Mongabay.co.id

Menanti UU Perlindungan Masyarakat Adat

Alat berat dan kendaraan perusahaan di lahan adat Sakai. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kondisi masyarakat adat di negeri ini masih jauh dari kata baik. Konflik lahan dan sumber daya alam masih terjadi di berbagai penjuru negeri. Cerita, masyarakat adat berjuang mempertahankan wilayah, hutan, atau protes karena lingkungan mereka akan rusak ketika investasi masuk banyak terjadi. Mereka yang kena tangkap polisi, sampai jadi korban kekerasan juga banyak. Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di negeri ini masih minim.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN mengatakan, tantangan masyarakat adat adalah perampasan wilayah adat. Kondisi ini, makin nyata dengan dukungan regulasi-regulasi pemerintah, seperti UU Mineral dan Batubara maupun UU Cipta Kerja. Aturan ini, memberikan banyak hak istimewa bagi investor.

“Ini berpotensi menciptakan ketimpangan penguasaan sumber daya alam antara industri dan masyarakat adat,” katanya katanya dalam temu media daring memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia 9 Agustus lalu.

Pada peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia,    Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Nusantara) ambil tema “Masyarakat Adat dan Kebudayaannya: Perlawanan untuk Bumi.”

Tema ini sebagai cermin dari realitas masyarakat adat di nusantara. Harapannya, HIMAS bisa jadi momentum memperkuat perlindungan dan keberpihakan bagi masyarakat adat. Senada dengan Tema global HIMAS 2021, “Leaving no one behind.” Ia sebagai pendorong perjuangan kesejahteraan masyarakat adat di berbagai belahan dunia. Kelompok ini makin tercancam secara ekonomi dan kesehatan terlebih di masa pandemi COVID-19.

Di Indonesia, Undang-undang yang diharapkan jadi payung hukum dalam mewujudkan pemenuhan hak-hak masyarakat adat, yakni, UU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (UU Masyarakat Adat), tak juga ada kejelasan. Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berlanjut ke Presiden Joko Widodo, dua periode, RUU ini selalu masuk program legislasi nasional tiap tahun, tetapi tetap saja, tak rampung-rampung.

“UU Masyarakat Adat yang bisa melindungi masyarakat adat tidak juga disahkan. Itu sebenarnya bukan pemenuhan janji presiden tapi tanggung jawab negara dan pemerintah setelah putusan MK 35 Tahun 2013,” kata Rukka.

Sektoralisme di Indonesia, katanya, menyebabkan banyak pintu. Keadaan ini, jadi persoalan besar bagi masyarakat adat.

Untuk itu, penting ada sebuah kelembagaan permanen khusus mengurus persoalan masyarakat adat. Ia berupa Komisi Nasional, agar satu pintu menangani persoalan masyarkat adat. 

“Yang kita tuntut, Undang-undang Masyarakat Adat, yang kelembagaan kita sebut Komnas Masyarakat Adat.”

Lembaga ini penting, katanya, mengingat aturan yang menangani masyarakat adat masih tumpang tindih dan terlalu sektoral.

Baca juga: Mau Tanam Ubi di Lahan Sengketa dengan Perusahaan, Orang Sakai Terjerat Hukum Merusak Hutan

Hutan adat Laman Kinipan dihancurkan untuk kebun sawit. Protes tak mau hutan mereka rusak, warga Kinipan pun hadapi jerat hukum. Kini, Kampung Kinipan sedang dilanda banjir besar. Kala hutan mereka hilang, bencana datang….Foto: Save Kinipan/ Mongabay Indonesia

 

Sandrayati Moniaga, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM menyebutkan, usulan ini bentuk ideal satu institusi independen yang seharusnya jadi rezim lembaga pengawas.

“Di beberapa negara, komisi ini yang mengawal UU hak-hak masyarakat adat yang seharusnya dijalankan pemerintah. Jadi, institusi ini yang harusnya berfungsi pengawasan dan memastikan bahwa prinsip HAM sepenuhnya dijalankan pemerintah.”

Lembaga ini, katanya, juga harus independen seperti komisi nasional, namun dapat bekerja menyeluruh.

Ada lembaga serupa untuk penyandang disabilitas. Sayangnya,  dibentuk dengan keputusan presiden namun berada di bawah Kementerian Sosial.

“Komnas Masyarakat Adat harus independen. Kalau di bawah kementerian hanya akan jadi subordinasi lembaga pemerintah.”

Lembaga khusus masyarakat adat ini urgen mengingat situasi lembaga eksekutif di pemerintahan memiliki kepentingan beragam.

Erasmus Cahyadi, Deputi II Sekjen Bidang Advokasi dan Politik AMAN mengatakan, upaya pengakuan dan pengembalian wilayah adat itu bukan sebatas persoalan administrasi semata, juga ekonomi politik. Regulasi yang ada saat ini, dia anggap tak cukup menjamin wilayah masyarakat adat.

Hingga kini, posisi RUU Masyarakat Adat tidak ada kemajuan. Draf di DPR tidak mencerminkan perjuangan masyarakat adat yang mendorong perlindungan.

Arief Virgy, dari Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, penting ada RUU Masyarakat Adat segera. Bila proyek stategis nasional masuk wilayah adat, berpotensi melanggar hak-hak masyarakat adat. Apalagi, jika masyarakat adat belum ada pengakuan dari peraturan daerah.

