“The most important question we must ask ourselves is
Are we being good ancestors?”
(Jonas Salk)
Netral Karbon Sebelum 2070
Pada tanggal 9 April 2021, 5 organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam isu-isu keberlanjutan menggelar diskusi daring yang bertujuan mendorong Pemerintah Indonesia untuk lebih ambisius dalam memenuhi amanat Persetujuan Paris. Diskusi bertajuk “Indonesia Mampu Mencapai Netral Karbon Sebelum 2070” digelar oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Madani Berkelanjutan, ICLEI-Local Governments for Sustainability Indonesia (ICLEI Indonesia), WALHI, dan Thamrin School of Climate Change and Sustainability.
Diskusi tersebut mengkritisi bahwa lemahnya ambisi Indonesia untuk mencapai netral karbon (net zero emission) pada tahun 2050 tercermin dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 atau Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050, disingkat LTS-LCCR 2050.
Dokumen yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tersebut menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia menargetkan kondisi netral karbon di tahun 2070. Padahal, kalau dunia hendak mencapai kenaikan maksimal 2 derajat Celsius di tahun 2100, kondisi tersebut perlu dicapai dunia di tahun 2050. Ini berarti Indonesia terlambat 20 tahun dari target yang ditentukan dalam Persetujuan Paris.
Dokumen LTS-LCCR 2050 itu menyatakan ada 5 sektor penyumbang emisi utama di Indonesia, dan menjadi fokus Nationally Determined Contribution (NCD). Dua yang utama, tentu saja adalah sektor kehutanan dan lahan serta sektor energi. Pada sektor kehutanan dan lahan, kondisi net sink dinyatakan akan dicapai di tahun 2030. Sementara, pada tahun yang sama sektor energi sendiri baru akan mengalami puncak emisi tertinggi.
Skenario paling ambisius di sektor kehutanan dan lahan menargetkan laju deforestasi hutan alam tahun 2010-2030 sebesar 241 ribu ha per tahun, lalu di tahun 2031-2050 sebesar 99 ribu ha per tahun. Hal ini berarti Indonesia merencanakan untuk melakukan konversi hutan alam sekitar 7 juta ha pada periode 2010-2050. Kalau data yang tersedia menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan sekitar 4,9 juta ha hutan alam pada 2010-2020, sesungguhnya ‘kuota’ deforestasi hutan alam Indonesia selama 30 tahun ke depan hanya tinggal sekitar 2 juta ha, atau 71 ribu ha per tahun.
baca : Laporan Sebut Jutaan Hektar Hutan Primer Dunia Hilang pada 2020, Bagaimana Indonesia?
Pada diskusi daring itu, Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang dalam 4 tahun berturut-turut telah berhasil mengerem laju deforestasi. Namun, lembaga tersebut juga menyatakan bahwa keberhasilan tersebut harus diteruskan dan dilipatgandakan agar target net sink di tahun 2030 bisa tercapai, di antaranya dengan restorasi gambut secara besar-besaran, yang sesungguhnya sangat bisa dilakukan oleh Indonesia.
Pada sektor energi, IESR menunjukkan bahwa Indonesia mampu mencapai netral karbon sebelum 2050. Caranya adalah dengan menekan emisi di sektor pembangkit listrik, transportasi, dan industri yang merupakan 93% dari total emisi di sektor energi, berdasarkan data tahun 2015. IESR menegaskan bahwa Indonesia mampu meningkatkan bauran energi primer dari energi terbarukan hingga menjadi 69% pada tahun 2050. Untuk mencapainya, kapasitas pembangkit energi terbarukan perlu diupayakan menjadi minimal 24 GW pada tahun 2025, lalu menjadi 408-450 GW pada tahun 2050. Sementara, pembangunan PLTU batubara baru perlu dihentikan sejak tahun 2025.
Dokumen LTS-LCCR 2050 sendiri pada skenario ‘ambisius’ menargetkan bauran energi primer akan diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8%, dan energi terbarukan hanya 33% di tahun 2050. Hal ini berarti jika dibandingkan dengan target NDC Indonesia saat ini, kenaikan target energi terbarukan hanya sebanyak 10% dalam 25 tahun. Tentu saja, ini jauh dari makna ambisius.
