Mongabay.co.id

Putu Ardana dan Perjuangan Melestarikan Kawasan Danau Tamblingan

 

Pagi itu bertepatan dengan musim kemarau di wilayah Bali Utara. Di atas sebuah sampan kecil Jro Putu Ardana (65) mengayuh dayung menuju Pura Dalem Tamblingan yang terletak di pinggir Danau Tamblingan.

Danau seluas 160 hektar itu dikelilingi Bukit Lesung, Bukit Pohen, dan Asah Munduk. Air yang jernih dan udara yang sejuk begitu memikat hati. Danau Tamblingan asri dikelilingi oleh pepohonan lebat di sekitarnya, layaknya sebuah lukisan indah.

Tak heran, Ian Charles Stewart, penulis dan fotografer dalam buku berjudul Indonesians Portraits from an Archipelago menyebut Bali sebagai permata di ujung timur Pulau Jawa. Area hutan tropis memanjang di tengah pulau ini.

“Hutan begitu penting,” sebut Ardana.

Ardana menyebut kawasan hutan di sekitar danau itu dengan nama Alas Mertajati, yang memiliki makna sebagai sumber kehidupan sekaligus penghidupan yang sesungguhnya.

Rimba di sekitar Danau Tamblingan, bagi Masyarakat Adat Tamblingan punya peran penting, ada relasi sosial ekologis di sini. Tak heran, jika para leluhur selalu berpesan agar semua harus dijaga untuk kelestarian manusia.

Sebagai bukti, di Pura Dalem Tamblingan masih tersimpan prasasti Celak Kontong Lugeng Luwih yang diyakini sebagai simbol kesuburan.

Dalam inskripsi yang menyertainya, dapat dijumpai teks yang terjemahan bebasnya kira-kira demikian:  “Dari dulu, di mana ada sumber air, maka di sanalah manusia memilih tinggal. Orang-orang akan kesulitan hidup tanpa ada air.”

Dalam implementasinya, Masyarakat Adat Dalem Tamblingan amat berpegang pada Piagem Gama Tirta atau tatacara memuliakan air. “Kami meyakini para pendahulu kami sangat memperhatikan lingkungan dan selalu menjaga harmoni dengan alam,” sebut Ardana.

“Oleh karena itu kami tak pernah ingkar dengan tugas untuk selalu menyucikan kawasan ini. Piagem Gama Tirta itu bisa dikatakan agama air.”

Baca juga: Eksplorasi di Titik Terbaik Lanskap Gunung dan Danau Batur

 

Sejumlah peziarah menaiki perahu menuju Pura Dalem Tamblingan di kawasan Hutan Mertajati, Desa Munduk, Kabupaten Buleleng, Bali. Bagi Masyarakat Adat Dalem Tamblingan, Kawasan Danau Tamblingan dan Alas Mertajati merupakan tempat yang disucikan karena merupakan sumber penghidupan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ardana menyebut dulu di pinggiran timur danau sejatinya pernah menjadi titik peradaban. Tempat bermukim masyarakat adat Dalem Tamblingan. Bagi warga setempat, Alas Mertajati dan Danau Tamblingan adalah dua situs yang sangat disakralkan.

Dalam prasasti No 902 Gobleg Pura Batur berangka tahun Saka 1320 (1398 M), di masa pemerintahan Sri Wijaya Rajasa, keberadaan desa-desa di bawah kekuasaan Desa Adat Dalem Tamblingan.

Kumpulan desa itu dikenal sebagai Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, meliputi Desa Gobleg, Gesing, Umejero, dan Munduk. Setidaknya ada 17 pura di dalam kawasan yang disungsung, disucikan oleh Masyarajar Adat Dalem Tamblingan.

Sebagai tambahan, setidaknya, ada tiga prasasti yang menguatkan fakta keberadaan Adat Dalem Tamblingan, yaitu prasasti Ugrasena (922 M), Udayana (tanpa angka tahun, 991 M – 1018 M), dan Suradipa (1119 M).

 

Tirta suci yang dipercikan dalam persembahyangan di Pura Dalem Tamblingan. Foto; Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Setelah selesai bersembahyang di Pura Dalem. Ardana menjumpai sekelompok pemuda di tengah hutan. Dalam fungsi adat, mereka adalah kelompok manage yang memiliki tugas sebagai jaga wana, atau penjaga hutan dan jaga teleng atau penjaga danau.

Orang-orang yang ditentukan berdasarkan keturunan dan konsiten melaksanakan tugasnya hingga saat ini.

“Sekalian mereka berjaga, mereka sekaligus membikin peta partisipatif agar pemahaman Mertajati tak sebatas hafalan sejarah,” sebut Ardana, yang juga Ketua Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan ini.

 

Di dalam serat-serat kuno dijumpai bahwa peradaban di sekitar Danau Tambalingan telah ada sejak berabad-abad lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Keselarasan dan Keberlanjutan

“Di sini siapa yang pernah menanam pohon akan tahu bahwa yang tumbuh bukan hanya sebuah batang. Tapi lebih dari itu membentuk tanda dalam ruang dan waktu. Itu filosofi sederhana tentang pohon kehidupan,” sebut Ardana.

