Mongabay.co.id

Membangun Indonesia Dari Pinggiran Itu, Dimulai Dari Masyarakat Adat

Pemerintah memiliki cita-cita yang begitu besar untuk membangun perekonomian Indonesia yang merata, tidak hanya terpusat di Jawa tapi juga menyebar ke timur dan pulau-pulau lainnya.  Kue ekonomi, harapannya tidak hanya tumbuh di pusat tapi juga di daerah. Ibaratnya tidak hanya gurih di kota tapi juga manis sampai terasa ke desa.

Presiden Joko Widodo dalan salah satu poin Nawacita pernah menyebut istilah “Membangun Indonesia dari Pinggiran”. Dalam Peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional yang jatuh hari ini (9 Agustus 2021), kita seperti diingatkan bahwa membangun Indonesia dari pinggiran itu identik dengan membangun dan memberdayakan masyarakat adat.

Sederhananya, -dalam konsep pembangunan partisipatif, masyarakat adat merupakan kelompok yang seharusnya berada di garis terdepan penyampaian aspirasi terkait kondisi sosial kemasyarakatan, baik itu sosial, politik, ekonomi dan banyak aspek lainnya.

Mengapa demikian? Tulisan singkat ini, hendak mencermati hal tersebut.

 

Baca juga: Kebangkitan dan Gerakan Perjuangan Hak Masyarakat Adat

Masyarakat adat masih memperjuangkan haknya. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

 

 

Eksistensi Masyarakat Adat

Tidak dapat dimungkiri, masyarakat adat dapat dikatakan sebagai komunitas yang berada di ujung dari desentralisasi politik bangsa ini.

Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), jumlah warga adat di Indonesia adalah 40-50 juta orang, yang tinggal dan hidup di pinggir/ dalam hutan, pesisir maupun wilayah-wilayah ruang hidup lainnya. Keberadaan mereka umumnya, bersentuhan dengan pengelolaan sumber daya alam.

Tidak afdol rasanya jika dalam pembangunan masyarakat adat tidak ambil bagian bahkan tidak dilibatkan. Sayangnya, sampai saat ini eksistensi masyarakat adat masih saja dianggap sebelah mata. Namun, jangankan untuk dilibatkan dalam setiap proses pembangunan, untuk sekadar mendapatkan manfaat dari kebijakan saja masih terbilang sulit.

Sebagai tuan rumah di negeri sendiri, masyarakat adat justru seolah dimusuhi oleh para pemangku kepentingan.  Lantaran kepentingan investasi, hak-hak masyarakat acap kali dirampas, tidak jarang pula mereka dikriminalisasi hingga diskriminasi.

Faktanya, sejumlah permasalahan seperti konflik agraria, pengakuan masyarakat adat, dan perlindungan HAM masih menjadi pekerjaan rumah yang sampai saat ini belum terselesaikan terkait dengan urusan masyarakat adat.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang diharapkan mampu menjadi pelindung mereka, masih terkatung-katung di atas meja politik kekuasan. Padahal, RUU Masyarakat Adat pun sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) pada 2013, 2017, dan 2020.

Laporan Yayasan Madani Berkelanjutan “Menakar Perkembangan RUU Masyarakat Adat” menemukan bahwa saat ini kondisi wilayah adat semakin terancam.

Secara spasial, dari 9,3 juta hektar wilayah adat yang teridentifikasi, terdapat 8,5 juta hektar area yang tumpang-tindih dengan izin atau konsesi dan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) atau area moratorium hutan dan lahan gambut.

Tumpang-tindih terluas terjadi antara wilayah adat dengan PIPPIB, yaitu seluas 4,1 juta hektar, disusul izin perkebunan sawit seluas 1,1 juta hektar, dan konsesi migas seluas 1 juta hektar.

Selain itu, terdapat 190 ribu hektar wilayah adat yang tercakup ke dalam Area of Interest (AoI) Food Estate di 4 Provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua), terluas di Papua sebesar 123 ribu hektar, disusul Kalimantan Tengah seluas 66 ribu hektar.

