Mongabay.co.id

Ternyata Udara Tidak Sehat di Jakarta Lebih Tinggi Setelah PPKM Darurat. Kok Bisa?

 

Mestinya ada kabar baik dari sisi lingkungan hidup terkait penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat selama satu bulan ini. Namun ternyata kualitas udara ternyata tidak membaik.

Penerapan PPKM Darurat dimulai sejak 3 Juli lalu oleh pemerintah pusat, dimulai di Jawa dan Bali untuk membatasi kegiatan publik bertujuan menurunkan angka pasien Covid-19. Namun Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) di DKI Jakarta yang tergolong tidak sehat meningkat setelah PPKM Darurat. Sebelum PPKM Darurat jumlah hari tidak sehat sebanyak 49 hari, sedangkan setelah jadi 80 hari. Sedangkan kategori baik hanya 3 hari dan kategori sedang dari 126 hari jadi 127.

Analisis kualitas udara satu bulan pemberlakuan PPKM Darurat ini dipaparkan Bondan Andriyanu dari Greenpeace Indonesia pada media briefing online pada Selasa (10/08/2021). Hadir sebagai pembahas dampak kesehatan adalah dr. Feni Fitriani Taufik dariPerhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Ada juga Ayu Eza Tiara, Kuasa Hukum Gugatan Polusi Jakarta dan Yuyun Ismawati, perwakilan penggugat. Dimoderatori Adhityani Putri dari Yayasan Indonesia Cerah.

Bondan menganalisis dari data-data resmi yang disajikan terbuka oleh pemerintah DKI Jakarta dan KLHK. Namun, data yang sama belum bisa diakses dari provinsi tetangganya. Karena polusi udara bersifat lintas batas, terutama daerah sekitar, seperti Jawa Barat, Bekasi, dan Tanggerang.

baca : Setelah 28 Tahun, Kualitas Udara di Jakarta Membaik

 

Kawasan Senayan, Jakarta Selatan pada awal April 2020 yang sepi dan lengang membuat udara menjadi bersih. Foto : Andreas Harsono/Mongabay Indonesia

 

Baku Mutu Udara Ambient (BMUA), yang disebut udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi yang dibutuhkan dan berpengaruh pada kesehatan manusia, mahluk hidup lain, dan lingkungan. Terdiri dari beragam gas dan partikel. Misalnya Sulfur dioksida (SO2), Karbon monoksida (CO), Nitrogen dioksida (NO2), dan lainnya. Sedangkan partikel termasuk partikulat debu atau Particulate Meter (PM)10 dan PM2,5.

PM2,5 harian di atas baku mutu juga lebih tinggi setelah PPKM Darurat. Sebelumnya, yakni bulan Juni jumlah hari di Jakarta Selatan adalah 5 hari, kemudian pada Juli jadi 14 hari.

Bondan juga menunjukkan data aplikasi JAKI dari DLH DKI 9 Juli yang menyebutkan kualitas udara Jakarta Selatan tidak sehat. Ada juga aplikasi ISPUnet dari KLHK pada tanggal yang sama dengan parameter cemaran PM2,5.

Data pemerintah yang dipaparkan menyebut sumber utama polusi PM2,5 di Jakarta berbeda antara musim hujan dan kemarau. Misal saat musim hujan sumber utamanya asap knalpot kendaraan sekitar 32-41%, pembakaran batu bara 14%, aktivitas konstruksi, pembakaran terbuka, dan lainnya. Sedangkan saat musim kemarau sumber utamanya tertinggi masih asap knalpot, pembakaran terbuka, debu jalan, garam laut, dan lainnya. Namun pembakaran batu bara tidak ada.

Bondan memaparkan PM2,5 saat PPKM Darurat (3-20 Juli 2021) terlihat menurun di Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) Bundaran HI bila dibandingkan dengan kondisi Normal (3 -20 Juli 2019) namun masih lebih tinggi dibandingkan saat diberlakukannya PPKM Mikro (3-20 Juni 2021) dan PSBB (3 – 20 Juli 2020).

Hal tersebut dapat disebabkan pada saat PPKM Mikro maupun PSBB, tingkat curah hujan pada SPKU Bundaran HI lebih tinggi dibandingkan saat PPKM darurat sehingga dapat membantu peluruhan/ pencucian partikel halus di udara. Selain itu, berdasarkan data mobilitas masyarakat saat PPKM darurat diketahui terjadi penurunan dalam penggunaan transportasi umum, perkantoran serta pusat perbelanjaan sehingga dapat terlihat bahwa PM2,5 di SPKU Bundaran HI lebih rendah dibandingkan SPKU lainnya.

Namun pada area pemukiman terjadi peningkatan saat PPKM Darurat, dikarenakan beberapa SPKU (Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya dan Kebon Jeruk) berada di area dekat pemukiman maka penurunan PM2.5 tidak terlihat pada lokasi-lokasi tersebut.

perlu dibaca : Laporan Ungkap Polusi Udara Jakarta Terburuk di Asia Tenggara

 

Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) sebelum dan selama PPKM Darurat pada Juli 2021, jumlah hari tidak sehat meningkat dua kali lipat. Sumber : Bondan Andriyanu/Greenpeace Indonesia

 

Sejumlah rekomendasi yang didesak sebagai berikut. Data SPKU harus dibuka ke publik secara berkala dan realtime. Juga di provinsi dan daerah sekitar Jakarta.

