- Virus African Swine Fever [ASF] atau virus babi afrika terkonfirmasi masuk Indonesia pada Desember 2019. Sebelumnya, virus ini terdeteksi di Vietnam pada Februari 2019, lalu menyebar ke Kamboja, Laos, Philipina, Myanmar, Timor Leste, kemudian Indonesia.
- Virus ASF sudah ditemukan pada babi celeng [Sus scrofa], yang merupakan nenek moyang babi liar. Hal ini tentu akan mengancam populasi satwa liar dilindungi, seperti babirusa di Sulawesi, babi kutil di Jawa, hingga harimau sumatera.
- Satu cara efektif mengatasinya adalah, melibatkan medis konservasi untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut, sekaligus memastikan kesehatan satwa liar dan lingkungannya.
- Virus ASF tidak berbahaya bagi manusia dan bukan masalah kesehatan masyarakat. Bukan penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia [zoonosis].
Setahun lebih virus African Swine Fever [ASF] atau virus babi afrika masuk ke Indonesia.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK, Indra Eksploitasia mengatakan, ASF sudah ditemukan pada babi celeng [Sus scrofa], yang merupakan nenek moyang babi liar. Hal ini tentu akan mengancam populasi satwa liar dilindungi, seperti babirusa di Sulawesi, dan harimau sumatera.
“Ini harus jadi alarm, kita harus melakukan intervensi,” terangnya dalam webinar HarimauKita bertajuk The Invisible Threats, Rabu [28/7/2021].
Salah satu cara mengatasinya adalah, melibatkan medis konservasi untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut, juga memastikan kesehatan satwa dan lingkungannya.
Indra menjelaskan, beberapa balai besar taman nasinal sudah melaporkan kematian babi liar, yaitu Taman Nasional [TN] Batang Gadis, TN Bukit Tigapuluh, TN Sembilang, TN Way Kambas, serta di wilayah Pasaman, Semendo-Muara Enim, Banyuasin, hingga Tebo Jambi.
“Laporan terbaru terjadi di TN Kayan Mentarang, Kalimantan Utara.”
Baca: Babi Hutan di Asia Tenggara Kini Menghadapi Wabah Demam Babi Afrika yang Mematikan
Dengan demikian, Indra meminta kolaborasi multidisiplin untuk memastikan upaya konservasi satwa yang terancam tersebut. “Pengendalian penyakit menular, baik disebabkan virus pada satwa yang dilindungi dan hewan buruannya sangat penting.”
Apalagi saat ini terindentifikasi 10 penyakit yang dapat menyerang satwa liar dilindungi. Jenisnya adalah canine distemper virus, feline calicivirus virus, feline leukemia virus, feline infectious peritonitis virus, feline herpes virus, feline panleukopenia virus, feline immunodeficiency virus, rhinotracheitis virus, rabies, serta tick bite fever, parasites and tuberculosis.
“Sehingga penting untuk melakukan medis konservasi, baik di in situ maupun ex situ berbasis surveillance,” tuturnya.
Dia juga menegaskan, agar mewaspadai juga penyakit yang dapat timbul dari kegiatan domestifikasi, akibat makin seringnya persinggungan manusia dengan habitat satwa liar.
“Contohnya, canine distemper virus, yang sudah dilaporkan beberapa negara terkait terpaparnya harimau.”
Kuncinya, kata Indra, adalah melakukan pengendalian dengan pengamatan, baik di habitat tanpa mengganggu individu satwa, maupun saat rehabilitasi setelah konflik.
“Harapannya, kita bisa mengendalikan penyebaran penyakit di konservasi, yang bukan hanya harimau, tapi juga semua spesies. Sehingga, tujuan konservasi dapat tercapai dengan baik.”
Baca: Tidak Hanya di Sulawesi, Babirusa Ditemukan juga di Pulau Ini
Bahaya virus menular
Dalam webinar yang sama, ahli epidemiologi Cornell University Amerika Serikat, Martin Gilbert, yang terlibat penelitian CDV [Canine Distemper Virus] pada harimau sumatera dengan Taman Safari Indonesia dan Intitut Pertanian Bogor, menyatakan bahwa penyakit menular merupakan hal penting untuk dikendalikan pada harimau sumatera. Juga, pada satwa liar yang menjadi target buru harimau.
“Kasus pertama yang saya identifikasi sebagai paparan CDV adalah harimau betina Morka di perbatasan Rusia dan China pada November 2003. Morka mati dalam waktu enam minggu,” katanya.
Martin dan sejumlah peneliti akhirnya menyakini penurunan populasi harimau di Rusia akibat penyakit tersebut. CDV juga dilaporkan mengancam populasi serigala ethiopia, rubah pulau, dan satwa di Taman Nasional Gir, pada 2019 dan 2020.
“Sangat penting memastikan CDV dan penyakit menular lainnya supaya terkendali. Sebab secara data menunjukkan pengaruh besar pada populasi karena tingkat kematian yang tinggi.”
Sementara, penyakit menular yang telah masuk Indonesia, ASF, adalah penyakit babi yang sangat menular dan dapat menyebabkan kematian sangat cepat. Virus ASF hidup di lingkungan dan relatif tahan terhadap disinfektan.
Baca juga: Global Tiger Day: Pendekatan Bentang Alam untuk Kehidupan Harimau Sumatera Perlu Dilakukan
Menukil situs Kementerian Pertanian [Pertanian.go.id], ada 16 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara yang terdampak, virus ASF. Yaitu, Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Langkat, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Medan.
Kabar baiknya, dikutip dari halodoc.com, ASF tidak berbahaya bagi manusia dan bukan masalah kesehatan masyarakat. Bukan penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia [zoonosis].
Direktur Kesehatan Hewan [Diskeswan] di Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan, Nuryani Zainuddin menuturkan, virus babi afrika terkonfirmasi masuk Indonesia sejak Desember 2019. Sebelumnya terdeteksi di Vietnam pada Februari 2019, lalu menyebar ke Kamboja, Laos, Philipina, Myanmar, Timor Leste, kemudian Indonesia.
“Pertama kali terkonfirmasi di Sumatera Utara, menyebabkan matinya 47 babi domestik.”
Nuryani juga menjelaskan cara penularan ASF yang bisa melalui langsung ataupun tidak. Penularan langsung melalui darah, sekresi dan eksresi hewan terinfeksi. Sedangkan penularan tidak langsung bisa melalui pakan, peralatan kandang, kendaraan, hingga proses vaksinasi/injeksi.
Sedangkan siklus epidemiologi pada babi hutan merupakan kombinasi dari penularan lokal, lalu menyebar ke wilayah yang lebih luas dengan kecepatan sekitar 1-2 km/bulan. Pola penyebaran bervariasi, tergantung kepadatan populasi babi, waktu introduksi ASF pada populasi babi liar.
“Tanda-tanda klinis ASF pada babi hutan hampir sama dengan babi lokal.”
Dia mengimbau semua pihak yang terkait bisa bekerja sama mengendalikan virus tersebut, demi keberlangsungan populasi satwa liar dilindungi.