Mongabay.co.id

Laut adalah Sumber Kehidupan Masyarakat Pulau Nangka

 

 

Pulau Nangka, yang luasnya sekitar 324 hektar, merupakan jejak masyarakat bahari di Kepulauan Bangka Belitung. Masyarakatnya mencari ikan di laut dan berkebun di darat. Sejak ratusan tahun lalu, pulau yang terletak di Selat Bangka ini bebas dari penambangan timah. 

Pulau Nangka adalah bagian dari gugusan pulau di Desa Tanjung Pura, Kecamatan Sungaiselan, Kabupaten Bangka Tengah. Gugusan pulau ini terdiri Pulau Nangka [324 hektar], Pulau Tikus [200 meter persegi], Pulau Begadung [50 hektar], dan Pulau Pelepas [45 hektar]. Saat ini, hanya Pulau Nangka yang dihuni penduduk, sekitar 416 jiwa atau 104 kepala keluarga. 

“Mungkin pulau ini sudah dihuni sejak masa Sriwijaya. Tapi pada masa pendudukan penjajah Jepang, penduduk di pulau ini cukup banyak, sekitar 500 kepala keluarga. Umumnya pelarian dari Pulau Bangka, menghindar dari kekejaman tentara Jepang,” kata Marsidi [66], tokoh masyarakat Pulau Nangka, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [07/8/2021].

Namun, setelah Indonesia merdeka, mereka yang lari ke Pulau Nangka, kembali ke Pulau Bangka. Mereka menyebar di Kabupaten Bangka dan Pangkalpinang. 

Dulunya, pulau yang hanya berjarak sekitar lima kilometer dari daratan Pulau Bangka atau 20-30 menit perjalanan dengan perahu nelayan, dikenal sebagai produsen buah nangka. “Beragam jenis tumbuh subur di sini, sehingga disebut Pulau Nangka. Sayang, saat ini pohon nangka mulai jarang,” ujarnya.

Sejak pertengahan abad ke-19, Pulau Nangka ditanami cengkih. Yang pertama menanam adalah Syaikh Ja’far Siddik atau Datuk Jafar Sidiq, tokoh agama yang juga jawara silat asal Kota Waringin [Kabupaten Bangka].

Datuk Jafar Sidiq menetap di Pulau Nangka atas permintaan warga setempat. Tujuannya, untuk menghalau para lanun/perompak yang sering merampok dan mengganggu perempuan di Pulau Nangka.

Di masa Datuk Jafar Sidiq, berbagai suku menetap di Pulau Nangka. Mulai dari Melayu Bangka, Palembang, Banjar, Johor [Malaysia], Minangkabau, Bugis, dan Jawa. Sebagian besar keturunan tersebut masih menetap di Pulau Nangka. Penghidupan mereka sama, dari laut dan daratan. 

“Dari malam atau subuh hingga pagi, kami mencari ikan di laut. Sementara, siang dan sore kami mengurus kebun. Pagi hari, biasanya perempuan yang mengurus kebun. Kami melaut hanya sekitaran pulau, sebab belasan hingga puluhan meter dari pantai, ikan sudah didapatkan. Selain cengkih, sebagian warga juga menanam lada, dan buahan tahunan seperti durian.”

Baca: Terancamnya Tujuh Suku Melayu di Teluk Kelabat Bangka, Akibat Tambang Timah Ilegal

 

Seorang nelayan mendorong hasil tangkapannya menuju Pesisir Desa Tanjung Pura. Dari kejauhan terlihat Pulau Nangka [kiri], Pulau Begadung [tengah] dan Pulau Pelepas [kanan]. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Di masa kolonial, Pulau Nangka, salah satu sentra cengkih di Kepulauan Bangka Belitung. Pulau lain yang terdapat kebun cengkih yakni Pulau Kelapan di Kabupaten Bangka Selatan, yang saat ini masih terdapat kebun cengkih.

Guna menjaga kebun cengkih, pemerintahan kolonial Belanda juga membangun barak tentara dan kantor dagang cengkih dan ikan. “Sayang, bukti bangunan sudah habis. Batuan bekas bangunannya diambil warga untuk rumah mereka,” kata Marsidi, yang leluhurnya dari Banjar, Kalimantan.

Pada masa penjajahan Jepang banyak pohon cengkih ditebang, diganti tanaman pangan seperti ubi kayu [ketela pohon] dan pisang. Ini dikarenakan saat itu sangat sulit mendapatkan beras serta dipaksa menanam.

Awal 1970-an, ketika banyak permintaan cengkih dari industri rokok, warga Pulau Nangka kembali menanam. Puncaknya 1985, harganya kisaran Rp200 ribu per kilogram. 

Tetapi, awal 1990-an, harga cengkih anjlok hingga Rp2.500 per kilogram. “Masyarakat kecewa. Sebagian mereka menebang, menggantinya tanaman buahan, seperti mangga dan pisang. Ternyata tidak mengembalikan kondisi ekonomi seperti sebelumnya. Harganya terlalu murah.  Pohon mangga banyak ditebang, hanya pisang yang menghasilkan sebab dijadikan keripik pisang,” jelasnya.

Akibatnya terjadi “gelombang kedua” kepergiaan masyarakat di Pulau Nangka. Mereka mencari kehidupan baru di luar. “Tersisa sekitar 23 kepala keluarga. Tapi keturunan 23 kepala keluarga itu kini berkembang menjadi 100-an keluarga,” kata Marsidi yang pernah menjadi kepala dusun selama 23 tahun.

