Mongabay.co.id

Artim Yahya Bicara tentang Desa Santong yang Tambah Sejahtera dari Hutan

 

Kabut pagi masih menyelimuti Desa Santong, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Tampak Artim Yahya (54) berjalan ke lahan di hutan yang digarapnya. Dia Ketua Koperasi Tani Maju yang mengelola hutan lewat skema Hutan Kemasyarakatan (HKm).

Dia mengkordinir 820 petani penggarap lahan seluas 758 hektar yang tersebar di empat desa di dua kecamatan di Lombok Utara.

“Satu petani kebagian lahan garap 1 hektar lebih kurang,” sebut Ketua Kelompok Tani Maju Bersama ini.

Artim sendiri mengelola 1,5 hektar. Di lahannya dia tanami dengan kopi yang sekarang berumur sekitar 2 tahun. Tanaman keras lain pun dia tanam di situ. “Akses mengelola hutan, memberi jaminan hidup panjang bagi petani.”

Menengok ke belakang, program HKm Desa Santong bermula sejak tahun 1997. Saat itu, Artim menjabat sebagai kepala desa. Penggundulan hutan tampak di depan mata.

Meski namanya kawasan hutan, tapi penampakannya mirip lapangan bola, gersang dan tandus. “Hutannya benar-benar tak dijaga [oleh perusahaan konsesi],” tuturnya.

Dia tak habis pikir, bagaimana hutan yang telah dihabisi oleh sebuah HPH, selanjutnya setelah rusak, warga lokal yang peroleh dampak buruk dari degradasi lingkungan dan lahan.

Baca : Naik Haji dari Merawat Hutan, Cerita Kesuksesan HKm Santong

 

Artim Yahya (54) beragam hasil bumi dari kawasan HKm. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dalam era itu, kebijakan pemerintah memang condong memberikan konsesi kepada perusahaan-perusahaan swasta. Hak pengusahaan hutan (HPH) menjadi pilihan. Hampir setengah dari seluruh luas kawasan hutan negara berada menjadi area konsesi yang diperuntukkan sebagai hutan produksi.

Meski dalam konsep bagus, tapi monitoring terhadap kinerja pengelola area HPH sebetulnya rendah. Penanaman di blok tebang tidak dilakukan. Walhasil, hutan pun ditinggalkan setelah kontrak konsesi selesai.

Hal serupa pun terjadi di kaki Gunung Rinjani, tempat Desa Santong berada. Hutan yang memiliki tiga fungsi, ekonomi, ekologi dan sosial mengalami degradasi parah. Perlahan rimba pun lenyap.

Artim berbekal sarjana hukum. Dia percaya jika hutan mau lestari maka kelembagaan pengelola desa harus terbentuk dan berdaya. Kepastian hukum kawasan atau management of land use dengan demikian harus jadi prioritas.

Itu pula yang membuat dia percaya, awal pengelolaan hutan lestari harus dimulai dari kepastian hak kelola oleh masyarakat. Meski di saat awal saat hendak mengajukan HKm dia sempat frustrasi.

“Bikin peta partisipatif betul-betul susah,” tuturnya mengingat perjuangan kala itu.

Tanpa bekal pengetahuan tentang hutan, Artim tersadar peta bukan hanya persoalan instrumen batas administrasi semata, tapi juga masuk dalam ranah kelola ekologis.

“Informasi peta partisipatif berguna untuk melakukan perencanaan pengelolaan air dan pemulihan hutan.”

Baca juga: Sudarmi, Sosok Perempuan Pelestari Hutan Jati Paliyan

 

Artim dengan tanaman kopi yang ada di kebunnya. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mengubah Pola Pikir Masyarakat

Tapi masalah belum berhenti di situ, paradigma warga belum berubah. Warga sudah terlanjur terbiasa tebang kayu, tanpa memperhatikan kelestarian hutan dalam jangka panjang.

Artim lalu memutar otak. Dia pernah coba mengajak warga lewat sisi keagamaan. Caranya, dia minta khatib shalat jumat di desa memasukkan ajakan melestarikan hutan di setiap materi khotbah jumatan.

Namun strategi ini pun tampaknya kurang dapat respon warga.

Tak putus asa, Artim coba menempuh cara lain. Dia ‘nekad’ mengkonversi 44 are lahan sawah miliknya jadi kebun tanaman keras. Cengkeh, durian, kopi, dan coklat pun dia tanam di sana. Hasilnya terlihat bagus.

Warga yang kebanyakan pekerja lepas, dapat melihat sendiri jika dari kebun Artim mulai dapat penghasilan harian, mingguan dan bulanan secara rutin.

