Kemudian, PTPN V bersedia membangun perkebunan sawit dengan pola kredit koperasi primer anggota (KKPA) pada lahan seluas 150 hektar, sepanjang ada ketersediaan lahan sesuai secara aspek teknis, legal serta kesediaan pendanaan dari perbankan.

Sedangkan 250 hektar lagi, harus dimohonkan kembali oleh masyarakat terlebih dahulu ke PTPN V, kemudian diteruskan ke pemegang saham kalau lahan tersedia.

Kesepakatan ini beda tipis dengan hasil mediasi yang difasilitasi Komnas HAM di Kantor Bupati Kampar, 11 April 2019. Solusinya, masih berkutat pada pembangunan kebun sawit lewat pola KKPA. Bedanya, dalam kesepakatan ini, tidak menetapkan areal 400 hektar yang akan jadi kebun sawit KKPA. Yang mencari lahan, PTPN V bersama Masyarakat Pantai Raja dengan persetujuan direksi dan jangka waktu hanya sembilan bulan.

Gusdianto, juru bicara Masyarakat Adat Pantai Raja, mengatakan, masyarakat menginginkan PTPN V mengembalikan 150 hektar lahan dalam HGU berdasarkan kesepakatan 1999. Mereka menolak pola KKPA karena masyarakat tak ingin berutang.

Sugianto, anggota Komisi II DPRD Riau, menolak tuntutan itu. Dia takut semua warga Riau datang ke mereka meminta lahan.

Ketua Komisi II, sekaligus pimpinan rapat Robin P Hutagalung, juga tak beri tanggapan apapun atas permintaan itu.

Dalam rapat itu, posisi masyarakat, kata Gusdianto, tidak memiliki kekuatan apapun untuk beri usulan. Termasuk, meminta PTPN V mencabut laporan ke Polda Riau terhadap belasan warga adat Pantai Raja.

Lobi-lobi untuk menyepakati luas lahan yang dikehendaki masyarakat pun masih sukar diterima PTPN V. Padahal, masyarakat sudah sedikit menurunkan tuntutan dengan lapang dada menerima kerjasama pengelolaan kebun sawit KKPA. Masyarakat mau terima 400 hektar sekaligus, sementara PTPN V hanya mau membangun 150 hektar terlebih dahulu. Sisanya, harus pakai persetujuan pemegang saham atau direksi terlebih dahulu.

 

Baca juga: Konflik Lahan Masyarakat Adat Pantai Raja vs PTPN V Tak Kunjung Usai

Lahan PTPN V yang bersengketa dengan warga adat Pantai Raja. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Gusdianto tidak begitu yakin kesepakatan itu berjalan. Setelah pertemuan di DPRD Riau berakhir, sampai saat ini, tidak ada tindak lanjut. Aroma pesimis itu makin tercium ketika Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Riau Jenri Salmon Ginting mengundang kedua pihak, empat hari pasca pertemuan di DPRD Riau.

Berdasarkan notulen rapat yang diperoleh Mongabay, pertemuan itu menyoal beberapa hal teknis menindaklanjuti hasil kesepakatan di DPRD Riau.

Ahmad Yuzar, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Kampar, meminta mereka tidak dibebankan untuk mencari lahan. Saat ini, mereka juga menyelesaikan tujuh masalah serupa hingga tak memungkinkan terpenuhi karena berbagai persyaratan terlebih tidak ada ketersediaan lahan.

Ahmad beri masukan, supaya PTPN V memberikan saja lahan 150 hektar dari konsesi HGU. Sisa, 250 hektar dicari bersama-sama, tidak menunggu dari Pemkab Kampar semata. Lokasinya juga terbuka di kabupaten lain, tidak mesti di Kampar. Bila itu disetujui, soal pembiayaan akan dibahas di kemudian hari.

“Kami ingin agar PTPN V dapat bersimbiosis dengan masyarakat secara mutualisme hingga perusahaan dan masyarakat dapat menjalankan usaha dan kehidupan sosial dengan baik,” katanya dikutip dari notulen rapat.

Usulan terakhir dari Ahmad dikhawatirkan Ardesianto, utusan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau. Dia takut, hal itu justru menimbulkan masalah baru terutama dengan masyarakat sekitar wilayah.

