Mongabay.co.id

Tumpukan Pekerjaan Rumah untuk Hindari Bencana Iklim

 

Komitmen Indonesia dalam Mengatasi Perubahan Iklim

Kebutuhan Indonesia untuk memiliki dokumen strategi jangka panjang dalam mengatasi perubahan iklim itu sejak lama didukung oleh banyak pemangku kepentingan yang menyadari bahwa bencana iklim tak akan bisa dihindari bila kita berkutat dengan respons jangka pendek semata. Ketika akhirnya terwujud dalam bentuk dokumen Indonesia Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050, tentu perlu disambut baik. Namun, tentu saja, menyambut baik dokumen LTS tersebut tentu bukan berarti tanpa kritikan atas substansinya.

Salah satu yang menjadi perhatian para pemerhati isu perubahan iklim adalah tentang kapan Indonesia akan mencapai kondisi tanpa emisi. Sempat disebut akan dicapai di 2070 di dalam beberapa versi draft yang beredar, dokumen finalnya menyatakan target Net Zero Emissions (NZE) di tahun 2060 atau lebih cepat, tergantung kontribusi negara-negara maju.

Walaupun tampak maju satu dekade dari apa yang tercantum di dalam draft, sesungguhnya target NZE 2060 itu inkonsisten dengan komitmen Persetujuan Paris, yang ditandatangani Indonesia di tahun 2015, lalu diratifikasi lewat UU No.16/2016.

Keputusan untuk mencapai NZE di tahun tersebut sesungguhnya juga mengherankan. Di tahun 2019 Bappenas menghasilkan dokumen Low Carbon Development Indonesia (LCDI) yang menskenariokan NZE untuk Indonesia di tahun 2045, 2050, 2060 dan 2070. Hasil paling penting dari skenario tersebut adalah bahwa semakin ambisius Indonesia dalam mencapai NZE, semakin baik untuk pertumbuhan PDB Indonesia. Ini menunjukkan bahwa bukan saja aspek ekonomi dan lingkungan tidak saling bertentangan dalam jangka panjang, melainkan juga saling menguatkan.

Jadi, selain tak konsisten dengan Persetujuan Paris, apa yang dinyatakan sebagai target waktu pencapaian NZE di dalam dokumen LTS itu juga tidak sesuai dengan skenario terbaik yang diajukan Bappenas, yaitu di tahun 2045, atau yang disebut sebagai LCDI Plus.

Tentu, hal ini ‘sangat mengherankan’ lantaran dalih ekonomi adalah yang paling sering terdengar ketika pihak-pihak tertentu di Indonesia menolak atau menunda tindakan untuk mengatasi perubahan iklim. Rupa-rupanya, dalih tersebut maksudnya hanya ekonomi jangka pendek dan untuk kepentingan pihak tertentu. Kalau benar-benar menginginkan kebaikan ekonomi bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam jangka panjang, tentu secepatnya masuk ke ekonomi rendah karbon adalah yang paling tepat.

baca : Target Netral Karbon Lemah, Indonesia Bisa Lebih Ambisius, Caranya?

 

 

Sangat penting untuk diingat bahwa dari empat skenario dalam dokumen LCDI sesungguhnya hanya LCDI Plus yang trajektorinya akan menurunkan emisi hingga 2045, dan lebih lanjut hingga 2050. Skenario lainnya termasuk LCDI (NZE 2060) dan LCDI High (NZE 2050) akan terus menaikkan emisi dibandingkan tingkat emisi sekarang—yang tak sesuai dengan Persetujuan Paris. Sementara, dokumen LTS memiliki 3 skenario emisi mitigasi, yaitu current policy atau CPOS; transitions atau TRNS; serta compatibel with Paris Agreement (LCCP). Di antara ketiganya, hanya LCCP yang trajektorinya menurunkan emisi dibandingkan sekarang—sementara TRNS dan CPOS menaikkan emisi.

Selain kedua dokumen tersebut, yang termutakhir, Pemerintah Indonesia juga sudah mengirimkan dokumen Updated Nationally Determined Contribution Republic of Indonesia kepada UNFCC pada tanggal 21 Juli 2021. Dokumen tersebut tidak menguatkan ambisi mitigasi emisi hingga 2030 yang sudah ada sebelumnya, namun menguatkan upaya adaptasi dan kejelasan detail upaya mitigasi, disesuaikan dengan Paris Agreement Rule Book.

