Mongabay.co.id

Menanti Aksi Serius Lepas dari PLTU Batubara

Sebuah PLTU Batubara memberikan dampak menurunnya kualitas kesehatan masyarakat akibt debu mengandung logam berat dan beracun. Foto : Tommy Apriando

 

 

 

 

 

Laporan Carbon Tracker terbaru rilis beberapa waktu lalu menyebut, lima negara Asia (Tiongkok, India, Vietnam, Indonesia, dan Jepang) bertanggung jawab atas 80% dari pembangkit listrik batubara baru di dunia dan 75% dari kapasitas yang ada.

Di lima negara ini, 92% batubara akan jadi tak ekonomis. Dalam kondisi bisnis biasa (bussines as usual), kalau terus lanjut berisiko pemborosan sampai US$150 miliar.

Laporan tahunan ketiga Carbon Tracker dari seri powering down coal berjudul Do Not Revive Coal menunjukkan, batubara makin tak layak baik finansial maupun lingkungan. Juga tak lagi masuk akal sebagai pilihan bagi investor dan pemerintah.

“Energi dari batubara ini berenang melawan arus, ketika energi terbarukan menawarkan solusi yang lebih murah yang mendukung target iklim global. Investor harus menghindari proyek batubara baru, yang cenderung menghasilkan pengembalian negatif sejak awal,” kata Catharina Hillenbrand, penulis laporan ini kepada The Guardian beberapa waktu lalu.

Carbon Tracker mendesak, pemerintah di negara-negara ini membatalkan semua proyek PLTU baru kalau investor dan pembayar pajak tak ingin membuang US$150 miliar begitu saja.

Carbon Tracker juga meminta, pemerintah menggunakan stimulus pasca-COVID-19 sebagai peluang untuk meletakkan dasar bagi sistem energi berkelanjutan. Juga mengaktifkan desain pasar dengan level playing field yang memungkinkan pertumbuhan berkelanjutan dari energi terbarukan dengan biaya minimal.

Dalam banyak kasus, terutama di Asia, pemerintah juga harus menahan keinginan untuk beralih dari batubara ke gas alam cair (LNG) karena tak kalah mahal.

Analisa Carbon Tracker membandingkan levelized cost of energy (LCOE) investasi baru antara energi terbarukan dan batubara. Hasilnya, LCOE energi terbarukan mengalahkan investasi pada batubara baru di semua pasar utama.

Dalam laporan disebutkan, daya saing biaya energi terbarukan versus armada operasi batubara global, terus meningkat.

Berdasarkan aturan soal polusi dan kebijakan iklim saat ini, daya saing energi baru terbarukan mengalahkan 77% dari batubara yang beroperasi. Angka ini, katanya, akan meningkat jadi 98% pada 2026 dan 99% pada 2030.

 

Baca juga: Target Karbon Netral, Indonesia Bakal Setop Bangun PLTU?

Tongkang batubara di sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur.  Batubara diangkut, antara lain buat jadi sumber energi PLTU. Foto : Kemal Jufri/Greenpeace.

 

PLTU di Indonesia

Di Indonesia, ada 24 gigawatt PLTU baru, baik dalam konstruksi maupun perencanaan. Kajian ini menemukan, 64% dari proyek ini, sekitar 15 gw, tak layak lanjut, terlebih mengingat target Indonesia dalam Kesepakatan Paris.

Alih-alih membatalkan proyek ini, pemerintah melalui beberapa beleid termasuk Undang-undang Cipta Kerja dan UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), terus memberikan peluang bagi industri batubara di Indonesia.

Irine Handika, Ahli Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) dalam diskusi beberapa waktu lalu mengatakan, pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja melegitimasi ketergantungan Indonesia pada batubara. Sekaligus menjauhkan pencapaian target bauran energi terbarukan dalam kebijakan energi nasional (KEN).

“Juga, menjauhkan Indonesia dari pencapaian komitmen global yang dituangkan dalam UU Nomor 16/2016,” katanya.