Dia khawatir, UU Cipta Kerja dan turunan justru menghambat proses RUU Masyarakat Adat. Apalagi, saat ini ada kekosongan UU yang mengatur masyarakat adat meski secara konstitusi sudah mengamanatkan.

Sejauh ini, peraturan yang digunakan UU Kehutanan yang menyebutkan pengakuan masyarakat adat melalui perda namun proses politik lokal berbelit membuat regulasi sulit.

“Pertanyaannya, apakah nanti ke depan RUU MHA [masyarakat hukum adat] itu mengikuti klausa dengan UU Cipta Kerja atau sebaliknya? Kalau mengikuti klausa UU Cipta Kerja, jelas tidak mengakomodasi kepentingan masyarakat adat.”

Villarian Burhan, peneliti Elsam juga menyinggung UU Cipta Kerja dan UU Minerba, sebagai regulasi penghisap yang menimbulkan gelombang perlawanan.

Omnibus law memperkuat impunitas, dalam hal ini perusahaan atau aktor-aktor perusak lingkungan yang selama ini masih kebal terhadap tindakan-tindakan hukum.”

Sjamsul Hadi, Direktur Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengatakan, diskusi lintas kementerian dan lembaga telah dilakukan dan segera tindaklanjuti untuk berkoordinasi membahas RUU Masyarakat Adat. Mereka terus mendorong percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat.

“Terkait pemenuhan hak masyarakat adat, kami mendukung mengubah pola pandang, dimana, masyarakat adat hendaknya dikembalikan lagi sebagai subyek, bukan obyek. Upaya pengembangan dan pemajuan kebudayaan ini bisa dikembalikan dan masyarakat adat yang berhak mengembangkannya,” katanya.

 

Baca juga: Mempertahankan Lahan dari PT TPL, Warga Adat Natumingka Luka-luka

Masyarakat Adat Natumingka, jadi korban kekerasan dari pihak perusahaan kayu, PT TPL di Sumut. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Kian terancam

Mardiana Derendana, perempuan adat Dayak Maanyan dari Kalimantan Tengah mengatakan, bumi adalah ruang kehidupan masyarakat adat. Alam merupakan identitas, sumber pangan, sumber air, dan sumber kehidupan masyarakat adat.

Kini, hidup mereka terus terhimpit dengan konflik dan eksploitasi yang menyengsarakan masyarakat adat.

Catatan AMAN, sepanjang 2020, ada 40 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat. “Hak hidup kami dirampas, ini berkaitan pembabatan hutan dan perusakan lingkungan. Kami tidak anti-perusahaan atau pemerintah. Kami anti dengan perampasan hak hidup kami,” katanya.

Banyak cara ditempuh dalam mempertahankan wilayah adat. “Kami ritual adat, kesenian, kebudayaan, hingga orasi dan advokasi namun sebagian masyarakat kami mendapatkan intimidasi.”

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) merilis laporan situasi pembela hak asasi manusia (HAM) atas lingkungan 2020 menyatakan, ada kenaikan tren kekerasan sampai dua kali lipat.

Elsam mencatat, ada 27 kasus pada 2019, meningkat menjadi 60 kasus dengan 65 tindakan dalam 2020.

Pada periode 2020, terjadi kenaikan tajam korban yang bekerja di wilayah rural atau pedesaaan, sektor agraria, secara kumulatif ada 75 korban.

Berdasarkan identitas korban indiviu, mayoritas pelanggaran adalah masyarakat adat 69 kasus, petani dan aktivis (masing-masing 40 kasus), dan nelayan (11). Pada 2019, petani 32 orang dan masyarakat adat 12 orang.

“Kenaikan kasus, terkait bagaimana metabolisme sosial di wilayah rural sedang mengalami ancaman serius,” kata Villarian.

Dari kasus-kasus itu juga terlihat, kalau kekerasan itu menunjukkan aktor negara maupun non negara memberangus atau menghalang-halangi pemenuhan hak warga negara. Ini juga terkait eksploitasi sumber daya alam dengan peningkatan investasi ekstraktif yang makin mempersempit ruang hidup masyarakat dan merusak lingkungan.

Penangkapan, katanya, merupakan tindakan pelannggaran yang «paling sering terjadi, diikuti intimidasi, perusakan, penahanan, serangan fisik, perampasan tanah dan pembunuhan.

Perusahaan– aktor non negara– dan polisi–aktor negara– yang paling tinggi melakukan pelanggaran.

Jumlah korban pun meningkat, pada 2019 tercatat ada 128 korban, naik 2020 jadi 178 orang.

Aktor negara menjadi salah satu pihak yang paling sering melakukan pelanggaran. Paling besar polisi. “Proyeksi kami dari tahun 2019, aktor negara menjadi pihak yang dominan yakni 72 orang dan polisi menjadi institusi yang melakukan pelanggaran dengan jumlah 64 orang.” Sedangkan, aktor non negara didominasi oleh perusahaan, yakni 28 orang dari 36 orang yang melakukan pelanggaran.

 

 

 

*****

Foto utama: Alat berat dan kendaraan perusahaan di lahan adat Sakai. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version