Mongabay.co.id

Rukka Sombolinggi Bicara soal Pandemi sampai Perlindungan Masyarakat Adat

 

 

 

Hari Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), jatuh pada 9 Agustus. Ia jadi momentum mendorong pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, yang masih terbilang minim di Indonesia. Perlindungan minim, hasilkan keberadaan masyarakat adat antara ada dan tiada. Hak-hak mereka tertindas seperti hak wilayah adat. Ruang-ruang hidup maupun hutan mereka terampas hingga konflik terjadi di berbagai penjuru negeri.

Perlawanan-perlawanan masyarakat adat lakukan. Hingga pada 17 Maret 1999, terbentuklah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Ia organisasi kemasyarakatan independen dengan anggota terdiri dari komunitas-komunitas adat dari berbagai pelosok nusantara.

Perjuangan masyarakat adat mulai membuahkan hasil. Kebijakan-kebijakan mulai dibuat dari level pemerintah daerah sampai pusat yang menguatkan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Meskipun hingga kini, aturan yang jadi payung hukum masyarakat adat, yakni UU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, belum juga ada pengesahan.

Menyambut HIMAS, melalui acara Bincang Alam, Mongabay Indonesia, menggelar diskusi dengan tema ‘Refleksi Hari Masyarakat Adat bersama Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN.

Dalam bincang ini, Rukka juga memperkenalkan seni kriya dari Toraja. kolong boko atau kolong kayu, ornamen seni asli Toraja yang dia pakai di leher menyerupai kalung. Seni ini terdiri atas manik-manik berwarna-warni yang tersusun membentuk ornamen khas Toraja. “Ini warisan secara turun-temurun,” katanya.

HIMAS menjadi momentum untuk melihat dan menyadari peran penting masyarakat adat dalam kehidupan bernegara. Juga peran penting masyarakat adat dalam menjaga keberlanjutan bumi maupun lingkungan hidup di negeri ini.

Di masa pandemi ini, di wilayah masyarakat adat ‘yang aman’ mereka membuktikan kemandirian seperti soal pangan. Mereka bisa memenuhi pangan bagi komunitas, bahkan memasok bagi masyarakat sekitar.

Lusia Arumingtyas, jurnalis Mongabay Indonesia, menyajikan bincang Akita Verselita dan Rukka Sombolinggi soal berbagai topik masyarakat adat dari seputar pandemi sampai kondisi masyarakat adat yang masih minim perlindungan dari negara, dalam bentuk tanya jawab sebagai berikut:

 

Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, dalam sebuah acara dialog. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana masyarakat adat di masa pandemi, saat ada pembatasan sosial?

Pandemi ini kalau masyarakat adat yang masih berdaulat terhadap wilayah adatnya, belum ada gangguan masih bisa berdaulat, pandemi ini seperti kawan. Sepanjang bisa kami menyebutnya lockdown, masyarakat adat tidak mau kebobolan.

Jadi, banyak bisa dilakukan masyarakat adat, bisa ritual adat, meramu tradisional untuk meningkatkan daya tahan tubuh, menghitung stok pangan di kampung. Bertani dan membagi saat panen kepada mereka yang berkekurangan. Banyak sekali kegiatan di kampung, bahkan produktivitas di kampung sebenarnya meningkat.

Tapi di tempat-tempat yang sudah dikepung dengan perusahaan dan dekat dengan kota dan menjadi lalu lintas perusahaan, kehidupan kurang baik selama pandemi.

Baca juga: Masyarakat Adat di Lombok Mandiri Pangan Hadapi Bencana

 

Kampug Menteng Talang Pusu, masyarakat adat Rakyat Penunggu di Deli Serdang, dengan pangan makin berdaulat saat pandemi tetapi wilayah adat mereka terancam proyek Deli Megapolitan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Di masa pandemi ini, bagaimana akses vaksin bagi masyarakat adat?

Kita sadar kalau presiden dan pemerintah ingin segera membentuk imunitas kelompok hinggal 75%. Tapi membuat kita khawatir, vaksin ini susah sekali diakses. Tak hanya di kampung, di kota besar pun banyak yang mengeluhkan kesulitan mendapatkan itu. Padahal, sudah berusaha mencari.

Kita merasakan betapa penting vaksin. Untuk wilayah-wilayah adat, sebenarnya ini diletakkan tidak hanya dalam konteks pencegahan tetapi pada konteks lebih besar, yakni, perlindungan bumi dan manusia.

Kalau kita lihat, ekosistem terbaik yang tersisa di bumi ini dijaga oleh masyarakat adat. Masa pandemi, lumbung-lumbung pangan masyarakat adat itu paling kuat. Masyarakat adat menjaga keanekaragaman hayati supaya tidak merugikan kita semua.

Jika para pelindung dan penjaga alam tidak divaksin dan dihabisi oleh varian virus Delta, saya rasa akan merugikan kita semua.

Mereka banyak tidak memiliki akses vaksin karena masalah KTP. Presiden cukup responsif terhadap surat yang kita kirimkan terkait itu. Pelaksanaannya, yang kita tunggu karena kami sedang berkomunikasi saat ini dengan Polri.

