Mongabay.co.id

Kala Abrasi Kikis Pesisir Pantai Ulakan Tapakis

Pantai Ulakan, terus lamai abradi. Warga dan nelayan pun terdampak. Pengunjung pantai, yang dulu ramai, kini sepi. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

Pantai Ulakan, terus lamai abradi. Warga dan nelayan pun terdampak. Pengunjung pantai, yang dulu ramai, kini sepi. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Rumah dan kedai nasi sampai jalan di pesisir Pantai Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, perlahan hilang terkena abrasi. Di pesisir pantai ini juga ada cagar budaya makam Syekh Burhanudin yang jadi wisata religi. Kini, Pemerintah Padang Pariaman, membenahi cagar budaya ini. Abrasi parah menyebabkan pengunjung ke Pantai Ulakan Tapakis, pun makin sepi.

Warga yang tinggal di sekitar pantai pun terpaksa pindah. Yul, warga Ulakan, punya rumah dan kedai di dekat pantai. Awalnya, ini jadi kemewahan, tetapi itu tak berlangsung lama. Abrasi menggerus rumah dan kedai nasinya.

Sekitar 2019, Yul harus pindah dari rumahnya di pinggir pantai. Dia tak ingat betul bulan dan tanggal. Waktu itu, masih pagi sekali dan sedang bersiap untuk pergi mengajar di sekolah dasar negeri.

Tiba-tiba terdengar suara beranda rumah runtuh. Dia mengira itu gempa, ternyata hantaman ombak. Abrasi beberapa tahun belakangan memakan bibir pantai dan membuat air dan rumah makin dekat.

Yul punya kedai nasi di sebelah rumahnya. Bagian depan kedai nasi ikut runtuh karena abrasi. Sejak itu, kedai Nasi Yul mulai sepi. Pekerja berkurang.

Dia beruntung karena guru di Sekolah Dasar Negeri 02 Ulakan Tapakis, mendapat jatah rumah untuk guru di lingkungan sekolah. Yul pindah ke perumahan guru itu.

Keputusan dia pindah disertai trauma yang sulit hilang. Tiga anaknya ketakutan. Saat masih tinggal di rumah yang abrasi itu, bayangan ombak akan menyapu rumah terus menempel di pikiran mereka.

Kedai nasi Yul pun pindah dekat batu grip yang tersusun menjadi pemecah ombak sekitar 100 meter ke arah laut dari bibir pantai.

Pemerintah telah membangun beberapa pemecah ombak di pantai itu.

“Kedai nasi di Pantai Ulakan ini tinggal dua. Satu jarang buka dan punya saya buka setiap hari. Dari pukul 8.00 pagi sampai pukul 6.00 sore,” katanya.

 

Baca juga : Mencari Solusi Selamatkan Pulau Bengkalis dari Abrasi

Kedai nasi Yul di tempat baru. Kedai lama sudah terkena abrasi. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Tetangga Yul, Supik, lebih parah. Rumah roboh, tinggal pondasi. Dia tak lagi punya tempat tinggal dan mengontrak di bedeng milik warga di balai–sebutan untuk Pasar Ulakan tak jauh dari pantai.

Selain kehilangan rumah, ekonomi nelayan juga terdampak. Jalan yang biasa dilalui kendaraan ke pantai kini hilang. Hanya motor bisa lewat jalan kecil sepanjang pantai.

Sejak abrasi, perekonomian warga macet. Pengunjung pantai tak lagi ramai, fasilitas jalan tak ada karena jalan yang dulu dilewati mobil hilang terkikis abrasi.

Mailih, nelayan Ulakan, mengatakan, kondisi laut terus berubah. Badai makin sering terjadi hingga nelayan sulit melaut. “Sekitar satu kilometer dua atau tiga jam lalu pulang. Ada pula yang semalaman,” katanya.

Pada Mei lalu, kata Mailih, sangat terasa tangkapan kurang dan pendapatan otomatis tidak ada.

“Kadang memang ada masa kemarau ikan istilahnya. Jadi, ada sekitar dua atau tiga bulan ikan sulit,” katanya.

 

Baca juga : Pesisir Okaba Alami Abrasi Parah

Rumah yang roboh tinggl pondasi, karena abrasi di pesisir Pantai Ulakan. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

Harus komprehensif

Pemerintah Padang Pariaman, membenahi cagar budaya makam Syekh Burhanudin, yang berada di pesisir Pantai Ulakan.

Tommy Adam, Kepala Departemen Kajian Advokasi Walhi Sumatera Barat mengatakan, dalam pembangunan tempat wisata, terlebih di daerah pesisir, perlu ada kajian komprehensif.

“Dalam peta bencana, Pesisir Sumatera Barat, masuk abrasi sedang hingga tinggi. Terlebih pembangunan wisata di pesisir Sumbar belum mengacu pada aspek daya dukung lingkungan,” katanya.

Dalam pembenahan cagar budaya, telah menggusur beberapa rumah/kedai nasi warga. Seharusnya, kata Tommy, pembangunan tak menyingkirkan masyarakat yang hidup di sekitar.

“Malah diajarkan cara beradaptasi seperti, misal, pembangunan rumah panggung atau penyediaan tempat tinggal baru kalau memang tidak memungkinkan tinggal,” katanya.

Soal pengurangan risiko bencana, katanya, daerah-daerah dalam peta bahaya teridentifikasi antara lain terkena abrasi. Daerah seperti ini, harusnya jadi tempat konservasi, bukan budidaya.

Kartini, salah satu yang kehilangan rumah karena rencana pembenahan cagar budaya di pesisir Pantai Ulakan itu. Rumahnya tergusur tanpa sempat mengeluarkan isi dan belum ada ganti rugi hingga kini.

Dia baru pasang keramik di rumah peninggalan orang tuanya itu. Dia bangun rumah itu dari berdagang keliling, dari Bengkulu, Pekanbaru sampai Jakarta.

“Katanya mau ganti uang Rp15 juta, kami tidak mau. Kabarnya terakhir mau mengganti membangunkan rumah, kami tunggu saja,” katanya.

Dia mengatakan, penggusuran itu sangat tak manusiawi. Kartini mengatakan, diperlakukan seperti binatang. Rumah dihancurkan tanpa sempat mengeluarkan barang-barang yang ada. Beberapa lemari yang sudah patah dia ambil dan bawa ke rumah barunya sekarang yang belum siap. Rumah cukup besar tetapi dengan teralis jendela terpasang sekadarnya. Jendela baru terpasang dengan seng.

Penggusuran rumah Kartini ini menambah orang-orang Ulakan Tapakis, yang kehilangan rumah, kedai dan penderitaan ekonomi. Rumah-rumah mereka hilang bukan karena tergusur, melainkan abrasi.

 

 

******

Foto utama: Pantai Ulakan, terus lamai abradi. Warga dan nelayan pun terdampak. Pengunjung pantai, yang dulu ramai, kini sepi. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version