Mongabay.co.id

KLHK Beri Penghargaan bagi Belasan Mendiang Pejuang Lingkungan Hidup

Foto: KLHK

 

 

 

 

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berkaca-kaca kala mengenang 12 pejuang dan inovator lingkungan hidup yang telah berpulang hari itu. Pada 19 Agustus 2021, di Manggala Wanabhakti, Jakarta, Menteri Siti memberikan penghargaan dan apresiasi kepada ahli waris atau keluarga dalam acara “Doa untuk Sahabat dan Penghargaan kepada Pejuang Lingkungan Hidup dan Kehutanan.”

Ke-12 aktivis ini mendapatkan penghargaan atas dedikasi dan komitmen selama hidup dalam menjaga dan memperjuangkan lingkungan hidup dan kehutanan.

“Doa bersama untuk para sahabat dan aktivis lingkungan hidup dan kehutanan, serta pemberian penghargaan ini dapat jadi momen baik dan inspiratif bagi para generasi muda untuk terus berkerja melindungi dan mengelola lingkungan hidup serta menjaga dan merawat hutan Indonesia,” kata Siti.

Ada beberapa tokoh yang dikenang antara lain, aktivis lingkungan hidup, aktivis kehutanan, dan inovator lingkungan hidup dan kehutanan. Aktivis lingkungan seperti Emmy Hafild (1958-2021), MS Zulkarnaen (1955-2019), Chairil Syah (1962-2021), Hapsoro (1971-2012) dan Den Upa Rombelayuk (1945-2019).

Ada aktivis kehutanan Kus Saritano (1973-2016), Agung Nugraha (1969-2021), dan Dedi Mawardi (1963-2021).

Untuk inovator lingkungan dan penyuluh lingkungan Maman Suparman (1950-2021), Inovator Lingkungan Hidup dari Akademisi Linawati Harjito (1962-2021), Inovator Lingkungan Hidup, Pencipta Lagu Mars Rimbawan, R. Noto Sukoco dan Yahya Bahram.

Siti mengatakan, 12 pejuang lingkungan hidup dan kehutanan ini, baik sebagai aktivis maupun inovator itu konsisten, tanpa kenal lelah mendedikasikan komitmen dan hidup mereka untuk menjaga bumi. Juga, memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, hutan lestari, serta kemajuan demokrasi lingkungan di Indonesia.

Demi perjuangan untuk kemajuan bangsa dan negara, katanya, para aktivis berhadapan dengan berbagai tantangan tidak mudah, bahkan ancaman untuk keselamatan diri. “Idealisme, impian dan kerja mereka telah menginspirasi banyak orang. Mereka adalah pahlawan bagi kami, mereka adalah pahlawan bagi kita semua.”

Yenny Wahid, Direktur Wahid Foundation mengatakan, para pejuang lingkungan hidup itu mendapatkan tantangan cukup besar. Para pejuang lingkungan hidup dianggap kegiatan supersif dan pembangkangan kepada pemerintah. Kesadaran masyarakat pun tidak seperti saat ini.

 

Hapsoro memulung sampah di Sungai Ciliwung. Foto: Sandika Ariansyah

 

“Menjadi pejuang lingkungan hidup adalah menjadi pekerjaan yang sepi, sepi dari penghargaan dari obyek yang dibelanya,” kata Yenny.

“Ini pekerjaan yang membutuhkan konsistensi, komitmen yang panjang, bukan pekerjaan yang mudah dan bukan yang singkat, dan sepi dari pamrih.”

Sarwono Kusumaatmadja, Menteri Lingkungan Hidup 1993-1998 mengapresiasi Menteri Siti. “Selamat kepada Menteri LHK beserta jajarannya yang mengukir tradisi baru, yaitu pengakuan terhadap para almarhum dan almarhumah yang berjasa.”