Masalah vaksin tidak hanya soal NIK (nomor induk kependudukan), tapi ada masalah tidak ada sosialisasi yang cukup sampai ke kampung terkait COVID-19, hingga banyak hoaxs yang bertebaran disana.

 

Bagaimana kondisi masyarakat adat di Indonesia saat ini?

Berbicara terkait masyarakat adat, banyak orang berpikir hanya sebatas adat. Padahal, masyarakat adat itu, mereka yang disebut sebagai bangsa-bangsa yang membentuk Indonesia. Waktu Indonesia berdiri itu, itu wilayah siapa kalau bukan wilayah-wilayah adat yang jadi Indonesia. Itu diakui Undang-Undang 1945. Ada yang disebut dengan hak asal usul, hak yang ada sebelum negara itu berdiri tapi makin ke sini hak asal usul tidak pernah diperjelas dengan sebuah kebijakan atau UU.

Kini, makin kabur terkait kepemilikan dan hak asal-usul itu. Yang ada, malahan kriminalisasi, perampasan wilayah adat, diusir, bahkan ada yang dibunuh, intimidasi hingga hilang pekerjaan.

Bagi kami, masyarakat adat, wilayah kami bukan sekadar lahan dan urusan ekonomi, bukan sebatas alat produksi, tapi identitas budaya. Di wilayah adat, itulah ada sebuah sekumpulan orang yang memiliki pranata adat sendiri, jadi wilayah adat itulah yuridiksi dari wilayah adat dan seluruh kehidupan sosial dan budaya ada di situ.

Jika melihat tradisi, bagi kami orang gunung, pesisir, sungai dan sebagainya, kebiasaan kami pasti terkait dengan alam disitu. Jika itu hilang, segala yang ada di atasnya juga akan hilang. Ini yang menjadi persoalan saat ini.

Hal itu yang menjadi super penting untuk terus memperjuangkan masyarakat adat yang seharusnya sejak lama itu diakui dan dilindungi oleh negara.

Baca juga: Mau Tanam Ubi di Lahan Sengketa dengan Perusahaan, Orang Sakai Terjerat Hukum Merusak Hutan

 

Lada merupakan tanaman yang dikelola masyarakat Suku Lom di Dusun Pejem. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana dengan pemenuhan hak masyarakat adat?

Sejauh ini,  karena wilayah adat diambil tanpa sepengetahuan masyarakat adat jadi sosok negara itu seperti buldozer, pengusiran, kriminalisasi. Itu masih banyak sekali.

Bicara kesejahteraan dan pemenuhan hak masyarakat adat, hak individu itu tidak mungkin dinikmati sepenuhnya tanpa ada perlindungan dari hak asal usul dan hak kolektif masyarakat adat. Yaitu, hak yang ada di wilayah adat dan sebagai masyarakat adat. Masih banyak masyarakat adat hidup di bawah garis kemiskinan dan masih bergulat dengan infrastruktur dan kesehatan yang tidak memadai.

Bahkan kalau dihitung, dari pendataan wajib pilih saat pemilu, banyak tidak bisa memilih karena tidak memiliki KTP. Banyak faktor yang membuat mereka tidak bisa memiliki KTP. Bahkan untuk menikmati hak politik sebagai hak asasi itu tidak bisa karena tidak memiliki KTP. Jadi, ada yang dari lahir, besar, memiliki anak, punya cucu tapi tidak pernah menjadi warga negara Indonesia. Ada banyak kasus seperti itu.

 

Apa pesan dan refleksi di Hari Masyarakat Adat Sedunia ini?

Presiden dan pemerintah perlu membaca tanda-tanda alam. Apa yang terjadi selama pandemi, terbukti bahwa kota-kota menjadi tempat yang tidak aman. Yang paling aman dan tenteram adalah wilayah yang dikuasai dan dijaga masyarakat adat.

Terbukti, arah pembangunan itu tidak benar. Kita tidak bisa terus menerus menggunakan arah pembangunan yang terus mengeksploitasi ibu bumi. Pemerintah perlu sadar, kita hanya punya satu rumah, yakni bumi, yang harus kita jaga.

Masyarakat adat terus menjaga itu hingga penting sekali menjaga masyarakat adat. Jadi, pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi masyarakat adat, sangat penting. Draf yang ada di DPR [sekarang] super buruk dan tak akan berguna bagi masyarakat adat bahkan [bisa] menyebabkan kehancuran bagi masyarakat adat itu sendiri.

Baca juga: Cerita Perempuan Adat Rakyat Penunggu Bangun Kemandirian Pangan

 

Milka Hamaela, warga Marena, sedang menjemur biji kakao. Dia merasa setelah ada rumah dan lahan berkebun sendiri, hidup lebih baik dari sebelumnya, walaupun masih banyak masalah, seperti kakao kena hama. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

*****

Foto utama: Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dok: AMAN

 

 

Exit mobile version