Mongabay.co.id

Transformasi Paradigma dan Rekonstruksi Hukum untuk Kesejahteraan Hewan

Pada tahun 2020, World Animal Protection mengeluarkan Indeks Perlindungan Hewan (Animal Protection Index) untuk menilai keberhasilan suatu negara dalam menyusun dan menerapkan kebijakan dan undang-undang bagi kesejahteraan hewan.

Bagaimana dengan Indonesia? Ternyata, dari skala ‘A’ (maksimum) hingga ‘G’ (minimum) Indonesia memperoleh nilai ‘E’ yang dihitung berdasarkan empat pilar.

Pertama, pengakuan bahwa hewan memiliki perasaan dan emosi dan pelarangan adanya penderitaan hewan. Kedua, terbentuk dan terlaksananya undang-undang yang mengatur kesejahteraan hewan. Ketiga, adanya lembaga pemerintahan yang berkomitmen untuk melindungi hewan; dan Keempat, adanya dukungan pemerintah terhadap standar kesejahteraan internasional dari World Organisation for Animal Health (OIE) yang terintegrasi dalam undang-undang atau kebijakan pemerintah.

Setidaknya, pilar pertama sedikit banyaknya terpenuhi melalui ketentuan Pasal 66 ayat (2) huruf c UU Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan hewan (UU Nomor 18/2009) yang mengakui hewan dapat mengalami lapar, haus, rasa sakit, penganiayaan, rasa takut dan tertekan.  Namun, undang-undang tersebut belum menyertai mekanisme penegakan yang konkret. Sehingga, nilai yang diperoleh Indonesia pada pilar pertama masih terbatas pada C/D.

Adapun permasalahan ada di pilar lainnya yaitu kedua sampai keempat masih bernilai E dan F, skor ini arus diperbaiki untuk melaksanakan komitmen dan dukungan pemerintah terhadap kesejahteraan hewan.

Baca juga: Kesejahteraan Satwa Masih Jauh dari Perhatian Kita

 

Kucing liar yang ada di sekitar kita. Foto: Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Payung Hukum Kebijakan

Menurut penulis, terdapat dua alasan mendasar mengenai mengapa ketiga pilar tersebut belum dapat berjalan secara maksimal hingga saat ini.

Pertama, payung hukum yang ada belum secara konkrit menjamin terlaksananya konsepsi kesejahteraan hewan yang diusung. UU 18/2009, -sebagai satu-satunya UU yang mengatur perlindungan dan pemanfaatan hewan, mendefinisikan kesejahteraan hewan sebagai:

Segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.”

Berdasarkan pendefinisian tersebut, jaminan perlindungan hewan tidak hanya mencakup perlindungan fisik, namun juga mental sesuai ukuran yang memungkinkan hewan mengekspresikan perilaku alaminya.

Sayangnya selain ambiguitas kriteria perilaku alami yang memungkinkan timbulnya multi tafsir, belum ada jaminan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran kesejahteraan hewan seperti yang tertera pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU 18/2009.

Bila kita mencermati pembatasan lingkup penerapan kesejahteraan hewan yang hanya terbatas pada “semua jenis hewan bertulang belakang dan sebagian dari hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat merasa sakit” (Pasal 66 ayat 3) pengertian ini juga terbilang bermasalah.

Pendefinisian ini akan membawa pemikiran dikotomis dan selektif terhadap lingkup hewan yang dilindungi. Artinya konsepsi kesejahteraan hewan tidak berlaku secara universal, menjadikan konsep “kesejahteraan” bagi hewan bukanlah suatu bentuk hak asasi.

Kedua, permasalahan paradigma mengenai cara kita memandang dan memperlakukan hewan sebagai makhluk inferior yang dapat dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Baca juga: Bukan Saja Eksportir, Indonesia Mulai Jadi Pasar Satwa Ilegal dari Luar Negeri?

 

Perdagangan satwa. Bayi trenggiling yang diburu untuk diperdagangkan. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Persepsi Pendekatan Masalah

Ada dua persepsi dalam memandang lingkungan hidup dan manusia. Pertama adalah pendekatan holisme dan kedua adalah pendekatan individualistik. Kedua pendekatan ini memiliki konsekuensi yang berbeda.

Pendekatan holisme memandang perlindungan terhadap hewan adalah sebuah keniscayaan, mengingat sebagai makhluk hidup di bumi kepentingan kelangsungan bumi adalah yang utama.

Holisme menitikberatkan titik keseimbangan (equilibrium) antara lingkungan hidup dengan manusia. Untuk mencapai keharmonisan antara manusia dan lingkungan, pandangan ini mengupayakan agar keseluruhan ekosistem memiliki hak untuk mempertahankan diri dengan kualitas yang baik.

Sementara pandangan individualistik, melihat lingkup yang lebih sempit. Hewan diakui memiliki nilai intrinsiknya sendiri. Mereka merupakan individu yang memiliki kapabilitas untuk merasakan sakit, kebahagiaan dan memiliki obyektif yang hendak mereka lakukan di masa depan, sehingga perlu untuk dilindungi.