Sarwono mengatakan berbicara lingkungan hidup, setiap zaman membawa masalah-masalah yang berbeda. Ia menjadi tantangan dalam menangani lingkungan hidup.

Sanak keluarga, dan para sabahat pun mengenang sosok para pejuang lingkungan ini. Romba’ Marannu Sombolinggi, anak Den Upa Rombelayuk– kini PD AMAN Toraja mengatakan, Den Upa seorang gigih dalam memperjuangkan kehidupan masyarakat adat.

“Penghargaan ini kami dedikasikan kepada AMAN, seluruh perempuan adat serta seluruh masyarakat adat nusantara yang selama ini terus mendapatkan penindasan dalam memperjuangkan UU Masyarakat Adat,” katanya.

Penghargaan ini, katanya, sangat bermakna kalau jadi awal penghargaan masyarakat adat dan percepatan pengembalian hutan adat kepada pemiliknya yaitu masyarakat adat.

Den Upa, adalah salah satu pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Semasa hidupnya, lebih dahulu memperjuangkan UU Masyarakat Adat dan hadir untuk menyerahkan permintaan judicial review UU Kehutanan di Gedung Mahkamah Konstitusi pada 2011.

“Dia pun sangat menyambut Nawacita Presiden Jokowi (Joko Widodo) dan berpesan agar kita wajib merawat dan memperjuangkan harapan dalam Nawacita.”

Hingga kini, perjuangan Den Upa dan masyarakat adat belum tercapai seperti yang diimpikan.

Ridzki R. Sigit, Program Manager Mongabay Indonesia pun mengenang Hapsoro, sahabatnya. Hapsoro merupakan pendiri Telapak, organisasi lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan hidup.

Dia banyak membongkar praktik kejahatan hutan di Tanjung Puting, penyelundupan kayu dari Indonesia ke Semenanjung Malaysia dan Sarawak hingga praktik penyelundupan kayu merbau di Papua.

Ridzki mengatakan, Hapsoro orang yang mengajak bergerak untuk ‘memulung sampah’ di Sungai Ciliwung pada 2009. Gerakan yang sangat sederhana dan modal utama hanya keikhlasan dan konsisten.

 

Den Upa Rombelayuk, salah satu tokoh pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meninggal pada Minggu (2/6/2019) dini hari. Ia dikenal sebagai perempuan yang gigih memperjuangkan masyarakat adat sejak masa Orde Baru, di mana masyarakat adat banyak mendapat tekanan dari negara. Foto : Rukka Sombolinggi/ Mongabay Indonesia

 

“Hapsoro yang saya kenal, adalah pribadi yang selalu gigih dalam memperjuangkan alam dan lingkungan di Indonesia,” katanya.

Hapsoro, bagi Ridzki, seorang idealis, tahu batas mana benar dan salah. Bahkan, katanya, beliau akan selalu resah kalau ada dalam zona abu-abu.

“Jalannya selalu lurus. Dia selalu bekerja dengan tangannya, tidak hanya konsep semata, namun turun ke lapisan terbawah.”

Isu lingkungan akan menjadi isu sentral di masa sekarang dan mendatang. Ridzki mengapresiasi yang dilakukan KLHK dengan memberi pengakuan pada para pejuang lingkungan.

“Saya berharap, ini jadi awalan para pejuang lingkungan, keluarganya, dan aktivitasnya dapat benar-benar dilindungi negara. Pemerintah, aparat, penegak hukum dapat benar-benar bekerjasama untuk ini.”

Warisan Hapsoro, katanya, sampai sekarang masih tampak, dimana perjuangan hutan yang dikelola adil dan lestari, sungai bersih diadopsi dan menginspirasi para pihak.

Para sahabat pun mengenang sosok Chairil Syah. Chairil Syah, biasa disapa Caca, adalah pegiat lingkungan hidup di Indonesia yang meninggal dunia karena virus COVID-19, pada 5 Juli 2021.

