Mongabay.co.id

Urusan Pengamatan Burung, Rahmadiyono Selalu Ada Waktu

Kelik Suparno mengamati burung di Desa Jatimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta. Desa ini menjadi desa burung dengan jumlah spesies mencapai 105. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

 

Rahmadiyono Widodo jatuh hati pada aktivitas pengamatan burung. Mulanya, gara-gara dia diajak melihat raptor bermigrasi, oleh seniornya di kampus. Saat itu Yono, panggilan akrabnya, berstatus mahasiswa baru. Lokasi pengamatan di Bukit Jarum, Kaliurang, Sleman, yang masuk Taman Nasional Gunung Merapi.

Oktober hingga Desember adalah saat raptor migrasi dari Asia Timur menuju Selatan, khususnya Asia Tenggara. Mereka melewati kawasan Indonesia dan banyak pula yang singgah. Ada tiga jenis raptor yang kerap terpantau, alap-alap nipon, alap-alap china, dan sikep-madu asia.

“Di situ, pertama kali saya melihat elang terbang bareng. Sejak itu, saya tertarik ikut pengamatan burung,” terangnya, saat dihubungi Mongabay, Jumat, 6 Agustus 2021.

Yono menjadi pembicara pada Bincang Alam Mongabay Indonesia, bertema Belajar Biodiversitas dari Pengamatan Burung, Jumat sebelumnya, 30 Juli 2021.

Demi kecintaannya melihat burung di alam liar, Yono pernah menjelajahi Taman Nasional [TN] Gunung Merbabu, TN Baluran, TN Bromo Tengger Semeru, dan TN Bukit Barisan Selatan. Juga Taman Margasatwa Waduk Sermo di Kulon Progo, dan Pulau Serangan, Bali.

Baca: Kelik Suparno: Ingin Menjaga Burung 20 Tahun Lagi

 

Cekakak jawa [Halcyon cyanoventris] yang terpantau di hutan wilayah Desa Jatimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Seorang pengamat burung kerap mendatangi hutan, sungai, atau pesisir pantai karena di sanalah habitat burung berada. Namun menurut Yono, di perkotaan pun tak kalah menarik.

“Kota yang notabene banyak bangunan, masih menyisakan burung-burung untuk dilihat. Misal, takur ungkut-ungkut yang bersarang di lubang pohon.”

Ada pula punai gading. Burung sejenis merpati ini masih ditemukan bertengger di pohon-pohon besar di perkotaan, terutama beringin.

Pohon beringin, buahnya juga disukai cerucuk, kutilang, dan cabai jawa. Selain rimbun, pohon ini sering menjadi rumah serangga yang menjadi makanan burung Walet.

“Tidak hanya rindang, memberi kehidupan juga bagi makhluk hidup lain,” kata Yono, yang saat kuliah aktif di Kelompok Pengamat Burung Bionic Universitas Negeri Yogyakarta.

Ancaman untuk burung kota saat ini lebih ke tata kotanya. Misal, berkurangnya pohon, ditebang dengan alasan perluasan jalan. “Sehingga, perlu dipertimbangkan menambah jumlah pohon yang menjadi tempat hidup dan mencari makanan burung,” ujarnya.

Baca: Menikmati Celoteh Cekakak Jawa di Hutan Desa di Yogyakarta

 

Seekor burung pijantung tampak bertengger di cabang pohon di wilayah Desa Jatimulyo, Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Pentingnya burung bagi ekosistem

Yono menuturkan, spesies burung di Indonesia sangat banyak. Tahun lalu sekitar 1.794 jenis. Indonesia menjadi negara keempat dengan spesies terbanyak dan negara pertama dengan jenis burung endemik, atau di atas 500 jenis.

“Pelestarian harus dilakukan dengan diawali pengamatan burung.”

Dia memberi contoh pentingnya burung hantu bagi masyarakat di Dusun Cangcangan, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Para petani di sana melestarikan burung hantu untuk mengendalikan populasi tikus di persawahan. Hasilnya, panen meningkat karena hama berkurang.

“Hingga sosial budaya, burung dan keanekaragaman hayati itu penting bagi ekosistem lingkungan.”

Pengamatan burung yang juga dikenal sebagai birding atau birdwatching pun bisa menjadi jalan mempelajari biodiversitas. Menurut Yono, jumlah kelompok pengamat burung di Indonesia cukup banyak.

Di Sumatera, ada Aceh Birder, Kelompok Pengamat Burung Spirit of South Sumatera [KPB SOS], dan Kerinci B Club. Di Kalimantan, ada Mapala Untan, Imapa Unmul. Di Sulawesi dan Papua ada Gorontalo Biodiversity Forum [GBF], Papua Bird Club.

