Mongabay.co.id

Belajar dari Kasus Warga Kenanga, Menang dengan Pembelaan Anti-SLAPP

Protes warga atas pemcemaran pabrik tapioka di Bangka, beberapa waktu lalu.

 

 

 

 

Bau busuk dari aktivitas pabrik tapioka sudah mulai tercium pada 2017. Warga mulai gusar dan puncak konflik terjadi Desember 2019. PT Bangka Asindo Agri (BAA), perusahaan tapioka di Bangka Belitung, yang jadi penyebab berdiri tanpa melibatkan masyarakat dan tak menyosialisasikan dampak lingkungan yang kemungkinan timbul. Warga pun menggugat malah terkena kasus pemalsuan. Proses berliku, dan berujung kemenangan warga!

“Aroma ampas tapioka itu yang mengendap, bau kuat busuk, masuk ke rumah dan bikin sesak,” kata Heti, warga Kelurahan Kenanga, Sungailiat, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung.

Bau itu terus muncul tak kenal waktu dan jadi keseharian warga Kenangan dan sekitar.

Jarak BAA dengan pemukiman sekitar satu kilometer dan lokasi perusahaan di kelilingi beberapa perkampungan. Bau, membuat pusing dan mual, terlebih saat tiga tahun pertama. Bahkan anak Heti, sejak lahir hingga usia 10 bulan mengalami masalah paru-paru dan jantung.

“Kalau bau busuk datang, muntah aja, mual. Ya, emang pusing.”

Dia terus menyuarakan protes pencemaran udara dan air oleh BAA melalui sosial media. Bersama warga Kelurahan Kenanga lain, dia pun sempat mediasi di kelurahan hingga ke bupati, namun gagal. Perusahaan tak ada itikad baik.

Akhirnya, enam warga, termasuk Heti memutuskan melakukan gugatan perwakilan kelompok (class action) kepada pabrik itu.

Sayangnya, mereka malahan dilaporkan dan terjerat Pasal 228 KUHP terkait penyalahgunaan kewenangan dan pemalsuan.

Pelaporan itu bukan oleh perusahaan, tetapi warga Kelurahan Kenanga yang lain.

Mereka kena vonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Sungailiat dan ditahan selama 22 hari. Akhirnya mereka bebas melalui putusan PT Bangka Belitung.

Pada pertengahan Mei 2021, Pengadilan Tinggi (PT) Bangka Belitung memutuskan membebaskan enam warga Kenanga dari segala tuntutan dan memulihkan seluruh hak mereka. Putusan ini berdasarkan pada pertimbangan asas pasal anti strategic lawsuit against public participation (anti-SLAPP) yang tertuang dalam Pasal 66 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Muhnur Satyaprabu, anggota tim penasihat hukum warga Kenanga mengatakan, kasus masyarakat Kelurahan Kenanga ini bisa jadi pembelajaran. Dari proses hukum warga Kenanga ini terlibat betapa masih rawan kriminalisasi pejuang lingkungan di daerah.

“Tidak ada proteksi yang maksimal. Akses antar penegakan hukum dari penyidikan hingga penuntutan juga sangat kuat hingga melemahkan kontrol masyarakat dan memperkuat penyalahgunaan wewenang,” katanya dalam media briefieng, baru-baru ini.

Dia bilang, Pasal 66 UU Nomor 32 /2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bisa untuk mencegah dan menangani tindakan pembalasan kepada orang atau kelompok yang memperjuangkan lingkungan hidup (anti-SLAPP).

Pasal ini menegaskan, masyarakat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat perdata. Pasal ini juga digunakan dalam gugatan yang menimpa enam warga Kenanga yang memperjuangkan lingkungan bersih dan sehat.

“Ketentuan anti SLAPP menjadi hal baru di daerah. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pengacara dan lembaga lingkungan di daerah agar perlu lebih memahami ketentuan ini,” kata Muhnur.

 

Kolam limbah pabrik tapioka yang munculkan bau.

 

Namun, katanya, eksepsi terkait anti-SLAPP awalnya tidak jadi pertimbangan serius hakim karena banyak dari mereka belum memahami seluruh ruang lingkup kegiatan dari pejuang lingkungan. Sisi lain, eksepsi anti-SLAPP juga tak cukup kuat tanpa ada pembuktian.

Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyebutkan, putusan pengadilan tinggi mempertimbangkan dengan baik kalau Pasal 66 UU Lingkungan Hidup memiliki kaitan erat dengan Pasal 28 H Ayat 1 UUD 1945, yakni terkait hak masyarakat untuk mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat.