Jumlah SPKU harus diperbanyak (10 alat pantau setiap 3 juta populasi, berdasarkan pernyataan ahli dalam sidang Gugatan Polusi Udara) berlaku untuk semua kota dan daerah. Riset sumber pencemar udara dilakukan berkala oleh seluruh kota dan daerah, datanya dibuka ke publik.

Berikutnya, perlu pengakuan bahwa udara DKI Jakarta sudah tercemar dan melebihi BMUA. Karena itu perlu langkah nyata mengendalikan sumber pencemar udara secara menyeluruh dan lintas batas yang berdasar pada data ilmiah. Selain itu harus ada upaya mitigasi dampak polusi udara dan perubahan gaya hidup yang tidak menyumbang polusi udara bagi setiap individu.

Terlebih ada perbedaan indeks pemerintah dengan standar WHO, misalnya jika kualitas udara tidak sehat hanya untuk kelompok sensitif seperti ibu hamil dan anak. Namun indikator WHO di beberapa jenis polutan masuk tidak sehat pada kelompok semua warga.

Lalu apa yang paling menyumbang polusi saat PPKM Darurat?

Menurut Bondan, secara saintifik harusnya ada data resmi riset emission inventory sehingga bisa diketahui sumber polutan dari mana. Laporan Silent Killer menyebutkan ada peran signifakan di luar Jakarta misalnya PLTU berbahan bakar batu bara. “Selama tidak membuka data rutin, tak bisa disimpulkan,” katanya.

baca juga : Polusi Udara dan Kerentanan Terkena Virus Corona

 

Rasio volume kendaraan dengan panjang jalan di Jakarta yang sudah tidak lagi seimbang, membuat kemacetan menjadi keseharian. Jumlah kendaraan pribadi dan kemacetan menjadi faktor borosnya konsumsi BBM di Indonesia dan salah satu penyebab polusi udara di Jakarta. Foto : Jay Fajar / Mongabay Indonesia

 

Dampak kesehatan

Dokter Feni Fitriani Taufik dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia mengingatkan mengenai data global dampak polusi udara. Data WHO menyebutkan hampir 7 juta meninggal karena polusi, dan 9 dari 10 orang hidup di daerah polusi tinggi (80%) termasuk di Jakarta.

Warga bisa meninggal karena penyakit degeneratif, stroke, paru, dan lainnya. Sumbernya dari rumah tangga, transportasi, industri, sampah, dan alam misal kebakaran dan erupsi.

Dampak pada ibu hamil adalah bayi terancam hidup dengan berat badan lahir rendah. Kemudian beranjak anak mengidap asma, perkembangan paru terganggu, batuk kronis, sampai pengerasan pembuluh darah dini.

Saat dewasa, risiko asma meningkat, jantung, bronkitis kronis. Saat lansia, asma makin kambuh, fungsi paru menurun, kanker paru, dimensia, serangan jantung, dan stroke.

Sumber polusi udara primer yaitu terpapar langsung karena gas kendaraan dan industri seperti batu bara, sedangkan sumber polusi sekunder saat bereaksi kimia seperti ozon.

Dari sejumlah penelitian, setiap peningkatan PM2,5 sebesar 10 mikrogram di atas ambang batas ada peningkatan 7% kunjungan RS dengan penyakit respirasi, kematian akibat kanker paru 8%, dan lainnya.

“PM10 tidak bisa masuk, tertahan di rongga hidung. Sedangkan PM2,5 seperseribu penampang rambut mudah masuk kantong udara, mengganggu fungsi paru dan meningkatkan risiko penyakit kronis,” jelas Feni.

PM2,5 bisa masuk aliran darah sampai kardiovaskuler jantung dan paru, hipertensi, penyempitan pembuluh darah, pengentalan, dan lainnya. Jika masuk otak bisa ganggu sistem syaraf, aritmia, dan lainnya. Saat di pembuluh darah bisa menyebabkan stres akibat respon inflamasi berujung ke berbagai penyakit.

Efek kesehatan jangka pendek atau akut seperti iritasi mata, hidung, tenggorokan. Iritasi saluran nafas, peningkatan ISPA pada anak dan dewasa, dan risiko keracunan gas dan partikel.