 

Masih Menyandang Status Highly Insufficient

Climate Action Tracker (CAT) menempatkan NDC Indonesia ke dalam kategori highly insufficient pada update terakhir di September 2020, yang artinya berada pada trajektori di antara kenaikan 3-4 derajat Celsius. Dengan tidak menaikkan target pada dokumen Updated NDC ini, maka Indonesia tetap berada pada kategori tersebut. Masuknya Indonesia ke dalam kategori tersebut sangat boleh jadi akan menyulitkan posisi Indonesia dalam diplomasi perubahan iklim. Terlebih lagi, sangat sering pejabat Indonesia mengeluarkan penyataan-pernyataan apologetik bahkan menyindir negara-negara lain.

Memang, penempatan Indonesia di dalam kategori tersebut tidaklah menghitung emisi dan upaya penurunannya dari sektor berbasis lahan, dengan alasan akan melemahkan perhatian pada kebutuhan mitigasi emisi di sektor energi. Indonesia memang merencanakan pencapaian target NDC-nya di tahun 2030 dengan penurunan emisi utama di sektor kehutanan.

Dengan target NDC yang tak cukup ambisius itu, CAT memperkirakan Indonesia akan dengan mudah mencapai target NDC unconditional-nya yang sebesar 29%. Target conditional untuk NDC di tahun 2030 adalah sebesar 41%, dan itu seharusnya menjadi target satu-satunya yang hendak dicapai, karena Indonesia sudah mendapatkan bantuan internasional untuk mencapainya.

Juga, dengan pernyataan tentang NZE yang tertuang di dalam LTS, tampaknya Indonesia benar-benar akan sangat mengandalkan dukungan internasional, baik berupa hibah berbasis kinerja, namun terutama investasi, dari negara-negara maju. Target NZE di tahun 2060 itu sendiri menempatkan Indonesia sebagai salah satu di antara sedikit negara yang targetnya paling belakang.

Masalahnya, dengan kategori ambisi yang highly insufficient itu, dan dengan target NZE yang terbelakang, apakah Indonesia akan bisa menarik dukungan internasional secara optimal?

Investasi untuk menurunkan emisi memang membutuhkan pendanaan yang sangat besar. Namun untuk bisa menarik pendanaan—nasional maupun internasional—yang besar itu, benar-benar diperlukan kejelasan detail, konsistensi, dan keyakinan akan penegakan komitmen mitigasi di setiap sektor. Kalau memang Indonesia mau menarik pendanaan internasional secara optimal, jelas masih banyak pekerjaan rumah.

baca juga : Indonesia dan Wacana Netral Karbon

 

Tongkang batubara di sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur. Foto : Kemal Jufri/Greenpeace.

 

Pekerjaan Rumah Terpenting

Beberapa pekerjaan rumah terpenting mungkin terkait dengan kejelasan atas phase-out dari energi fosil, harga karbon, dan pengungkapan terkait dengan risiko iklim. Menurut laporan Bloomberg, Indonesia (bersama-sama Rusia di antara seluruh anggota G20) masih berada pada wrong direction untuk ketiganya, sehingga sangat perlu diperbaiki segera. Untuk memperbaikinya, dibutuhkan sikap lebih tegas Pemerintah Indonesia terhadap perusahaan-perusahaan yang menghasilkan emisi yang tinggi, termasuk dan terutama perusahaan-perusahaan di industri berbasis energi fosil.

Jelas Indonesia perlu membuat daftar Carbon Majors, supaya jelas perusahaan mana saja yang menghasilkan emisi terbesar di Indonesia, termasuk dan terutama perusahaan-perusahaan di industri fosil dan utilitas, lalu komitmen dekarbonisasinya perlu dituntut agar sesuai dengan Perjanjian Paris, lalu didukung dan dipantau dengan lekat. Elektrifikasi yang semakin disandarkan pada energi terbarukan adalah pilihan yang harus diambil agar Indonesia berada pada arah yang benar.