Pada perkembangannya pandangan individualistik ini kemudian melandasi sejumlah pergerakan bagi aktivis pro perlindungan hewan.

Dimulai dari kelompok Old Welfarist (sampai era 1970an) yang menyatakan bahwa tidak masalah menggunakan hewan untuk kepentingan manusia, selama ada limitasi untuk mencegah sakit dan penderitaan bagi hewan. Yakni, semua hewan domestik dapat lepas dari penderitaan dan hewan agrikultur memperoleh sejumlah proteksi terhadap bahaya atau rasa sakit.

Kemudian muncul kelompok New Welfarist (1970-1980an) yang berpandangan bahwa segala bentuk penderitaan dan rasa sakit yang harus diderita hewan selama untuk kepentingan manusia secara moral adalah salah. Sehingga, perlu ada perubahan besar dalam memandang hewan.

Kelompok Animal Rights (1980an-sekarang) kemudian berusaha untuk lebih maju dari kedua pendekatan sebelumnya, sehingga pada perjuangannya berusaha untuk memberikan hak fundamental yang sama bagi hewan seperti layaknya manusia.

Namun, secara umum terdapat kesamaan paradigma yang dibangun dari seluruh kelompok, yakni hewan dipandang sebagai makhluk hidup yang memiliki nilai intrinsiknya sendiri, yang harus dihormati oleh makhluk hidup lainnya, salah satunya manusia.

Sayangnya, pada tataran kebijakan, instrumen perlindungan yang saat ini berlaku masih bertumpu pada pendekatan individualistik baik pada skala internasional maupun nasional. Alhasil, instrumen perlindungan hewan yang ada masih memfokuskan diri pada upaya konservasi dan perdagangan hewan.

Bentuk perlindungan yang diberikan juga masih difokuskan pada perlindungan terhadap spesies hewan tertentu yang langka (yang penentuannya juga oleh manusia) dan menjamin kepastian hukum perdagangan hewan.

Hemat penulis stagnasi pendekatan individualistik bertolak dari tidak kunjung dipenuhinya obyektif dari pendekatan holisme, yakni adanya landasan normatif yang lebih konkrit dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap hewan.

Dalam proses transisi terhadap paradigma individualistik menjadi holisme maka rumusan sanksi pun dapat menjadi dalam mewujudkan konsep perwujudan kesejahteraan hewan.

Baca juga: Mencermati Penyebaran COVID-19 pada Satwa Liar maupun Hewan Peliharaan

 

Harimau sumatera, satwa liar dilindungi yang habitatnya hanya ada di Indonesia. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Solusi bagi Kesejahteraan Hewan

Dalam konteks nasional belum ditemukan konsep kesejahteraan hewan yang secara umum disepakati, -atau setidak-tidaknya dipahami secara nasional, yang berimplikasi pada dua hal mendasar ini:

Pertama belum adanya indikator yang mengukur kesejahteraan hewan menyebabkan tidak ada data komprehensif yang terkumpul untuk memantau perkembangan dan kesejahteraan hewan.

Kedua pergerakan aktivis pro perlindungan hewan belum memiliki pijakan paradigma yang kuat, yang menyebabkan pergerakan mereka dipandang sebelah mata dan dikategorikan sebagai isu yang tidak strategis. Gerakan aktivisme pun pada akhirnya bertumpu pada inisiatif pribadi berdasarkan hati nurani yang subyektif.

Dari pemaparan di atas, penulis menyarankan perlunya tiga solusi yang bisa jadi pertimbangan, yaitu: 1) Penyeragaman konsepsi dalam mendefinisikan apa itu “kesejahteraan hewan,” 2) Penjabaran bentuk-bentuk perlindungan secara konkrit dalam setiap jenis peruntukan hewan yang sesuai dengan konsepsi kesejahteraan yang diusung, 3) Perumusan enforsir berupa rumusan sanksi yang tegas dan jelas terhadap setiap bentuk pelanggaran.

Ketiga solusi tersebut akan dipermudah dengan hadirnya lembaga pemerintah yang secara khusus ditunjuk untuk mengemban tugas dan tanggung jawab untuk merumuskan landasan, mengelola dana, dan mengembangkan edukasi dan praktik penegakkan kebijakan dan undang-undang bagi kesejahteraan hewan.

Sebagai tambahan, keberadaan instrumen indikator internasional yang mengonsepsikan kesejahteraan hewan dapat digunakan sebagai bentuk enforsir dan inspirasi kepada negara-negara untuk membentuk struktur institusional bagi perlindungan hewan.

 

* Etheldreda E L T Wongkar, peneliti di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL); Phelia Myrna, peneliti lepas.  Artikel ini adalah opini penulis

 

***

Catatan editor: Artikel ini telah diperbaiki pada tanggal 13 Agustus 2021

 

Exit mobile version