Mongabay.co.id

Penegakan Hukum Lemah di Jambi Walau Area Perusahaan Karhutla Berulang

KKI Warsi dan IPB melakukan penelitian dampak karhutla di lahan gambut di Jambi. Foto : KKI Warsi

 

 

 

 

Irmansyah tengah menghidupkan mesin ketek, perahu kayu bermesin tujuh PK, sebelum menyusuri Sungai Kumpeh, Muaro Jambi, menuju lokasi bekas kebakaran di konsesi PT Putera Duta Indah Wood (PDIW), dan PT Pesona Belantara Persada (PBP), awal Juli lalu.

Pakde Diman, sapaan akrabnya, sudah puluhan tahun bekerja di PDIW. “Di sana,” tangannya menunjuk ke arah timur hulu Sungai Kumpeh.

Air sungai berwarna hitam pekat membawa ketek terus menghulu.

Diman mengikat tali ketek, merapat ke dermaga perusahaan sawit PT Bara Eka Prima (BEP). BEP bersampingan dengan PDIW.

PDIW mengantongi izin HPH sejak 1988. Ada perubahan pada 2009, luas konsesi semula 61.000 jadi 34.000 hektar. Sedang PBP mengantongi izin sejak 2010 seluas 21.000 hektar.

Pada 2019, api melahap areal ini tanpa sisa. Diman dan 30 warga Desa Pematang Raman bergiliran memadamkan api. Lebih dari sebulan mereka berpatroli, api tak juga padam. Langit sempat memerah di sekitar lokasi terbakar.

“Ini mengerikan, kami bergiliran padamkan api. Gambut kalau terbakar bukan cuma di atas saja, sampai bawah. Harus hati-hati,” katanya.

Kerja keras padamkan api , tak berarti mereka luput dicurigai pelaku pembakar hutan. Beberapa orang Desa Pematang Raman ditanyai. Akmal, Kepala Desa Pematang Raman , menjawab semua pertanyaan kepolisian kalau menjamin warga tidak mungkin membakar lokasi PDIW.

“Cobalah lihat, sepanjang areal terbakar apakah ada tanda tanaman kebun yang ditanam? Buat apa masyarakat kami jauh-jauh membakar hutan,” katanya pada pihak kepolisian waktu itu.

Seingat Diman kebakaran pernah terjadi pertama pada 1997, kemudian 2001, 2003 2015 dan 2019.

Saya bertanya bagaimana kayu masih ada kalau kebakaran terus berulang.

“Kami di sini ada istilahnya blok “harta karun”, blok itu berada di kawasan gambut dalam. Dengan kondisi basah, tidak terbakar .Yang terbakar itu kawasan yang memang tidak ada pohon lagi,”

Beragam kayu seperti punak (Tetrameristra glabra), meranti rawa, dan rengas menjadi komoditi kayu terlaris.

Mobil melaju lagi, membawa kami ke lokasi bekas kebakaran. Hanya ada beberapa tanaman perintis tumbuh, seperti senduduk (Melastoma malabathricum), pakis (Stenochlaena palustris), putri malu (Mimosa pigra), dan mahang (Macaranga spp.). Juga, alang-alang (Imperata cylindrica) dan ficus sp.

Saya berkali-kali terperosok dalam gambut yang terbakar. Akar pohon dan tunggul punak berada di gambut menunjukkan penurunan muka gambut cukup tinggi, kemungkinan sekitar 80 cm hingga satu meter.

 

Baca juga: Kebakaran Gambut Jambi, Kualitas Udara Buruk, Sekolah Diliburkan

Pemukiman warga di sepanjang Sungai Kumpeh berseberangan dengan lokasi PT PDIW. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan Peta Fungsi Ekologi Gambut (Badan Restorasi Gambut), PDIW berada di gambut fungsi ekologi indikatif fungsi lindung seluas 28.139,96 hektar dan Indikatif fungsi budidaya 6.793,49 hektar.

Dari peta indikatif restorasi gambut PDIW berada pada prioritas lindung gambut berkanal seluas 10.834 hektar dan prioritas pasca kebakaran 2015-2017 seluas 4.675 hektar.

