Mongabay.co.id

Berenang Seberangi 1,8 Mil Laut, Cara AMPM Menolak Maluku Sebagai Lumbung Ikan Nasional

 

Seorang anggota Aliansi Masyarakat Pesisir Maluku (AMPM), M Yusuf Sangadji, nekat berenang menyeberangi laut sepanjang 1,8 mil atau tiga kilometer, demi menolak Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN).

Sangadji berenang secara solo pada Senin (16/8/2021) pagi dengan ditemani anggota AMPM dalam speedboat bertuliskan Aliansi Masyarakat Pesisir Maluku Tolak LIN dan Ambon New Port.

Pria 29 tahun itu berenang selama dua jam dari pesisir Pantai Desa Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, dan berakhir di Pulau Pombo, destinasi wisata ternama di Maluku.

Desa Waai menjadi lokasi aksi AMPM, karena pelabuhan terpadu untuk mendukung sarana dan prasanan (sarpras) LIN akan dibangun di situ. Namun aksi ini sempat dicegah Pemerintah Desa Waai dan Aparat Kepolisian, lantaran tidak ada pemberitahuan lebih awal.

“Ada sedikit hambatan dari pihak Kepolisian dan Pemerintah Desa. Alasannya, katong (kita) tidak punya pemberitahuan ke Pemerintah Desa Waai,” kata Sangadji, kepada Mongabay, Senin (16/8/2021).

Dia takut membayangkan pembangunan infrastruktur pendukung Maluku-LIN bakal berdampak terhadap ekosistem karang dan biota laut di kawasan Pulau Pombo. Sehingga dia berharap agar pemerintah tidak mengambil kebijakan yang dapat merugikan orang banyak.

“Saya sedih melihat ekosistem terumbu karang di Pulau Pombo. Pembangunan Ambon New Port dan Pelabuhan Terpadu akan berdampak hingga ke Pulau Pombo,” kata Sangadji.

Sementara Abdul Rakib Soumena, Koordinator aksi mengatakan proyek nasional LIN dan pembangunan Ambon New Port akan merusak sumber daya laut dan pangan orang di Seribu Pulau (sebutan lain untuk Maluku).

baca : Presiden Jokowi Targetkan Program LIN Maluku Beroperasi 2023

 

M Yusuf Sangadji, berenang solo menyebrangi laut sepanjang 3 kilometer didampingi speedboad bertuliskan Aliansi Masyarakat Pesisir Maluku bertuliskan Tolak LIN dan Ambon New Port. Foto: Haris Far

 

LIN untuk Elit Politik dan Investor

Rakib mengatakan pada 27 Juli 2021 kemarin, Pemerintah Provinsi Maluku melakukan rapat secara virtual bersama Pemerintah Pusat, dihadiri Presiden Joko Widodo, dengan agenda membahas masa depan proyek Maluku-LIN.

Dalam rapat itu, Jokowi menyetujui Maluku-LIN dimasukan dalam Proyek Strategi Nasional (PSN). Presiden juga telah bersedia melakukan kunjungan kerja ke Ambon untuk peletakan batu pertama Ambon New Port, yang akan menjadi salah satu infrastruktur LIN.

Ihwal itu, kata Rakib, Pemprov Maluku telah menyiapkan lahan atau tanah sebesar 900 hektar bagi pembangunan pelabuhan dan pusat kegiatan ekonomi Maluku-LIN. Salah satu lokasi untuk pembangun tersebut berada di antara Desa Waai dan Liang.

“Sejak proyek ini diusung Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2010 hingga Era Jokowi, pengetahuan terkait Maluku-LIN hanya berputar-putar di lingkaran para elit Maluku, seperti politikus, birokrat, peneliti, serta aktivis pemberdayaan. Artinya, isu ini tidak berkembang luas ke lapisan masyarakat termasuk nelayan kecil dan menengah,” kata Rakib.

Menurutnya, politik dan bisnis gagal menurunkan wacana pembangunan yang elitis, menjadi pembangunan ekonomi berbasis masyarakat nelayan. Hal itu terlihat dari narasi yang mengemuka tentang LIN yaitu pembangunan ekonomi yang digagas hanya berorientasi pasar, seperti peningkatan ekspor, peningkatan produksi perikanan, pembangunan hubungan ekonomi, pertumbuhan dan peningkatan kas daerah.

“Nah, tidak ada narasi ekonomi berbasis masyarakat yang disinggung, seperti peningkatan kesejahteraan nelayan, dan pengelolaan lingkungan yang berbasis ramah dan konservasi. Karena itu, AMPM melayangkan protes ini, dan itu dilakukan dengan cara menyeberangi laut sepanjang tiga kilometer,” tegasnya.

Selain itu tidak ada pendekatan kebijakan yang mencerminkan pandangan nelayan di Maluku tentang LIN seperti kesejahteraan nelayan.