“Ini menjadi momentum mengatur kebijakan yang lebih baik terkait anti-SLAPP,” katanya.

Selain itu, katanya, ini juga momentum baik bari para penyidik untuk meningkatkan koordinasi penegak hukum secara terpadu. Di mana tercantum dalam Pasal 95 UU-PPLH, mengenai institusi lingkungan mampu berkoordinasi dengan kejaksaan dan kepolisian.

 

 

Alot

Heti mengatakan kemenangan ini sebagai bentuk perjuangan yang perlu terus mereka lanjutkan. Sekaligus menyadarkan kepada masyarakat kalau lingkungan hidup itu penting.

“Tidak ada negara yang menyediakan udara, jdi kitalah yang harus menyelamatkan hidup kita. Kalau kita diam, takut, siapa yang akan menyelamatkan kita kalau bukan kita sendiri?” kata Heti.

“Perjuangan ini tetap berlanjut. Harapan kami saat ini tinggal di Gakkum (Balai Penegakan Hukum KLHK) karena harapan kami di pemerintah kabupaten dan pemerintah kota sudah tidak bisa lagi. Ada titik terang dari Gakkum. Insya Allah berjalan. Kami tetap nunggu.”

Dalam RDPU di Komisi IV DPR, Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum mengatakan, hasil verifikasi di lapangan membenarkan ada permasalahan lingkungan hidup seperti disampaikan masyarakat. Klarifikasi persoalan selalu dilakukan oleh kementerian, sayangnya BAA malah melakukan perlawanan.

“Kami mengundang berkali-kali klarifikasi ke BAA dan DLH Bangka, namun pengurus BAA tak hadir. Kemudian kami minta klarifikasi terhadap persoalan itu, tidak hadir juga,” katanya.

Bahkan dua kali, penasehat hukum BAA melakukan pengaduan melalui surat perlindungan hukum atas dugaan kriminalisasi terhadap perusahaan oleh oknum pejabat KLHK atau Dinas Lingkungan Hidup Bangka. Langkah ini dilakukan untuk menghalangi proses penyidikan.

Saat KLHK melakukan pengawasan dengan mengirim tim pengawas, penyidik, ahli dan petugas laboratorium malah dihalang-halangi. BAA juga menolak menandatangani semua berita acara yang dibuat tim Gakkum.

Temuan lapangan, ada tumpukan limbah padat berupa onggokan yang jadi salah satu sumber bau di masyarakat. “Hasil pengukuran parameter kita, methyl mercaptan, itu melebihi baku mutu bau menyengat itu. Kita memamg masih temukan bau di sekitar pemukiman,” katanya.

“Dengan surat Bupati (Nomor 660), karena izin kan dari daerah, kemudian juga ada pernyataan dari perusahaan untuk perbaiki di Desember 2019, tapi sampai dengan Maret (2020), bahkan sampai sekarang masih bau,” kata Roy, sapaan akrabnya.

Arifin Joshua Sitorus, pengacara BAA mengelak. “Hubungan BAA dengan masyarakat Kenanga berjalan sangat baik, baik sejak berdiri, bahkan tanah tempat berdiri BAA pun diperoleh dari masyarakat setempat,” katanya.

Dia pun mengelak ada sanksi administrasi yang dialamatkan ke BAA yang berbentuk KTUN. Sanksi administrasi yang berbentuk KTUN diterima BAA baru kemarin, 5 April 2021. “Jika (KLHK) menganggap ada surat bupati 660 sebagai sanksi administrasi, surat ini juga sudah dipatuhi BAA. Surat ini sudah dijawab BAA dan sudah dilaksanakan.”

Firdianto, Direktur Utama BAA menyebutkan, bau yang sampai ke pemukiman karena proses biogas yang belum aktif dalam mengurai limbah. Ada jeda waktu yang terkaji, dia mengklaim 2019, praktis sudah hilang.

Seluruh limbah BAA, katanya, sudah memenuhi baku mutu uji parameter dan menjadikan perusahaan satu-satunya produsen tapioka dengan air limbah yang menggunakan recycle processed water.

“Jadi, ini sistem pengolahan limbah integrasi. Setelah dari kolam biogas, diolah secara biologis di open lagoon. Yang kita kembangkan ini model integrated green tapioca industry. Saya ingin di kancah internasional kita mendapat label green sebagai industri tapioca yang pertama.”

 

Pabrik tapioka di Bangka.

 

       

Perlu regulasi kuat

Selama ini, pembela hak atas lingkungan hidup sebagai subyek tidak disebutkan dalam UU-PPLH. Namun, kata Munhur, secara eksplisit dalam Pasal 66, menyatakan, “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Definisi pembela hak atas lingkungan ini juga tidak didefinisikan di UU HAM.