Hasil eksperimen Artim pun berbuah. Mulai banyak warga yang mengikuti langkahnya.

Munculnya sumber penghasilan baru tentu mendongkrak kesejahteraan warga Santong. Bahkan sekarang Artim berani bertaruh jika rupiah hasil bertani melebihi upah minumun yang diterapkan daerah.

Baca juga: Insentif Imbal Jasa Lingkungan bagi Para Perawat Hutan di Kalbar

 

Tampak udara perumahan penduduk denga latar beakang tegakan hutan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kesejahteraan pun Menghampiri

Dari lahan HKm 1 hektar per kepala, warga menanami lahan melalui model mixed crop. Tanaman jangka pendek seperti cabai dan sirih. Jangka menengah seperti vanili, kopi, pisang, dan jangka panjang seperti cengkeh, coklat, durian, sawo, pala dan kemiri. Semuanya bisa dihitung siklusnya.

Dengan berjalannya waktu, sekarang warga sudah bisa panen cabai hampir tiap hari. Itu belum termasuk panen tanaman lain, seperti umbi-umbian yang ditanam model tumpangsari.

Semuanya dilakukan lewat perencanaan dan penataan lahan hutan yang teratur.

Semenjak itu Artim dikenal sebagai sarjana hutan oleh warga Santong. “Entah kenapa saya dibilang begitu,” Artim tertawa.

Dari penghasilan mengelola HKm sekarang warga Santong bisa menyisihkan dana untuk membiayai sekolah anak-anak, membangun tempat tinggal yang layak hingga pergi berhaji.

Saat ini, sebanyak 33 orang kelompok tani HKm santong sudah naik haji. Puluhan lainnya menunggu waktu keberangkatan.

Baca juga: Menilik Kondisi Pembangkit Energi Terbarukan di Nusa Tenggara Barat

 

Foto tampak udara dari kawasan HKm yang didominasi tanaman multi crop. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Artim mencoba berefleksi mengapa HKm di Santong dapat berjalan. Simpulannya, ketika hutan telah diurus, dijaga dan memberikan manfaat sosial, ekonomi dan ekologis, maka warga ‘pemilik’ akan mampu mempertahankan fungsi dan daya dukung hutan.

Ini berbeda ketika warga tidak dilibatkan. Saat hutan dianggap sebagai milik negara, -dan konsesinya diberikan pada swasta, tidak ada warga yang merasa bertanggungjawab.

Sementara di sisi lain, semua pihak “merasa berhak” mengeksploitasi alih-alih menjaga. Yang terjadi, ini membangun jarak psikologis warga dengan sumberdaya alam.

Setelah diberi kepercayaan, terbukti kesadaran dan inisiatif warga Santong untuk menjaga lingkungan hutan semakin kuat.

Mereka membuat aturan, menebang pohon di kawasan HKm hanya dibolehkan untuk membangun rumah, bukan untuk dijual. Setiap batang kayu yang ditebang, warga mesti mengganti lima batang pohon dengan jenis yang sama.

Perihal ada warga yang khawatir jikalau hutan yang telah susah payah mereka hijaukan dan usahakan bakal diambil kembali oleh pemerintah. Artim punya jawabannya.

“Perizinannya untuk 30 tahun. Jika berhasil, nanti akan ditambah 30 tahun lagi,” paparnya.

Mantra itu selalu dia ingatkan kembali kepada warga, membangun kepercayaan bahwa masa depan ada di tangan sendiri.  Jika bersungguh-sungguh, maka siklus kelola berikutnya dapat mereka peroleh.

 

Artim bemimpi suatu saat Santong jadi kawasan sentra buah-buahan di Lombok. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Target Berikutnya

Di saat sekarang semua mulai tampak berjalan baik, Artim tak berhenti berpikir. Dia membayangkan masa depan yang bisa warga peroleh dari skema kelola hutan lewat jasa lingkungan.

Dia lalu berpikir tentang peluang ekowisata di Santong yang dipadukan dengan sentra buah-buahan Lombok.

Dalam pikirannya, ini bisa membangun ‘branding’ baru bagi desa. Pengunjung dapat menikmati alam, tinggal di homestay milik warga, sekaligus pulang sembari membawa oleh-oleh buah.

Di balik ide itu, sebenarnya Artim ingin menghimpun anak muda Santong agar mau bertani. Daripada jauh-jauh mencari pekerjaan katanya, masih banyak alternatif penghidupan yang dapat dilakukan di desa.

Lewat peluang pengelolaan lahan hutan, Artim percaya penuh hutan akan terus jadi berkat bermanfaat bagi manusia secara terus-menerus. Tentunya, tanpa harus membuat kerusakan.

 

 

Exit mobile version