Untuk PBP berada di kawasan gambut dengan fungsi ekologi sebagai indikatif fungsi lindung 14.728,1 hektar dan indikatif fungsi budidaya 6.429,19 hektar.

Dari peta indikatif restorasi gambut PBP berada di prioritas lindung gambut berkanal seluas 3.612 hektar dan prioritas pasca kebakaran 2015-2017 seluas 6.616 hektar.

Sebelum terbakar, Diman bilang, kayu hasil tebangan dari PDIW sempat dialirkan keluar menuju PBP. Aksi ini menguatkan dugaan, kedua perusahaan menyatu.

Diman yang berpindah dari satu HPH ke HPH lain cukup salut dengan dua perusahaan kayu ini. “Kami sering bilang di kampung, hanya Tuhan yang bisa cabut izinnya.”

Dia tertawa.

Diman bersyukur sekarang dia sudah memiliki sedikit kebun, hingga tak lagi bekerja di perusahaan.

Ketek yang kami tumpangi tiba di kampung.

Diman mengeluh pohon duku dan durian terancam gagal panen karena kebakaran berulang. Beberapa pohon terserang hama hingga buah sedikit dan kecil. Belum lagi, perubahan cuaca ekstrem, membuat duku dan durian muda jatuh sebelum panen.

“Hujan dan panas tak menentu ini, berdampak pada duku dan durian yang kami tanam pecah dan gugur. Karena tiba-tiba panas, lalu hujan. Terus begitu,” ceritanya.

 

Ilustrasi. Kebakaran lahan gambut. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Sidang gugat konsesi

Ruang sidang Pengadilan Negeri Jambi hening, pada penghujung Juli lalu. Agenda mediasi tertutup. Sudah tiga kali berturut-turut, namun belum menemukan kesepakatan.

Agenda gugatan perdata antara penggugat Walhi Jambi dengan PBP sebagai tergugat I dan PDIW sebagai tergugat II. Turut tergugat juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pemerintah Jambi.

Gugatan hukum ini atas kebakaran berulang di areal kedua perusahaan pada 2015 sampai 2019. Data analisis citra satelit luas kebakaran sepanjang lima tahun mencapai 56.165 hektar.

Rinciannya, kebakaran pada 2019 mencapai 27.070 hektar di konsesi PDIW dan 29.095 hektar PBP. Walhi resmi daftarkan gugatan 26 Maret 2021.

Poin gugatan kebakaran hutan dan lahan ini meliputi hak atas lingkungan hidup, keadilan antar generasi, dan perubahan iklim, Pemulihan lingkungan, permohonan sita jaminan, dan permohonan provisi.

Abdullah, Direktur Walhi Jambi mengatakan, ada beberapa poin penting tertuang dalam materi gugatan ganti rugi Rp200 miliar.

Hakim mediator Partono bilang, berbeda dengan sidang-sidang pemerikasan sebelumnya, PBP tak pernah hadir, di sidang mediasi ini hadir.

“Kuasa hukum PBP, PDIW, menghadiri sidang. Kuasa hukum KLHK tidak hadir karena PPKM. Walhi memberikan tanggapan perihal draf usulan perdamaian tergugat.”

PBP juga memberikan draf usulan perdamaian yang disempurnakan. KLHK belum memberikan draf mereka. Berdasarkan info dari panitera, mereka akan memberikan draf via email atau e-court. “Dan akan dilakukan pengecekan ke lokasi kedua perusahaan.”

Selain tuntutan nilai kerugian, kata Abdullah, KLHK juga harus evaluasi dua perusahaan dan diberikan sanksi oleh Gubernur menurut UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Secara keseluruhan, proses gugatan di Pengadilan Negeri Jambi sudah jalan tujuh sesi antara lain dihadiri Walhi Jambi bersama tim kuasa hukum, dan tergugat. Hanya satu kali PBP hadir, pun dengan PDIW. Selebihnya, sidang hanya kuasa hukum yang mewakili kedua perusahaan.