Zulfadli, Kepala Dinas Perkebunan Riau, menyarankan, masyarakat berunding dengan PTPN V supaya perusahaan negara itu rela menyedekahkan sedikit lahan. Meski, PTPN V telah memenuhi kewajiban Permentan membangun kebun masyarakat 20% dari luas kelola. Dia juga setuju opsi pembelian lahan di luar areal itu.

Andiansyah, Kepala Bagian Hukum PTPN V menganjurkan, supaya tak bingung tetap mengikuti kesepakatan terakhir dari hasil mediasi Komisi II DPRD Riau. Saat ini, mereka fokus persiapan membangun 150 hektar kebun sawit KKPA yang disetujui direksi. Bila ini selesai, barulah akan beranjak memenuhi sisa 250 hektar lagi.

Mengenai lokasi lahan, sebenarnya sudah ditetapkan dalam berita acara produk Komisi II DPRD Riau. Ia akan ditinjau dari izin pelepasan kawasan hutan PTPN V yang belum dikelola. Rupanya, poin kesepakatan ini masih jadi keberatan Kepala Kanwil BPN Riau dan Kepala BPN Kampar. Sebab, untuk mengukur sisa pelepasan kawasan hutan PTPN V sekitar 12.000 hektar butuh biaya sekitar Rp2 miliar. Mereka juga menerka, areal itu telah dikuasai pihak lain.

“Siapa yang tanggung biayanya? Saya kira solusi terbaik dan efisien adalah, kita cari saja lahan yang dijual. Tinggal proses membelinya saja kita diskusikan,” kata Kepala BPN Kampar Sutrilwan.

Kesimpulan dari ruang melati Kantor Gubernur Riau itu hanya menegaskan: PTPN V akan membangun 150 hektar kebun sawit KKPA. Sedangkan 250 hektar lagi baru akan dikerjakan bila tahap pertama selesai.

Pemerintah Kampar tetap memposisikan diri sebagai fasilitator bukan berperan mencari lahan. Karena itu, dibentuk tim yang beranggotakan empat orang untuk saling berkoordinasi. Masing-masing dari Pemkab Kampar, PTPN V serta dua orang dari warga Pantai Raja.

 

Baca juga: Kasus Lahan dengan PTPN V, Masyarakat Adat Pantai Raja Menanti Keadilan

Warga adat Pantai Raja, usai hadiri persidangan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Harapan baru?

Masyarakat Adat Pantai Raja terus mencari jalan mendapatkan kejelasan lahan. Mereka mengadu ke Kantor Staf Presiden (KSP). KSP pengaduan masyarakat.

Meski sempat tertunda, pembahasan konflik agraria ini terlaksana lewat pranala zoom meeting, 13 Juli lalu. Rapat ini dipimpin Staf Deputi II Bidang Pembangunan, Sahat M Lumbanraja. Diikuti Staf Deputi II Bidang Komunikasi, Surahmat.

Gusdianto langsung memaparkan masalah lahan yang mereka hadapi. Mulai dari rangkaian konflik, beberapa perjanjian yang pernah disepakati sampai proses hukum yang mereka jalani.

Gusdianto memohon dua hal: PTPN V kembalikan 150 hektar lahan HGU PTPN V yang pernah diakui Direktur Produksi SN Situmorang, 11 April 1999. Atau, masyarakat terima pembangunan kebun sawit skema KKPA seluas 400 hektar asal lokasi tetap dalam HGU PTPN V.

Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari yang ikut mendampingi masyarakat, menawarkan siap bantu memenuhi fakta-fakta di lapangan. Seperti penyediaan peta tumpang tindih batas-batas alam dengan HGU PTPN V atas tanah ulayat Masyarakat Adat Pantai Raja. “Masalah ini bisa diselesaikan lewat program tanah obyek reforma agraria (TORA),” usul Okto.

Sahat mengerti tuntutan masyarakat. Meskipun begitu, dia tak berjanji keinginan terpenuhi. KSP, katanya, akan terus memfasilitasi penyelesaian masalah ini.

Ali Amran, datuk atau ninik mamak berharap, hak mereka segera dikembalikan. “Dari awal sengketa sampai sekarang, masyarakat sungguh tak berdaya.”

 

*****

Foto utama: Hakim, kuasa hukum dari warga adat Pantai Raja dan kuasa hukum PTPN V, beserta menuju lokasi sidang lapangan di Kampar. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version