Baca juga: Perairan Tuing yang Dijaga Suku Lom, Kini Terancam Tambang Timah

 

Seorang nelayan mengakut hasil tangkapannya yang akan dijual di Desa Tanjung Pura, Kabupaten Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sebagai informasi, pada 1991, pemerintah Orde Baru mendirikan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh [BPPC] yang dipimpin Tommy Soeharto. BPPC menjadi  satu-satunya pihak yang dapat membeli cengkih dari petani dengan harga semurahnya, dan menjualnya ke pabrik rokok dengan harga mahal. Pada Mei 1998, sebagai bagian reformasi yang dimandatkan IMF untuk mengakhiri monopoli, Presiden Soeharto pun setuju membubarkan BPPC. 

Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, kondisi hutan mangrove di Pulau Nangka, Pulau Begadung, dan Pulau Pelepas, masih baik kondisinya. Jenisnya hampir sama seperti di Pulau Bangka, seperti perepat, bakau, api-api, nyatoh dan lainnya. Selain itu sebagian wilayah juga dipenuhi tutupan pohon, kelapa, durian, mangga, nangka, sukun, rambutan, pisang, serta pohon cengkih yang rata-rata tingginya kisaran 10-15 meter.

“Dulu ada warga menanam sawit karena diberi bibit dari orang di Pulau Bangka. Hasilnya tidak baik, biaya perawatan tinggi dengan luasan terbatas. Pohon-pohon itu akhirnya ditebang jika ada hajatan, diambil umbutnya untuk disayur,” kata Sukarni [42], Kepala Dusun Pulau Nangka, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [08/8/2021].

Dijelaskan Sukarni, masyarakat di Pulau Nangka tidak mengenal penambangan timah. “Dari para orang tua, sejak dulu tidak pernah ada penambangan timah. Saat musim penambangan timah laut pun, tidak ada penambangan timah di sini,” jelasnya.

 

Beberapa tahun terakhir, hasil tangkap nelayan di Pulau Nangka menurun. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ikan mulai berkurang

Dibandingkan sebelumnya, hasil melaut masyarakat di perairan Pulau Nangka [Pulau Begadung dan Pulau Pelepas] mulai menurun. “Dulu sekali melaut, dari malam atau subuh hingga pagi, dapat minimal 10 kilogram udang jerbung. Sekarang, paling banyak lima kilogram. Untungnya, harga udang bisa diandalakan,” kata Ansor Sumin [43], warga Pulau Nangka.

Menurut Ansor, berkurangnya populasi ikan dan udang dikarenakan banyak nelayan dari luar [Pulau Bangka dan Sumatera Selatan] yang mencari di perairan Pulau Nangka, menggunakan kapal trawl. “Trawl itu itu kan menghabisi apa saja. Ikan besar dan kecil ditangkap, termasuk terumbu karang tempat ikan bertelur dan hidup rusak,” katanya.

Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, terlihat sejumlah kapal trawl berlabuh di Pulau Nangka, Pulau Pelepas, dan Pulau Begadung. “Mereka berlabuh di sini sambil menunggu malam,” kata seorang nelayan.

Ikan yang menjadi andalan dari Pulau Nangka umumnya ikan karang, bawal, kerapu, talang, selanget, teri, sert udanga.

Setiap jenis ikan ini memiliki alat tangkap. Misalnya, jaring talang untuk menangkap ikan talang, jaring bawal [ikan bawal], jaring selanget [ikan selanget], jaring udang [udang], bagan tancap [ikan teri], serta pancing ulur, rawai, dan bubu.

Perbedaan antara jaring talang, selanget, bawal, dan udang, terletak pada ukurannya [panjang dan lebar], pelampung, pemberat, dan mesh size atau ukuran lubang. Jaring yang digunakan pada bagan tancap sifatnya tetap, sedangkan lainnya dapat berpindah karena menangkapnya di sekitar terumbu karang. Sementara bubu, baik yang dibuat menggunakan bambu atau kawat, hanya digunakan pada saat musim kemarau. 

 

Pulau Nangka pernah menjadi sentra penghasil cengkih di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menolak perusahaan tambak

Berdasarkan Peraturan Daerah RZWP3K [Renzana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil] Kepulauan Bangka Belitung tahun 2020, Pulau Nangka ditetapkan sebagai zonasi perikanan budidaya, sehingga kemungkinan besar ke depannya akan dikembangkan pertambakan udang atau ikan.

“Kalau pertambakan itu dilakukan warga di pulau ini, mungkin kami setuju, sebab luasannya pasti terbatas. Kalau diusahakan perusahaan, jelas kami tidak setuju, sebab akan menghabisi kebun kami, serta merusak  mangrove dan laut. Limbah pangan dan obat-obatan dari tambak itu yang berbahaya, dapat merusak karang sehingga ikan berkurang,” kata Sukarni.

Jika dijadikan buruh pada perusahaan tambak tersebut, tidak akan meningkatkan kesejahteraan warga Pulau Bangka. “Dari mencari ikan dan berkebun pendapatan kami sebulan kisaran Rp6-8 juta. Itu sebenarnya cukup besar, sebab sebagian kebutuhan hidup kami tidak membeli. Tapi uang kami habis karena menyekolahkan anak. Sebab di sini tidak ada SMP dan SMAN. Kami harus menyekolahkan anak ke luar pulau ini. Nah, biaya makan dan penginapan yang harus kami sediakan, bukan hanya biaya sekolahnya,” kata Ansor Sumin.

Warga mungkin mau mengembangkan tambak, jika mereka punya modal dan ilmunya. “Tapi sepertinya itu sulit,” paparnya.

 

 

Exit mobile version