Banyak kajian menunjukkan bahwa Indonesia mampu mencapai kondisi netral karbon sebelum 2070. Demikian yang ditegaskan oleh diskusi daring tersebut. Namun, ada beragam dimensi lain yang penting juga untuk didiskusikan lebih jauh. Dalam hal ini yang mungkin paling penting adalah posisi relatif Indonesia di antara negara-negara lain serta konsekuensi yang harus ditanggung oleh generasi mendatang akibat keputusan yang diambil sekarang.
baca juga : Catatan Akhir Tahun: Jalan Terjal Transisi ke Energi Terbarukan
Posisi Netral Karbon Indonesia
Data yang dihimpun oleh Energy & Climate Intelligence Unit Net Zero Tracker per tanggal 7 Desember 2020 menunjukkan bahwa seandainya Indonesia mengumumkan target netral karbonnya kepada dunia internasional sekarang, maka Indonesia akan menjadi negara paling rendah ambisinya. Data tersebut menyatakan telah ada dua negara yang mencapai kondisi netral karbon sekarang, yaitu Bhutan dan Suriname. Finlandia adalah negara yang berambisi mencapai kondisi tersebut di tahun 2035, disusul oleh Austria dan Islandia di tahun 2040, lalu Swedia di tahun 2045.
Selanjutnya, terdapat 21 negara yang menyatakan akan mencapainya di tahun 2050, di antaranya Denmark, Fiji, Jepang, Jerman, Prancis, dan Selandia Baru. Satu negara, yaitu Tiongkok hendak mencapainya di tahun 2060. Dengan demikian, hingga sekarang Tiongkok adalah negara yang mengumumkan target yang paling belakang, namun bisa digantikan oleh Indonesia apabila ambisi netral karbon di 2070 diumumkan. Ini agaknya akan membuat posisi Indonesia pada diplomasi perubahan iklim dunia menjadi sangat rentan. Negara-negara lain akan melihat Indonesia sebagai kontributor besar dalam emisi dan tak memertimbangkan kontribusi yang adil dalam penanganan perubahan iklim.
Climate Action Tracker (CAT) adalah sebuah organisasi yang terus memantau perkembangan mutakhir komitmen negara-negara atas penanganan perubahan iklim. Berdasarkan pemutakhiran data terakhir, Indonesia masuk ke dalam daftar negara yang statusnya highly insufficient, yang berarti bahwa komitmen kebijakan Indonesia seperti yang sekarang, bila menjadi patokan negara-negara lain, akan membuat dunia memanas antara 3 hingga 4 derajat Celsius di tahun 2100.
CAT ini hanya menghitung komitmen terkait dengan sektor energi. Kalau kemudian sektor hutan dan lahan dimasukkan ke dalam perhitungan, Indonesia tetap masuk ke dalam status insufficient, yang membuat dunia mengarah pada kenaikan antara 2 hingga 3 derajat Celsius. Pesannya sangat jelas: Indonesia perlu untuk meningkatkan ambisinya agar bisa menjadi bangsa yang adil bagi dunia.
Perhitungan fair share untuk penurunan emisi sudah banyak ditunjukkan oleh beragam organisasi, dan untuk mendapatkan posisi yang terhormat di antara negara-negara lain, patokan tersebut sesungguhnya sangat penting untuk diperhatikan. Namun, para pengambil keputusan di dalam Pemerintah Indonesia juga sangat penting untuk bangsa Indonesia sendiri, yaitu nasib generasi muda dan generasi mendatang yang akan menanggung dampak dari kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan di masa sekarang. Mereka lah yang akan hidup dengan bencana-bencana iklim yang makin kerap dan makin dahsyat apabila kebijakan yang diambil tidak benar-benar mengeremnya. Oleh karena itu, pertanyaan yang diajukan oleh Jonas Salk, sang penemu vaksin polio, yang dikutip pada bagian awal tulisan ini menjadi sangat relevan untuk dipikirkan dan dijawab dengan bijak.
baca juga : Pemerintah Susun Aturan Nilai Ekonomi Karbon, Berikut Masukan Mereka
Menimbang Nasib Generasi Mendatang
Tahun 2020 lalu sebuah buku ditulis khusus untuk mendiskusikan pertanyaan Salk tersebut. Buku berjudul The Good Ancestor: A Radical Prescription of Long-Term Thinking ditulis oleh Roman Krznaric, salah satu filsuf paling terkenal dari Inggris. Ia juga terkenal karena istrinya, yang tak kalah tersohor, adalah Kate Raworth, ekonom yang memperkenalkan konsep Doughnut Economics. Seluruh isi buku Krznaric sangatlah menarik dan penting, namun yang terpenting adalah diskusi tentang bagaimana generasi mendatang benar-benar bisa memperoleh keadilan.
