Mongabay.co.id

Mencermati Penyebaran COVID-19 pada Satwa Liar maupun Hewan Peliharaan

Harimau Sumatera, salah satu target buruan para pedagang satwa liar ilegal. Indonesia perlu meningkatkan database dan kemampuan kajian biologi molekuler untuk membantu proses penyelidikan kejahatan terhadap satwa liar. Foto: Rhett A. Butler

 

 

Beberapa hari lalu, tersebar berita dua harimau sumatera di Taman Margasatwa Ragunan [TMR], Jakarta, bernama Tino dan Hari terkonfirmasi positif COVID-19. Dokter hewan yang menanganinya, Endah Rumiyati, menjelaskan Tino dan Hari kemungkinan terpapar oleh perawat mereka yang mungkin saja lebih dulu terpapar COVID, seperti dikutip dari Kompas.com.

Kejadian satwa terpapar COVID-19 tentu bukan hal baru. Sejak awal wabah menyebar, sudah ada laporan hewan yang terinfeksi. Menurut CDC [Centers for Disease Control and Prevention – Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit], lembaga kesehatan masyarakat nasional Amerika Serikat, sebagian besar hewan terinfeksi setelah kontak dengan penyintas COVID. Dan yang paling rentan, adalah hewan-hewan rumahan seperti kucing dan anjing.

Terdapat cukup banyak laporan tentangl kucing dan anjing peliharaan yang dilaporkan terinfeksi virus berbahaya ini. Beberapa hewan di kebun binatang dan cagar alam juga telah dilaporkan tertular, termasuk kucing-kucing besar [singa, harimau, puma, macan tutul salju] dan gorilla, setelah sebelumnya menunjukkan tanda-tanda sakit. Diduga hewan-hewan tersebut sakit karena terpapar staf pengasuhnya yang memang terjangkit. Menurut CDC, hal ini dapat terjadi meskipun staf mengenakan alat pelindung diri dan mengikuti tindakan pencegahan [prokes].

Baca: Virus Menular ASF, Ancaman Serius Populasi Satwa Liar Dilindungi

 

Harimau sumatera. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Awal Juli 2021, Utrecht University di Belanda melakukan studi tentang hal ini, dan melakukan test swab terhadap 310 hewan peliharaan di 196 rumah yang dipilih secara acak. Sebanyak 67 hewan ternyata positif terpapar COVID-19.

“Jika terpapar, Anda harus menghindari kontak dengan kucing atau anjing Anda, seperti yang Anda lakukan pada orang lain,” kata Dr. Els Broens, dari Universitas Utrecht, yang memimpin studi tersebut.

“Perhatian utama bukan saja tentang kesehatan hewan tersebut, tetapi potensi risiko bahwa hewan peliharaan dapat bertindak sebagai reservoir virus dan menularkannya kembali ke populasi manusia.”

Penulis penelitian mengatakan belum ada bukti penularan dari hewan ke pemilik yang tercatat hingga saat ini. Namun, akan sulit dideteksi saat virus masih menyebar dengan mudah di antara manusia.

 

 

Sebelumnya, pada Maret 2020, tim peneliti dari Harbin Veterinary Research Institute di China, menemukan bahwa kucing sangat rentan terhadap COVID dan berpotensi menularkan virus melalui pernapasan ke kucing lain. Temuan ini memperkuat laporan sebelumnya, tentang kucing peliharaan di Belgia yang terinfeksi COVID-19.

Sekitar seminggu setelah pemilik kucing mulai menunjukkan gejala, kucing tersebut juga mengalami kesulitan bernapas, diare dan muntah. Tes selanjutnya yang dilakukan dokter hewan di University of Liège menunjukkan bahwa hewan tersebut terinfeksi virus corona.

Sebuah studi terpisah yang dilakukan oleh University of Guelph di Ontario, Kanada, menemukan kucing yang tidur di tempat tidur pemiliknya yang terpapar COVID-19 beresiko terpapar juga. Penelitian mereka menemukan bahwa 67%  kucing dan 43% anjing yang diteliti dinyatakan positif. Kucing juga lebih cenderung tidur dekat wajah pemiliknya daripada anjing, sehingga meningkatkan paparan mereka terhadap infeksi apapun.

Baca: COVID-19 dan Hukum Lingkungan Era Antroposen

 

Cerpelai yang terkonfirmasi tertular COVID-19 juga di Utah, Amerika. Foto: Sven Zacek/NPL via Nature

 

Pada April 2020, Kebun Binatang Bronx di New York mengkonfirmasi bahwa beberapa satwa di kebun binatang tersebut terpapar, yakni 5 harimau dan 3 singa. Salah satu yang menarik perhatian publik Amerika adalah saat harimau betina bernama Nadia, seekor harimau Malaya yang terpapar pada 5 April 2020. Kucing besar tersebut kemungkinan tertular dari penjaga kebun binatang yang terinfeksi, tetapi tidak menunjukkan gejala yang identitasnya tidak diketahui.