Efek jangka panjang adalah penurunan fungsi paru, saluran nafas lebih mudah bereaksi kena sedikit polusi mudah batuk. Penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, dan lainnya.

baca juga : Polusi Udara, Pembunuh Senyap di Jabodetabek

 

Pemandangan di sekitar Jakarta Selatan dari ketinggian pada Oktober 2017, tampak asap menyelimuti sekelilng pemukiman. Riset Greenpeace memperlihatkan udara Jabidetabek, buruk dan membahayakan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

PDPI pernah memberikan rekomendasi pada 2019 ke pemerintah Jakarta dan masyarakat. Rekomendasi untuk pemerintah adalah membuat kebijakan pengendalian udara, koordinasi sektoral untuk menangani masalah polusi, melakukan perbaikan misal uji emisi kendaraan, mendorong pembangkit lstrik tenaga alternatif, penggunaan kendaraan ramah lingkungan, dan menambah area hijau sebagai paru-paru kota.

Selain itu, meningkatkan titik monitoring kualitas udara, termasuk jika tercemar. Serta mempersiapkan sistem pelayanan bagi yang terdampak.

Sementara warga diminta berperan mengurangi sumber polusi udara, misal penggunaan transportasi massal. Meminimalkan paparan polusi udara seperti memantau kualitas udara realtime, menggunakan masker atau respirator, dan jaga kualitas udara dalam ruangan. Juga mengenali gejala dan keluhan yang timbul akibat polusi udara.

“Polusi udara saja sudah ganggu pertahanan tubuh, tanpa Covid pun sudah berbahaya. Dengan pertahanan tubuh bisa melawan virus dan bakteri,” katanya terkait tambahan beban pandemi. Kalau memiliki penyakit kronis akan lebih berat, perlu ICU dan ventilator. Risiko meninggal lebih besar.

perlu dibaca : Kala Kualitas Udara Jakarta Buruk, Warga Gugat Pemerintah ke Pengadilan

 

Pegiat lingkungan yang aksi dengan bersepeda dan pakai masker di Bundaran HI Jakarta pada Desember 2018. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Putusan pengadilan Terus Ditunda

Pada 4 Juli 2019, perwakilan warga Jakarta melalui Tim Advokasi Gerakan Ibu Kota (Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta Terdiri atas Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Greenpeace Indonesia, Walhi dan Indonesian Center Environmental Law (ICEL) mengajukan gugatan warga negara atau citizen law suit (CLS) ke Pengadilan Negeri Jakarta, atas kualitas udara buruk di Jakarta.

Puluhan warga ini menggugat tujuh tergugat, yakni, Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jakarta, Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten.

Proses pengadilan telah berlangsung dua tahun. Tetapi kenapa putusan pengadilan atas gugatan warga tentang polusi udara terus ditunda? Ayu Eza Tiara, pendamping hukum gugatan warga 32 orang karena dampak polusi Jakarta juga heran.

“Apakah wajar persidangan sampai 2 tahun? Tidak wajar dan khawatir berpotensi maladministrasi,” sebutnya. Ia merujuk surat edaran (SE) No.2/2014 Mahkamah Agung tentang penyelesaian perkara di tingkat pertama dan banding diamanatkan hakim bersidang cepat, harus ada putusan di tingkat pertama dalam jangka 5 bulan.

Ayu menjelaskan penundaan sudah 6 kali, pertama alasannya para tergugat lupa kirim soft file kesimpulan. Ini menurutnya mengada-ada, karena ada dokumen hard file. Penundaan kedua, hakimnya terpapar Covid. Sidang ketiga, panitera disebut terpapar Covid. Sidang keempat, anak hakim meninggal sehingga ditunda 2 minggu, dan sidang kelima hakim anggotanya terpapar Covid.

Keterbukaan pada publik juga menurutnya minim. Dibandingkan sidang MK, walau online bisa live streaming. Namun, walau sudah online pun, ia harus ke pengadilan, untuk bertanya kepastian sidang.

Yuyun Ismawati, salah satu penggugat adalah aktivis lingkungan internasional. Ia bergabung sebagai penggugat karena saat itu cucu-nya lahir pada 2018. Rutinitas berjemur jam 8-10 pagi. Karena anak dan suaminya tinggal di tengah Jakarta, Salemba, jam-jam itu adalah waktu sibuk sehingga langit selalu nampak abu-abu. “Setelah berjemur, kulitnya busik. Sehingga jarang berjemur di luar. Tak bisa hirup udara sehat,” keluhnya.

Para penggugat beragam, dari kelompok rentan. Misalnya warga dengan penyakit kronis. Yuyun menambahkan, pengugat lain, anaknya sering mimisan sehingga di rumah harus pasang air purifier, dan menambah biaya. “Kita tidak tuntut ganti rugi uang tapi kebijakan. Jika konsentrasi tinggi, bunyikan alarm. Datanya tidak realtime, sehari sebelumnya. Tidak tahu persis berapa konsentrasinya. Kadang juga mati, informasinya tidak ada,” keluhnya soal tantangan akses data kualitas udara untuk mitigasi.

Penundaan putusan dan panjangnya persidangan ini menurutnya memperpanjang biaya dan risiko kesehatan. “Harus jadi refleksi, hak hidup sehat adalah semua orang. Termasuk akibat insinerator, tungku pembakaran sampah. Semoga dengan gugatan ini warga lebih sadar tentang haknya,” harap Yuyun.

 

Exit mobile version