Karena ada royalti 0% atau bebas pembayaran royalti bagi industri batubara yang melakukan peningkatan nilai tambah, juga masih dibukanya pilihan membangun PLTU mulut tambang.

Peningkatan nilai tambah yang dimaksud sesuai Pasal 102 UU Cipta Kerja, yakni pembuatan briket batubara, kokas, batubara cair, gasifikasi batubara dan campuran batubara cair.

Dengan aturan ini, kata Irene, porsi batubara dalam bauran energi nasional akan meningkat dan tumpang tindih dengan target serta program adaptasi maupun mitigasi iklim.

UU Minerba juga membuat upaya masyarakat terutama sekitar tambang yang ingin menjaga lingkungan dari daya rusak tambang dan PLTU, makin berat. Grita Anindarini, peneliti Indonesia Center of Environmental Law (ICEL), mengatakan, karena bentuk partisipasi masyarakat untuk mengajukan keberatan dipersempit.

Pasal 162 UU Minerba, kerap untuk kriminalisasi warga karena dianggap menghalangi operasi pertambangan yang sudah memiliki izin.

“Pasal ini telah diubah beberapa kali dan beberapa kali uji ke Mahkamah Konstitusi,” kata Grita. Pasal ini, misal, pernah menjerat tiga warga Alasbuluh dengan vonis tiga bulan karena menolak tambang.

 

Baca juga: Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini

Pangkalan nelayan Suralaya. Nelayan terdampak dengan ada PLTU batubara. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Sisi lain, UU ini juga memberikan perpanjangan otomatis atas kontrak karya dan pemegang perjanjian kerja pengusahaan batubara (PKP2B) tanpa evaluasi berarti.

Hal lain yang menunjukkan makin minimnya ruang masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan ketenagalistrikan, katanya, terlihat pada rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN). Yang kini hanya ditetapkan pemerintah pusat dengan mengikutsertakan pemerintah daerah, sebelum itu perlu persetujuan DPR.

“Awal pembahasan RUKD sempat ditiadakan. Namun muncul kembali dalam PP No 25/2021,” kata Grita.

Dia memberikan beberapa contoh negara lain yang memberi ruang partisipasi rakyat dalam perencanaan ketenagalistrikan.

Plan Electrico, penyedia listrik di Spanyol, misal disusun pemerintah pusat, didesain dengan partisipasi pemerintah daerah dan terbuka untuk konsultasi publik, serta perlu persetujuan kongres.

Di Thailand, power development plan-nya juga terbuka untuk public hearing, disusun BUMN dan perlu persetujuan senat.

Revisi UU Minerba, katanya, memberikan insentif untuk pengembangan industri dengan jaminan tak ada perubahan pemanfaatan ruang pada wilayah izin usaha pertambangan.

Hal lain yang jadi sorotan ICEL, yakni, penerapan kewajiban tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) atau local content, terutama untuk energi terbarukan yang baru dimulai.

“Perlu diatur cermat. Jika, tidak dapat membuat proyek energi terbarukan lebih mahal.”

Sebelum ada aturan muatan lokal, katanya, perlu ada ketentuan terkait sumber pendanaan mumpuni, ketentuan terkait pembinaan dan pelatihan untuk menciptakan kesempatan dalam negeri. Juga, identifikasi segmen yang mana dalam industri domestik yang memiliki kesempatan terbaik untuk berkompetisi secara internasional.

Di Brazil, industri menggunakan frasa force majeur untuk menghindar dari kewajiban TKDN sangat ketat, karena harga domestik 70% lebih mahal dibandingkan impor. Afrika Selatan, juga kurang berhasil menerapkan TKDN karena kapasitas manufaktur dalam negeri minim.

 

Baca juga: Cerita Warga Terdampak Debu Batubara di Tengah Kebijakan Limbah FABA Tak Masuk B3 

PLTU Sorik Marapi, yang mengeluarkan gas beracun hingga beberapa orang meninggal dunia. Foto: Ayat S Karo-karo/ Mongabay Indonesia

 

 

Panas bumi

Sementara itu, Indonesia mengandalkan panas bumi sebagai tumpuan pengembangan pembangkit energi terbarukan ke depan.