Menurut dia, demokrasi yang dikawinkan dengan solidaritas antar-generasi adalah jalan terbaik yang bisa ditempuh umat manusia untuk bisa menghadirkan masa depan yang patut bagi generasi mendatang. Dia mengakui bahwa ada banyak pihak yang tergoda pada autokrasi lantaran memilih contoh-contoh seperti Tiongkok dan Singapura yang dianggap berhasil menunjukkan transisi keberlanjutan yang kokoh. Namun, analisis yang dia lakukan menunjukkan bahwa kebanyakan negara autokrat tidaklah memiliki solidaritas antar-generasi yang memadai. Jumlah short-term autocrasies jelas lebih banyak banyak daripada long-term autocrasies. Sementara, negara-negara yang memiliki komitmen demokrasi yang tinggi juga cenderung lebih memiliki solidaritas antar-generasi.
Namun demikian, seperti yang ditunjukkan oleh CAT, kepemimpinan negara-negara long-term democrasies juga belum memadai. Dunia kini masih berada pada trajektori kenaikan suhu antara 2,7 hingga 3,1 derajat Celsius. Kalau diasumsikan seluruh target yang dijanjikan oleh seluruh negara yang telah menyetorkan NDC-nya benar-benar tercapai, dunia tetap akan memanas antara 2,3 hingga 2,6 derajat Celsius. Itulah mengapa menjadi sangat penting bagi seluruh negara untuk memperbaiki pengambilan keputusannya sehingga menjadi kombinasi optimal antara demokrasi dengan solidaritas antar-generasi, atau menjadi penganut deep democracy.
Demokrasi yang demikian, menurut Krznaric, memiliki empat prinsip desain, yaitu guardians of the future, citizen assemblies, intergenerational rights, dan self-governing city-states. Prinsip pertama terkait dengan bagaimana memastikan bahwa institusi politik tidak sekadar mengambil keputusan untuk generasi sekarang (apalagi hanya untuk kepentingan segelintir orang seperti dalam kekuasaan oligarkhis). Untuk kepentingan ini, diperlukan institusi khusus yang secara formal merepresentasikan kepentingan generasi mendatang. Prinsip kedua diperlukan untuk memastikan bahwa perwakilan-perwakilan masyarakat sipil —bukan sekadar para politisi— bisa turut mengambil keputusan secara langsung, melalui proses deliberatif, untuk kebijakan-kebijakan yang memiliki dampak berjangka panjang.
baca juga : BMKG: Perubahan Iklim Picu Cuaca Ekstrem
Prinsip ketiga terkait dengan mekanisme hukum yang memastikan bahwa hak-hak dan kesejahteraan generasi mendatang dan keadilan antargenerasi bisa terpenuhi di dalam regulasi-regulasi yang dihasilkan oleh negara. Dan, prinsip keempat menegaskan pentingnya devolusi radikal, yang memberikan kekuasaan untuk provinsi atau bahkan kota untuk bisa membatasi kekuasaan politik dan ekonomi jangka pendek yang muncul di pusat. Bagaimanapun, daerah sangat mengenal beragam kondisinya masing-masing, sehingga perhitungan tentang apa yang diperlukan generasi mendatang bisa menjadi lebih presisi. Hal yang sangat menarik dari keempat prinsip yang diajukan Krznaric adalah bahwa seluruhnya itu bukanlah dibangun dari ‘langit’, melainkan dari contoh-contoh yang sudah dipraktikkan di banyak negara.
Dalam diskusi daring tanggal 9 April itu, keempat prinsip deep democracy ini telah muncul, walau tidak seluruhnya eksplisit dan seelaboratif yang diajukan Krznaric. Seluruh pembicara mewakili kepentingan generasi mendatang yang belum memiliki suara. Ajakan proses deliberatif digaungkan, demikian juga penegasan bahwa hak-hak generasi mendatang perlu dilindungi. Perwakilan dari ICLEI bahkan secara tegas memberikan contoh-contoh bahwa berbagai kota di Indonesia telah dan akan mampu berperan lebih besar lagi.
Sejarawan lingkungan paling terkenal, Jared Diamond, menyatakan bahwa ada dua hal yang menyebabkan destruksi ekologis di sepanjang sejarah manusia. Yang pertama adalah overdosisnya pengambilan keputusan berjangka pendek, dan yang kedua adalah absennya keberanian untuk berpikir dalam jangka panjang.
Semoga Pemerintah Indonesia —dengan bantuan seluruh pemangku kepentingan yang memihak keberlanjutan— bisa menghindari dua penyebab yang sangat membahayakan itu, sehingga suratan nasib generasi muda dan generasi mendatang menjadi lebih cerah dibandingkan dengan apa yang bakal mereka tanggung apabila kebijakan yang sekarang tak berubah. Agar generasi sekarang bisa menjadi nenek moyang yang baik, seluruh pihak di Indonesia bisa dan perlu menjadi lebih baik dalam memperjuangkan nasib generasi mendatangnya.
*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Artikel ini merupakan opini penulis