Baca juga: Menagih Utang Negara Lindungi Masyarakat Adat

 

Hutan Adat Marena di Sigi, Sulawesi Tengah. Masyarakat adat bisa mengambil hasil hutan bukan kayu, dengan tetap menjaga kelestarian. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Di tengah ketidakadilan tersebut masyarakat adat memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya penyelamatan lingkungan, hutan, dan alam. Khususnya dalam menjaga hutan, tercatat, masyarakat adat telah membuktikan kemampuannya dalam menjaga dan melestarikan hutan seluas 574.119 hektar.

Dalam konteks krisis iklim, praktik-praktik menjaga hutan yang dilakukan masyarakat adat terbukti mampu menghentikan penurunan tutupan hutan dan dapat berkontribusi hingga 34,6 persen terhadap pemenuhan target komitmen iklim Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dari pengurangan deforestasi.

Logikanya, siapa lagi pihak yang dengan loyal berada di garis terdepan perlindungan hutan, kalau bukan masyarakat adat itu sendiri?

Di sisi lain, masyarakat adat memiliki komitmen perlindungan alam yang utuh, karena bagi mereka hutan adalah rumah, teman, bahkan keluarga, maka sudah sewajarnya jika mereka akan selalu menjaganya dengan baik.

Baca juga: Rukka Sombolinggi Bicara Soal Pandemi sampai Perlindungan Masyarakat Adat

 

 

Membangun Masyarakat Adat Membangun Indonesia

Di tengah gempuran ekonomi ekstraktif terhadap sumber daya alam, posisi masyarakat adat sangat dibutuhkan untuk mengawal perubahan pembangunan ekonomi ke ekonomi hijau yang lebih berkelanjutan.

Dalam membangun perekonomian Indonesia yang lebih baik, memperkuat masyarakat adat tentu merupakan keniscayaan. Masyarakat adat harus diberikan kesempatan, peluang, juga dukungan untuk berdaya secara ekonomi maupun politik.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, ada dua langkah yang harus menjadi perhatian khusus dalam memperkuat masyarakat adat demi mewujudkan “Membangun Indonesia dari Pinggiran” ala Presiden Joko Widodo.

Pertama, mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat. Dalam memperjuangkan kemerdekaan masyarakat adat atas tanah dan wilayahnya, RUU Masyarakat adalah salah satu payung hukum yang paling komprehensif dan paling kuat untuk menjawab itu semua. Mendesak pemerintah dan para aktor politik untuk segera mengesahkan RUU ini adalah langkah yang tidak bisa ditawar lagi.

Kedua, membangun perekonomian berbasis kearifan lokal. Bagi masyarakat adat kearifan lokal yang mereka miliki adalah cara terbaik untuk terus mengembangkan perekonomiannya. Tapi akan lebih baik lagi jika berbagai inisiatif baik yang dilakukan pemerintah seperti program dana desa dan juga program perhutanan sosial dapat dielaborasi dengan kearifan lokal.

Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam ala kearifan lokal masyarakat adat telah membuktikan bahwa menggerakkan ekonomi tanpa merusak lingkungan itu bukan sebuah kemustahilan.

Hal ini juga tentu sejalan dengan upaya untuk transisi menuju ekonomi hijau yang jelas berkelanjutan. Ingat, masyarakat adat memiliki peran penting dalam menggerakkan lokomotif menuju ekonomi hijau ini.

Sekarang, bertepatan dengan peringatan International Day of the World’s Indigenous Peoples atau Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, maka sudah seharusnyalah momen ini tidak sekadar peringatan semata, melainkan digunakan untuk membentuk kesadaran kolektif bahwa di tengah ketidakpastian global dan juga ancaman krisis iklim masyarakat adat harus jadi pemangku penting nasional.

Untuk itu, melepaskan masyarakat adat dari ketidakadilan adalah jalan terbaik untuk mencapai target komitmen iklim dunia, serta mewujudkan perekonomian yang lebih baik tanpa merusak lingkungan.

 

* Delly Ferdian, peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan, Jakarta. Artikel ini adalah opini penulis

 

***

Foto utama: Dua pemuda adat asal Desa Kasepuhan Karang, Banten. Foto; Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version