Grita mengatakan, pengembangan panas bumi perlu dengan cermat, memperhatikan kerangka pengaman (safeguard) lingkungan hidup yang ketat pula.

Banyak risiko lingkungan, seperti gempa di area eksplorasi panas bumi Arjuno, PLTP Sorik Marapi yang dekat pertanian warga dan sudah menelan korban nyawa.

“Pemerintah juga memberikan izin pengembangan panas bumi di kawasan konservasi,” katanya.

UU Cipta Kerja, memberikan kemudahan berusaha untuk pemanfaatan langsung panas bumi dengan ada standarisasi dan penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK).

Contoh, pelaku usaha yang mendapatkan perizinan untuk pemandian alam dan akan mengusahakan panas bumi hanya perlu memenuhi standar. Kewajiban menyampaikan rencana kerja dan anggaran serta laporan tertulis berkala juga dihapus.

Untuk pemanfaatan panas bumi tak langsung pada wilayah konservasi perairan juga boleh dengan izin Menteri Kelautan.

“Apakah izin panas bumi akan mempertimbangkan akses nelayan kecil yang sudah rutin melintas, daya dukung dan daya tampung atau ketersediaan perairan dan sebagainya?”

Dalam Permen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) No 31/2020 tegas menyatakan, pemanfataan kawasan konservasi untuk penangkapan ikan, budidaya, pariwisata alam perairan, penelitian dan pendidikan. Juga, penempatan bangunan laut, pemanfaatan air laut selain energi, transportasi perairan dan adat istiadat maupun ritual keagamaan.

Untuk UU Panas Bumi, pasal yang khawatir dapat membuka celah kriminalisasi dan pembatasan partisipasi tetap dipertahankan dengan ancamanan pidana paling lama tujuh tahun dan denda maksimal Rp70 miliar.

“Model pasal sama juga ada alam UU Minerba dengan definisi ‘setiap orang’ yang sangat luas. Meski hingga kini belum ditemukan kasus yang gunakan pasal ini.”

Dalam Pasal 38, pemerintah pusat menetapkan persetujuan pengakhiran perizinan berusaha setelah pelaku usaha panas bumi pemulihan fungsi lingkungan di wilayah kerja serta kewajiban lain.

Dengan kata lain, pemegang izin panas bumi wajib mereklamasi dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Kalau tidak, sesuai PP No 25/2021, kena sanksi adiministratif denda Rp50 miliar dari setiap sumur di wilayah kerja.

“Perlu diperhatikan bagaimana penggunaan dana denda adminitratif ini dapat untuk reklamasi dan pemulihan. Perlu ada earmarking, karena akan masuk ke PNBP (pendapatan negara bukan pajak).”

Juga ada perubahan ketentuan dalam sanksi bagi industri panas bumi yang merusak lingkungan atau beroperasi di luar wilayah izinnya.

Namun ada beberapa ketentuan yang serupa dengan beban pembuktian yang harus membuktikan adanya korban, termasuk ke lingkungan.

“UU Cipta Kerja memberikan kemudahan untuk pengembangan industri fosil. Akselerasi dengan energi terbarukan tidak terlalu terlihat kecuali untuk panas bumi karena pengaturan panas bumi ada di level undang-undang,” kata Grita.

Bagi ICEL, kemudahan berusaha perlu tetap memperhatikan safeguard lingkungan hidup dan pekerjaan rumah untuk penguatan pengawasan perlu segera diselesaikan.

“Penegakan hukum lebih berorientasi atau mengutamakan sanksi administratif. Perlu ada penekanan bagaimana mengefektifkan sanksi administrasi termasuk agar fokus pada pemulihan.”

 

 

*****

Foto utama: PLTU batubara di Indonesia. Foto: Tommy Apriando

Exit mobile version