Abdullah bilang, Walhi menolak upaya damai, karena dokumen pemulihan yang diberikan para tergugat tidak sesuai dengan kerangka dan kekuatan hukum yang berlaku.

Ramos Hutabarat, Kuasa Hukum Walhi Jambi mengatakan, tak bisa menjelaskan detail poin apa saja pengajuan pemulihan yang tak sesuai ketetapan UU.

“Ini tidak etis disiarkan, karena sidang bersifat tertutup. Kami menolak.”

 

Baca juga: Jatuh Bangun Selamatkan Gambut Jambi

Tunggul pohon punak yang tersisa di areal PT PDIW, yang hanya ditumbuhi pakis, senduduk dan berbagai pohon jenis ficus. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Rosmeri, kuasa hukum PBP dan PDIW, enggan memberikan keterangan dan segara berjalan cepat menjauh. “Maaf saya tidak bisa memberikan keterangan,” katanya sembari berlalu.

Sidang pokok pertama perkara digelar, 12 Agustus lalu. Semua pihat penggugat dan tergugat I dan II , PDIW dan PBP diwakili Rosmeri. Juga kuasa hukum KLHK dan Pemerintah Provinsi Jambi hadir.

Rosmeri menyampaikan, PBP dan PDIW telah memenuhi poin pokok pemulihan secara administrasi kepada KLHK.

Dia berdalih, poin ini yang menjadi sandungan saat proses mediasi pekan lalu hingga tidak menemukan kesepakatan.

Meski demikian, majelis hakim meminta proses mediasi lanjutan bisa saja terus dilakukan, namun untuk didampingi PN Jambi telah selesai.

Kuasa Hukum KLHK , Fransiska membenarkan surat administrasi pemulihan untuk dua perusahaan telah mereka terima pada 12 Agustus lalu. “Kita berharap gugatan ini berakhir ada komitmen pada upaya pemulihan. Dua perusahaan sudah memberikan surat administrasi pemulihan. Kami sudah rapat internal untuk membahas ini,” katanya.

Di lapangan belum terlihat aktivitas pemulihan dalam bentuk apapun, baik pembasahan, penanaman dan memberdayakan ekonomi masyarakat lokal.

Upaya restorasi gambut yang harus dilakukan tidak hanya bisa tertuang dalam surat komitmen bukti administrasi.

Dwinanto, Manajer Kampanye Walhi Jambi bilang, perusahaan harus melengkapi pemetaan lahan gambut konsesi mereka, setelah itu menentukan jenis restorasi, siapa yang akan merestorasi, serta rentang waktu.

“Pemulihan ini tidak hanya mereka pembibitan untuk revegetasi, ada proses harus mereka lakukan.”

Tak ada aktivitas, tak ada pemindahan peralatan operasional PDIW dan PBP menimbulkan rumor kalau perusahaan ini diam-diam akan mengalihkan izin mereka ke hutan tanaman industri (HTI).

Fransiska belum mendapatkan kabar ini hingga tidak bisa memberikan tanggapan soal rumor itu.

Mongabay berulang kali menghubungi nomor yang tertera pada profil perusahaan namun tidak diangkat, bahkan kemudian tidak aktif. Mongabay juga menanyakan ketidakhadiran perusahaan pada Rosmeri . Dia bilang, perusahaan telah menyerahkan proses hukum ini kepadanya.

 

Mengurai karhutla di Jambi

Sepanjang tiga dekade terakhir, Jambi kehilangan hampir 1,9 juta hektar tutupan hutan. Akhir 2019, Warsi mencatat tutupan hutan di Jambi tersisa 900.713 hektar, berkurang 20.000 hektar dibanding 2017. Kebakaran hutan andil dalam kehilangan hutan Jambi.

Data Warsi menunjukkan, sepanjang 2019, terdeteksi 30.947 titik panas dengan setidaknya 157.137 hektar hutan dan lahan di Jambi terbakar, yang menyebabkan kerugian lingkungan sekitar Rp12 triliun.

Kerugian besar itu, dampak kebakaran gambut seluas 101.418 hektar, lebih buruk dibanding 2015 seluas 90.363 hektar. Karhutla didominasi di lahan konsesi perusahaan.