Terkait harga karbon, pungutan yang diwacanakan di tingkat Rp75.000 (sekitar USD5) per ton perlu diapresiasi, namun publik harus dididik berapa sesungguhnya social cost of carbon (USD37, menurut Nordhaus), atau bahkan mortality cost of carbon (USD258, menurut Bressler). Kesadaran publik sangatlah penting, karena pungutan tersebut perlu didukung secara luas, dan juga ditingkatkan besarannya secara bertahap agar benar-benar bisa mendukung transisi ke pembangunan rendah karbon.

Demikian juga, perusahaan-perusahaan —terutama yang merupakan penghasil emisi dalam jumlah besar— perlu untuk diwajibkan membuat pelaporan berstandar internasional terkait dengan emisi yang dihasilkan, juga upaya dan kinerja dekarbonisasinya. Pelaporan tersebut juga harus dikaitkan dengan risiko keuangan, termasuk risiko stranded assets, yang dihadapi perusahaan-perusahaan itu. Dengan pelaporan yang memadai, maka para investor akan bisa mengambil keputusan yang lebih baik atas perusahaan-perusahaan tersebut, terutama agar bisa bekerja sama menciptakan peluang bisnis rendah karbon.

perlu dibaca : Demi Aksi Iklim, Jokowi Perlu Perintahkan Swasta untuk Potong Karbon

 

Lokasi eksplorasi geothermal Wae Sano, Kecamatan Sano Ngoang, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Geothermal merupakan salah satu pembangkitan energi yang ramah lingkungan karena sedikit mengemisi karbon. Foto dunia-energi.com

 

Memantaskan Diri

Bagaimanapun, Indonesia sangat merugi apabila Persetujuan Paris itu tak tercapai. Dokumen LCDI Bappenas sudah memberikan gambaran bahwa bila Indonesia tak mengambil pilihan dekarbonisasi terbaik, maka kehilangan GDP tak terelakkan. Gambaran yang lebih suram daripada perkiraan Bappenas juga sudah disajikan.

Perkiraan terbaru Swiss Re Institute dalam laporan The Economics of Climate Change: No Action Not an Option yang terbit di April 2021 meramalkan bahwa Indonesia pasti akan mengalami penurunan GDP di tahun 2050, yang rentangnya antara 5% (bila Persetujuan Paris tercapai) hingga 40% (bila Business as Usual).

Ini, sekali lagi, berarti bahwa bila argumentasi ekonomi jangka panjang dan untuk semua orang dipergunakan, dekarbonisasi secapat dan sedalam mungkin adalah jalan terbaik buat Indonesia.

Mengabaikan dekarbonisasi yang cepat dan dalam jelas akan merugikan Indonesia sendiri. Namun, penting juga untuk ditekankan bahwa bukan saja kerugian ekonomi yang akan terjadi dan perlu menjadi perhatian. Memahami sifat planetary boundaries yang saling terkait, bila Persetujuan Paris tak tercapai, maka berbagai kondisi lingkungan akan semakin memburuk, hingga bencana akan lebih sering datang dan dalam skala dampak yang lebih besar.

Maka, hidup di Indonesia akan semakin berbahaya dan semakin mahal bagi generasi mendatang. Kalau benar itu yang terjadi, kita semua yang hidup di Indonesia sekarang sedang terancam menjadi nenek moyang yang bakal dikutuki generasi mendatang.

Jelas ada kelindan antara kepentingan nasional dan global yang sangat penting untuk disadari. Kita tak bisa selamat bila seluruh dunia tak bekerjasama untuk menyelamatkan seluruh pihak. Karenanya, menjadi kepentingan nasional bagi Indonesia untuk mendesak dunia internasional untuk benar-benar unite behind the science, memastikan pencapaian Persetujuan Paris di COP26 mendatang dan seterusnya.

Namun, untuk bisa demikian, tentu Indonesia perlu memantaskan dirinya juga, termasuk dengan menunjukkan keseriusan untuk memerbaiki lagi dokumen LTS dan NDC-nya, agar benar-benar sesuai dengan trajektori pencapaian Persetujuan Paris, lalu dengan sungguh-sungguh mengupayakan pencapaiannya.

 

***

 

*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Artikel ini merupakan opini penulis

 

Exit mobile version