Di Nusa Tenggara ada Kecial, Sindikat Fotografer Bima Dompu. Sementara di Jawa Bali ada Jakarta Birdwatching Society, Paguyuban Pengamat Burung Jogja [PPBJ], Kepak Sayap, Haliaster, Birdpacker, KPB Pecuk, Malang Eyes Lapwing, KPB Curik, juga Satwa Alam Bali.

Mengapa pengamatan burung selalu diminati? Menurut Yono, mengutip seniornya saat aktif di kelompok pengamat burung berbasis kampus, karena aktivitas ini merupakan hiburan ilmiah dan kegiatan ilmiah menghibur.

“Saat pengamatan itu kita senang. Data yang dikumpulkan, check list, bermanfaat untuk dunia sains. Bisa terbit di jurnal populer maupun internasional.”

Baca: Ternyata Ada Desa Konservasi di Yogyakarta

 

Desa Jatimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta merupakan desa ramah burung dengan jumlah spesies mencapai 105 jenis. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Burung-burung yang bermigrasi juga sangat menarik diamati. Pada April-Mei ada kedasih australia yang bermigrasi ke Indonesia. Biasanya terlihat di pesisir yang ada pertanian cabai, melon, atau semangka.

“Mereka memakan ulat-ulat yang ada. Itu di pesisir Kulon Progo, migrasi dari Australia sekitar April-Mei,” kata lelaki yang pernah menjabat Kordinator Umum Paguyuban Pengamat Burung Jogja [PPBJ] 2016-2019.

Burung migran lain adalah kedidi besar yang melewati musim kawinnya di Siberia Timur, bermigrasi ke Asia Tenggara, Indonesia, juga Australia dan Selandia Baru.

“Saat kita menemukan burung migrasi dengan cincin, ini sungguh menarik. Cincin sebagai penanda asalnya dan ditemukan di mana.”

Baca: Raptor Migrasi, Bukan Sebatas Menikmati Ritual Tahunan

 

Sikep-madu asia, jenis raptor yang mengembara setiap tahun. Foto: Khaleb Yordan

 

Dari yang terdekat

Yono memberi saran, bagi yang tertarik pengamatan, bisa dimulai dari yang terdekat. Misal, di sekitar rumah ada burung gereja.

Burung yang aslinya dari Afrika Utara ini menyebar ke penjuru dunia. Kemampuannya beradaptasi dengan cara makan sisa makanan manusia dan biji-bijian di sekitar rumah, membuatnya mampu bertahan.

“Burung urban ini dirayakan setiap 20 Maret sebagai Hari Burung Gereja Sedunia.”

Peralatan yang dibutuhkan untuk pengamatan adalah teropong dan buku panduan lapangan. Satu aplikasi yang sudah dikembangkan adalah Burungnesia, berbasis android. Para pengamat bisa memasukkan data yang dikumpulkan ke server, sehingga siapapun bisa membukanya.

“Namun, ada baiknya tetap membuat catatan manual, sehingga bisa latihan membuat sketsa. Saat pengamatan di hutan, jangan pula memakai pakaian dengan warna mencolok,” sarannya.

Baca juga: Status Burung Liar Indonesia: Ada 18 Spesies Baru, Total 1.821 Jenis

 

Rahmadiyono Widodo yang selalu semangat melakukan pengamatan burung sekaligus sebagai langkah awal pelestarian alam. Foto: Dok. Rahmadiyono

 

Contoh sukses

Yono memberikan contoh sukses, bagaimana keseimbangan lingkungan dan kehidupan burung terjaga dengan baik di Desa Jatimulyo. Desa ramah burung di Kecamata Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta ini, berhasil menerapkan praktik melestarikan burung yang berdampak pada peningkatan pendapatan warga.

“Mereka melestarikan burung, lalu dikembangkan ke wisata pengamatan. Betul-betul saling menguntungkan.”

Sembari menjawab pertanyaan netizen, Yono menjelaskan, ekowisata itu menawarkan program adopsi burung.

“Penduduk yang menemukan sarang burung lapor ke pengamat setempat. Lalu, pengamat mengumumkan di media sosial, siapa yang mau mengadopsi. Selanjutnya adopter memberikan sejumlah uang untuk keperluan pelestarian.”

Warga akan melindungi sarang, bukan mengambil, apalagi membawa pulang. Burung tetap dipantau perkembangannya, dilaporkan ke adopter berkala dengan foto-foto maupun video.

Menurut Yono, banyak turis penikmat avitourism dari dalam maupun luar negeri datang ke desa ini, terutama sebelum pandemi.

“Warga memperoleh tambahan pendapatan juga dari akomodasi yang mereka tawarkan. Dengan begitu, upaya pelestarian habitat burung berjalan dan alam terjaga,” paparnya.

 

 

Exit mobile version