Dalam kesempatan berbeda, Sandrayati Moniaga, Komisioner Komnas HAM mengatakan, definisi pembela HAM menurut Peraturan Komnas HAM Nomor 5/2015 tentang Prosedur Perlindungan Terhadap Pembela HAM.

Pembela HAM adalah orang dan atau kelompok dengan berbagai latar belakang termasuk mereka dari korban, baik sukarela maupun mendapatkan upah yang melakukan kerja-kerja pemajuan dan perlindungan HAM dengan cara-cara damai.

“Meski perlindungan HAM sudah diakui dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundangan tapi sistem HAM berbasis korban dan berbasis pembela HAM itu belum tersedia secara memadai,” katanya.

Tantangan saat ini, katanya, serangan dan ancaman pada para pembela HAM masih sangat tinggi. Berdasarkan catatan Tim Pembela HAM pada 2020, ada 11 kasus pembela HAM, terdiri dari tiga kasus kriminalisasi, intimidasi dan ancaman, dua kasus penangkapan sewenang-wenang dan satu kasus dugaan kekerasan hingga menyebabkan kematian.

“Angkanya memang berbeda jauh, karena tidak semua korban HAM melapor ke Komnas.”

Villarian Burhan, peneliti Elsam mengatakan, merujuk pada definisi yang dipakai dalam dokumen PBB, pengakuan terkait pembela HAM atas lingkungan, salah satu ditentukan bagaimana subyek yang mendapatkan “gelar” itu mengakui asas universalitas HAM. “Apakah rumusan ini relevan untuk advokasi ke depan? ”

Dia pun mendesak, ada perumusan individu yang masuk kategori sebagai pembela HAM.

Sandra bilang, Komnas HAM sedang memperbaiki peraturan Komnas HAM Nomor 5/2015 dan membuat kajian serta penyusunan standar norma dan pengaturan (SNP) tentang pembela HAM.

“Ini (SNP) akan menjadi dokumen yang bisa menjadi rujukan bagi para penegak hukum dan masyarakat masyarakat ketika ada peristiwa yang melibatkan pembela HAM atau upaya yang mewujudkan perlindungan bagi pembela HAM.”

Herlambang P Wiratraman, peneliti Pusat Studi Hukum HAM Universitas Airlangga menyebutkan, Pasal 66 tak cukup memadai untuk melindungi pejuang lingkungan di tengah ancaman dan kriminalisasi yang terus meningkat.

“Upaya mitigasi atas ancaman dan penegakan perlindungan pembela HAM mendesak. Apalagi, konteks politik hukum yang makin berorientasi pada kepentingan modal di sektor tambang, perkebunan sawit atau industri ekstraktif lain.”

Dia bilang, ada tiga upaya mitigasi dalam persoalan perlindungan terhadap pejuang lingkungan. Pertama, membuat peraturan perundang-undangan lebih sesuai standar perlindungan hukum, terutama deklarasi pembela HAM.

Kedua, bersikap transparan kasus-kasus serangan terhadap pembela lingkungan. Ketiga, menerapkan strategi pelembagaan perlindungan pembela HAM yang lebih efektif, antara lain, kewenangan Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harus bekerja lebih optimal.

Mas Achmad Santosa, ahli hukum mengatakan, regulasi terkait anti-SLAPP mendesak selama Indonesia belum mampu menyinkronkan antara perlindungan terhadap daya dukung ekosistem, pemanfaatan sumber daya berkelanjutan, serta distribusi pemanfaatan sumber daya yang adil dan merata.

“Kriminalisasi pejuang lingkungan akan terus terjadi dalam kondisi kebebasan sipil dan penegakan hukum tidak berjalan.”

Indonesia, katanya, perlu meniru regulasi di California, misal, yang memiliki aturan kuat terkait anti-SLAPP. Hal dasar anti-SLAPP diatur dalam California Civil Procedures Code Pasal 425.16/2019. Regulasi ini mampu memberikan kesempatan kepada tergugat untuk menggugat balik atau dikenal dengan istilah SLAPP-back.

Dia mengatakan, seseorang yang menolak gugatan SLAPP di California harus membuktikan kalau dia digugat berdasarkan perbuatan terkait kebebasan yang dijamin dalam Konstitusi Amerika Serikat.

 

 

*****

Foto utama: Protes warga atas pemcemaran pabrik tapioka di Bangka, beberapa waktu lalu.

Exit mobile version