Caca lahir di Palembang pada 31 Agustus 1962, sejak mahasiswa dikenal sebagai tokoh gerakan demokrasi dan HAM, terutama pembelaan kaum tani. Sejak mahasiswa, dia mampu menggalang kekuatan mahasiswa, akademisi, seniman, jurnalis, praktisi hukum, petani, buruh, hingga politisi.

Saat memimpin Lembaga Bantuan Hukum Palembang [1994-1998], dia turut membidani kelahiran Walhi Sumatera Selatan, embrio Aliansi Jurnalis Independen [AJI] Palembang, Serikat Buruh Seluruh Indonesia, Solidaritas Perempuan [SP], dan Yayasan Kuala Merdeka. Juga, Yayasan OWA Indonesia, Lembaga Analisis Informasi [Essai], Serikat Tani Sumatera Selatan, termasuk turut mendorong lahirnya LBH Bandarlampung, serta berbagai organisasi masyarakat sipil lain.

Caca yang mendapat penghargaan IADL Philipine atas dedikasi 34 tahun sebagai lawyer proggresif pada 2017, juga Dewan Pembina YLBHI pada 2002-2008, dan pendiri Sarekat Hijau Indonesia.

 

Chairil Syah, biasa disapa Caca, adalah pegiat lingkungan hidup. Foto: dari Facebook Taufik Wijaya/ Mongabay Indonesia

 

Kecintaannya terhadap alam dan lingkungan hidup, saat dia bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Pecinta Alam [Gemapala] Wigwam Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya [Unsri] awal tahun 1980-an.

“Dia sosok anak muda yang punya rasa ingin tahu kuat. Egaliter. Sangat menyenangkan berdiskusi dengannya selama berjam-jam. Dia mampu menjaga suasana diskusi menjadi tenang, tidak tegang,” kata Sutrisman Dinah, sahabat dan rekannya di Gerakan Mahasiswa Pecintah Alam [Gemapala] Wigwam Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.

Wigwam merupakan kelompok pecinta alam. Kelompok ini rutin melakukan pendakian gunung, juga menjadi kelompok diskusi mahasiswa. Banyak tokoh nasional yang lahir dari Wigwam, misalnya Antasari Azhar [KPK], Munarman [Kontras dan YLBHI], Nur Kholis [Komnas HAM], dan lainn-lain.

Ketika memimpin LBH Palembang 1994-1998, Caca menjadi satu tokoh reformasi di Sumatera Selatan. “Hampir semua tokoh gerakan reformasi di Sumatera Selatan, mulai dari mahasiswa, petani, buruh, seniman, akademisi, kaum miskin kota, politisi [lawan Orde Baru], hasil dari konsolidasi Caca. Dia jadikan LBH Palembang sentra gerakan reformasi di Sumatera Selatan,” kata Tarech Rasyid, tokoh reformasi Sumatera Selatan, sahabat Caca, kini Rektor Universitas Ida Bajumi Palembang.

DD Shineba, aktivis 1998 yang aktif Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengatakan, soal gerakan atau aksi pembelaan terhadap gerakan rakyat, Caca paling konsisten dan paling sering mendampingi. “Kalau perkara ada rakyat kecil ditangkap, pasti, dia langsung memilih menjadi kuasa hukumnya.”

Bagi Shineba, Caca adalah seorang guru, senior dan advokat pendamping rakyat, sosok egaliter hingga semua orang dari segala umur, kalangan, profesi nyaman berdiskusi dengannya.

“Kita benar-benar kehilangan.”

 

Emmy Hafild. Foto : akun facebook Emmy Hafild
Penghargaan dari KLHK bagi para mediang pejuang liingkungan hidup. Foto: KLHK

 

*****

Foto utama: Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat doa dan penghargaan bagi 12 aktivis lingkungan hidup yang sudah berpulang. Di sampingnya, merupakan piagam penghargaan bagi para pejuang itu. Foto: KLHK

Exit mobile version