Tak hanya hewan peliharaan, satwa liar juga tak terkecuali. Pada Desember 2020, seekor cerpelai liar di Utah, AS, adalah hewan liar pertama yang ditemukan terinfeksi virus corona baru. Sebuah laporan yang diterbitkan pada 13 Desember 2020 oleh para peneliti di Departemen Pertanian AS, menyatakan bahwa hewan tersebut tertular infeksi dari hewan-hewan cerpelai yang dibudidayakan.

Kejadian itu sebenarnya cukup mengkhawatirkan. Namun, para ahli tidak terlalu khawatir tentang wabah virus pada hewan peliharaan dan hewan ternak karena ledakan kasusnya dapat dikendalikan melalui karantina, vaksinasi, atau bahkan pemusnahan. Namun, jika virus menyebar pada hewan liar, akan jauh lebih sulit untuk dikendalikan.

Lebih dari setahun terakhir, para ilmuwan telah mencoba memastikan seberapa kredibel dan serius risiko menyebarkan COVID pada hewan-hewan, baik peliharaan maupun liar. Upaya global juga sedang dilakukan untuk mensurvei kasus-kasus pada satwa liar dan mengindentikasi sebarannya sesegera mungkin. Para peneliti sedang menguji hewan dari rumah, kebun binatang, tempat penampungan, klinik hewan, peternakan, dan sekitarnya.

Jika ada kasus positif yang terdeteksi, pemerintah negara bersangkutan harus segera memberi tahu Organisasi Kesehatan Hewan Dunia [OIE], yang berbasis di Paris. Para ilmuwan telah menggunakan model komputasi dan mempelajari sel dan seluruh hewan untuk mengidentifikasi spesies yang paling rentan terinfeksi.

“Hasilnya, dalam satu tahun saja, para ilmuwan telah mengumpulka data tentang kerentanan berbagai spesies yang berbeda, sebanyak yang dikumpulkan selama 50 tahun terakhir,” kata Martin Beer, seorang ahli virologi di Federal Research Institute for Animal Health [Institut Penelitian Federal untuk Kesehatan Hewan] di Greifswald, Jerman.

Infeksi hewan jarang terjadi, dan beberapa peneliti juga diyakinkan oleh data yang dikumpulkan sejauh ini. Tetapi, COVID-19 ini terbukti menginfeksi berbagai spesies hewan. Fakta ini, dikombinasikan dengan banyaknya orang yang terinfeksi virus tersebut saat ini, berarti bahwa pada prinsipnya, virus memiliki jutaan peluang untuk berpindah dari manusia ke hewan.

Baca juga: Nasib Primata di Tengah Pandemi COVID-19

 

 

Pada akhir 2020, virus corona telah menjangkiti 70 peternakan cerpelai di Belanda,  Denmark, Yunani, Kanada, dan Amerika Serikat. Virus menjalar sangat cepat. Hewan yang rentan terhadap infeksi berkumpul bersama dalam satu tempat, dan secara teratur melakukan kontak langsung dengan peternak yang terinfeksi.

Anette Boklund, ahli epidemiologi di Universitas Kopenhagen, menyatakan di satu peternakan di Denmark, misalnya, sekitar 97% cerpelai yang diuji ternyata positif terjangkit virus, melonjak dari 6% hanya 8 hari sebelumnya, kata

Marion Koopmans, yang mempelajari virologi di Pusat Medis Universitas Erasmus di Rotterdam, Belanda, mengatakan dia tidak terkejut bahwa cerpelai liar telah tertular virus, mengingat tingginya tingkat kontaminasi yang diamati di sekitar peternakan Belanda yang terkena dampak, dan cerpelai terkadang melarikan diri dari peternakan dan hidup di alam liar. Lebih dari selusin cerpelai – ditangkap di alam liar tetapi mungkin melarikan diri dari peternakan dengan wabah aktif -telah dites positif di Amerika Serikat dan Belanda.

Sejauh ini, cerpelai yang ditangkap di Utah adalah satu-satunya hewan liar yang dinyatakan positif, tetapi beberapa konsorsium penelitian nasional dan regional terus mensurvei hewan liar di dekat peternakan cerpelai untuk mencari bukti infeksi. Beberapa negara telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah penyebaran.

 

Gambaran hewan yang dilaporkan terpapar COVID-19. Ilustrasi: David Parkins via Nature

 

Kisah cerpelai dan COVID,  telah mengkonfirmasi ketakutan awal para peneliti bahwa virus dapat menemukan rumah baru pada hewan dengan cara yang sulit diprediksi dan dikendalikan, dan kemudian dapat melompat kembali, menular ke manusia. Meski begitu, masih belum diketahui apakah virus dapat menyebar secara efisien di antara populasi liar, menurut Koopmans, yang memantau cerpelai liar di Belanda.

Meski begitu, perlu waktu untuk bisa mencari jalan keluar akan hal ini. Studi satwa liar sulit dilakukan, dan infeksi hewan belum menjadi prioritas bagi sebagian besar komunitas penelitian di dunia.

Cerpelai liar yang dites positif di Utah, “Bisa jadi hanya puncak gunung es,” kata Sarah Hamer, ahli epidemiologi dan dokter hewan di Texas A&M University di College Station dilansir dari Nature.

“Semakin kita mencari, semakin banyak kasus yang mungkin kita temukan,” jelasnya. [Berbagai sumber]

 

 

Exit mobile version