Bagi Ardana semua adalah sebuah siklus yang selalu berputar. Semua saling terhubung. Itu mengapa para pendahulu catur desa merencanakan dengan cermat lokasi lahan dan permukiman di area adat.

Di kawasan lembah yang tidak curam dan terdapat aliran air, para leluhur desa menggunakan lahan itu sebagai kawasan sawah dan kebun. Tata guna lahan yang ada di wewidangan Catur Desa Dalem Tamblingan terbagi berdasarkan tri mandala. Utamaning mandala (luhuring capah), madyaning mandala (madyaning capah), suring mandala (suring capah).

“Para pendahulu sudah tahu di bawah kawasan yang kami sucikan itu adalah penyuplai sepertiga bagian airnya Pulau Bali. Maka tak sembarang kami boleh membangun ataupun bercocok tanam.”

Hingga kini, sekitar 90 persen masyarakat menggantungkan hidup mereka sebagai petani sawah dan perkebunan. Kopi jenis arabika mulai ditanam sejak awal abad ke-20. Periode tahun 1920-an hingga 1970-an adalah puncak kejayaan kopi yang tumbuh subur di sekeliling Alas Mertajati.

Setiap 25 hari sebelum Galungan, dalam sebuah Tumpek Uduh atau Tumpek Wariga, warga akan menyambut turunnya Sanghyang Sangkara, dewa penjaga tumbuh-tumbuhan, di Pura Kopi. Masyarakat datang membawa sesaji untuk menghormati dewa dan mengharap berkah yang baik.

“Di sini ada tiga potensi, yaitu alam, budaya, dan spiritual. Karena itu, butuh menjaga ketiganya agar pesona Tamblingan dan Mertajati tetap terjaga.”

Baca juga: Jelajah Keindahan Kehidupan di Tamblingan

 

Putu Ardana dan Kelompok Pemuda Jaga Wana (Penjaga Hutan). Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Berjuang Kembalikan Hutan Adat

Secara administratif, Tamblingan dan Mertajati bukanlah tanah ulayat adat. Ia masuk kawasan Cagar Alam Batukau seluas sekitar 15.100 hektar. Kawasan ini dikelola Balai Konservasi Sumber Daya Alam sebagai Taman Wisata Alam Danau Buyan dan Danau Tamblingan.

Sejarah Tamblingan ditunjuk menjadi Hutan Tutupan sendiri dapat dilacak hingga tahun 1927 di saat era kolonial Belanda melalui SK Gubernur Jendral. Pada tahun 1934, kawasan ini resmi ditetapkan sebagai sebagai kawasan Hutan Tetap dengan fungsi sebagai kawasan tangkapan air.

Pasca Indonesia merdeka, Tamblingan ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No 144/Kpts-II/1996 tanggal 4 April 1996 seluas 1.336,5 hektar.

Sayangnya justru setelah kawasan Alas Mertajati ditetapkan sebagai TWA, Hutan Adat Dalem Tamblingan mengalami degradasi. Banyak pohon langka dan pohon besar sedikit demi sedikit ditebang.

“Susah bagi kami untuk optimal menjaga kedua kawasan itu karena tak punya kewenangan apapun,” sebut Ardana.

Alhasil kerapatan hutan hanya berkurang dalam rentang waktu terhitung singkat. Selain itu, karena berstatus konvesional banyak turis datang dan melakukan kegiatan wisata yang bersifat privat dan tidak terkontrol, hingga membuat khawatirkan.

Baca juga: Kawasan Hutan Bedugul: Ancaman Longsor dan Sampah

 

Pemuda Catur Desa Tamblingan melakukan pemetaan partisipasif sebagai sarat pengajuan hutan adat Alas Mertajati. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Persoalan makin ruwet, tatkala kawasan Alas Mertajati tumpang tindih dengan TWA, hutan lindung dan kawasan cagar alam. Bahkan di dalamnya juga ada lahan yang berada di bawah kendali swasta, PT Bali Nusa Abadi, yang berencana untuk memanfaatkan Alas Mertajati seluas 121 hektar untuk pendirian villa.

“Bagi kami hal demikian dapat mencemari kesucian kawasan Adat Dalem Tamblingan.”  Padahal dalam konsep kosmos Masyarakat Adat Dalem Tamblingan, seluruh kawasan hutan adalah Pura atau tempat suci.

Melihat kerusakan yang ada amat masif, masyarakat pun aktif untuk mendorong pengembalian status kawasan menjadi hutan adat. Sebut Ardana, peluang ini dimungkinkan sejak munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

Melalui putusan itu hutan adat diakui dan dapat dikeluarkan dari nomenklatur kawasan hutan negara. Hutan adat menjadi salah satu dari tiga status hutan disamping hutan negara dan hutan hak.

Perjuangan ini mulai dilakukan dalam beberapa tahun belakangan ini. Masyarakat Dalem Tamblingan pun sudah mendaftarkan permohonan Alas Mertajati menjadi hutan  adat di Kementerian LHK pada Januari 2021.

“Negara menyatakan hutan yang berada di kawasan masyarakat adat itu dapat diakui sebagai hutan adat, bukan lagi hutan negara lagi. Di situ ada peluang. Saat ini, satu di permohonan berkas yang kami masih kurang yaitu tanda tangan rekomendasi dari Bupati Buleleng,” tutup Ardana.

 

 

Exit mobile version