HPH menempati posisi pertama dengan luas 40.865 hektar, disusul HGU perkebunan sawit seluas 24.938 hektar, dan HTI 21.226 hektar. Sebanyak dua HPH, 14 HTI dan lima perkebunan sawit merupakan pemegang konsesi yang mengalami kebakaran berulang.

 

Kebakaran di konsesi PT BEP di Muarajambi. Foto: Yitno Supriyanto/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Warsi, penanganan hukum terhadap perusahaan dengan konsesi terbakar berulang masih rendah. Dari analisis Warsi, terdapat sejumlah perusahaan besar alami karhutla pada 2015 dan 2019. Sayangnya, proses hukum nyaris tak terdengar.

Ade Candra, Koordinator Program KKI Warsi bilang, seharusnya perusahaan yang terlibat kebakaran hutan harus diproses agar memberikan efek jera.

Untuk mencegah kebakaran berulang, kata Ade, seharusnya monitoring berkala terhadap perusahaan guna memastikan mereka mematuhi semua aturan pencegahan kebakaran. “Misal, memastikan tinggi muka air gambut maksimal 40 cm. Ini juga harus dilengkqpi sekat kanal. Sayangnya, di lapangan ini masih belum berjalan,” katanya.

Walhi Jambi merilis data karhutla sedikit lebih tinggi dari Warsi. Kebakaran di Jambi sekitar 165.186,58 hektar, 114.000 hektar di lahan gambut.

Karhutla melumpuhkan sektor perekonomian, 1.000 lebih sekolah libur, 63.000 orang terserang infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), dan kerusakan lingkungan serius.

Karhutla di Jambi tersebar luas di gambut karena beralihfungsi lahan gambut untuk industri kayu dan perkebunan.

Upaya penegakan hukum juga Walhi nilai lemah hingga tak membuat efek jera bagi perusahaan pembakar hutan.

Catatan Walhi Jambi, penegakan hukum terhadap 46 perusahaan di lahan terbakar pada 2015, hanya lima perusahaan proses hukum. Ke lima perusahaan ini adalah PT Riky Kurniawan Kertapersada (sawit), PT Diera Hutan Lestari (HTI). Lalu, PT KU (HTI) dan PT WS (HTI)– izin dicabut KLHK– dan PT ATGA (vonis bebas di PN muara Sabak).

RKK, sebelumnya vonis bebas, dengan gugatan perdata, KLHK menang pada 2017. RKK harus mengganti rugi Rp191,8 miliar sebagai biaya pemulihan atas kebakaran lahan konsesi seluas 591 hektar.

Dalam catatan Walhi Jambi, ada empat siklus karhutla. Karhutla mulai era 1997 hingga 2019. Siklus pertama, pada 1997-2000 karhutla terjadi empat tahun satu kali. Kedua, pada 2000-2001 karhutla dua tahun satu kali. Ketiga, 2006-2010, karhutla terjadi satu tahun satu kali. Keempat, pada 2010-2019, karhutla satu tahun dua kali.

Dari Data Polda Jambi, PBP dan PDIW masuk dalam proses penegakan hukum, namun lokasi yang dilaporkan terbakar hanya 15 hektar. Kedua perusahaan ini juga masuk dalam penyegelan Ditjen Gakkum KLHK.

Kasus karhutla berulang pada 2015 sampai 2019. Walhi Jambi menilai upaya pemulihan tak benar-benar dilakukan pemegang izin.

“Temuan tim Walhi Jambi, banyak perusahaan tak memiliki dan melengkapi saranan maupun prasarana karhutla,” kata Abdullah.

 

 

Liputan ini didukung The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dalam program Fellowship Jurnalis Lingkungan “Build Back Better, Karhutla dan Penegakan Hukum”.

 

Kanal PT BEP yang bersebe,ahan dengan PT PDIW dengan air menyusut. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

*******

Foto utama:  KKI Warsi dan IPB melakukan penelitian dampak karhutla di lahan gambut di Jambi. Foto : KKI Warsi

Exit mobile version