Sehingga AMPM berpendapat, kata Rakib, Maluku-LIN hanya berdampak merusak sumber daya laut dan pangan orang Maluku, mematikan ekosistem konservasi di Pulau Pombo, menguntungkan politikus, investor atau nelayan besar, mematikan nelayan kecil dengan alat tangkap terbatas, dan menciptakan buruh murah serta praktik perbudakan.

baca juga : Pemerintah Tinjau Lokasi Pelabuhan Terpadu di Maluku, Apakah LIN Segera Terwujud?

 

Yusuf Sangadji saat membacakan pernyataan sikap dan dukungan dari berbagai organisasi yang menolak pembangunan LIN dan Ambon New Port. Foto: Haris Far Far

Tuntutan AMPM

Adapun tuntutan AMPM, pertama menolak LIN dibangun di Maluku, kedua segera menghentikan rencana pembangunan Ambon New Port sebagai salah satu pusat kegiatan ekonomi LIN di Waai, dan keempat mendesak Pemerintah Daerah dan Pusat secara terbuka melibatkan masyarakat Maluku dalan proyek ekonomi perikanan.

Berbagai asumsi juga pernah disampaikan oleh sejumlah kalangan di Maluku. Seperti menilai, Pemerintah saat ini lebih banyak bicara soal isu-isu populis secara politik, seperti lapangan pekerjaan maupun pendidikan gratis, ketimbangkan ihwal lain yang bermanfaat untuk kepentingan Maluku dan nelayan kecil.

Karena dari sektor perikanan, Maluku sangat berpotensi dan menjanjikan. Paling besar berasal dari perikanan tangkap, yang diperkirakan mencapai 4,6 juta ton atau 37 persen dari 12,5 juta total potensi sumber daya ikan nasional.

Sisi lain, di Maluku ada tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara RI, yakni 714 (Laut Banda), 715 (Laut Maluku dan Pulau Seram), serta 718 (Laut Arafura). Karena itu Pemerintah dan DPRD harus mengeluarkan sebuah konsep tentang Provinsi Kepulauan yang utuh, untuk pengelolaan dan pewadahan. Sehingga Maluku juga mendapatkan kebijakan anggaran yang adil dan kuat dari proyek besar itu.

Dengan demikian, porsinya bisa meretas problematik lokal seperti kemiskinan, infrastruktur dan lain-lain. Agar fungsi-fungsi perekonomian dan pembangunan bisa bergerak cepat, dan itu harus ada dalam satu kebijakan anggaran yang adil.

perlu dibaca : Support LIN, Maluku Harus Cerdas dan Bijak Kelola Kekayaan Lautnya 

 

Aliansi Masyarakat Pesisir Maluku (AMPM) membentangi baliho sepanjang empat meter, yang bertuliskan Tolak LIN dan Ambon New Port. Foto: Haris Far Far

 

Wilayah Konservasi

Abdul Haris Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku mengatakan proyek LIN dilakukan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, dimana aspek eksploitasi sektor perikanan dibarengi dengan tindakan konservasi sebagai kontrol pengelolaan sumber daya.

Dia mengatakan ada 13 kawasan konservasi di Maluku, dua menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu Suaka Alam Perairan Aru Tenggara dan satunya lagi Taman Wisata Perairan Laut Banda, sementara 11 sisanya menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.

Enam kawasan, ungkap dia, sudah ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, yakni Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Kei Kecil Maluku Tenggara, Kon Seram Bagian Timur, Buano Seram Bagian Barat, Seram Utara Barat di Maluku Tengah, Ay dan Rhun di Banda, dan satunya lagi Perairan Lease.

“Jadi sudah ada enam kawasan konservasi yang telah ditetapkan Kementerian demi menuju pengelolaan,” kata Abdul Haris kepada Mongabay, Senin (9/8/2021).

Sementara limanya lagi masih diinisiasi oleh pemerintah, yakni di Kepulauan Tanimbar, Maluku Barat Daya, Buru dan Buru Selatan. Semua kawasan konservasi ini, kata Haris, ditujukan untuk bagaimana menjaga kelestarian ekosistem dan sumber daya laut agar stok sumber daya ikan tetap terjaga.

“Jadi sekali lagi Maluku-LIN meliputi dua aspek tersebut, bukan saja eksploitasi tapi soal konservasi untuk menjaga sumber daya dan ekosistem laut. Paradigma yang dibangun dalam LIN ini adalah paradigma dari hulu sampai hilir, jadi tidak hanya sektoral tapi menyeluruh,” katanya.

baca juga : Jemput LIN, Maluku Harus Siapkan SDM, Etos Kerja dan Bicara Anggaran

 

Dari kiri : Gubernur Maluku Murad Ismail, Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Ladahalia mengunjungi kawasan Pelabuhan Terpadu sebagai pengembangan Lumbung Ikan Nasional di Desa Liang dan Waai Kabupaten Maluku Tengah, Jumat (5/2/2021). Foto: KKP

Maluku-LIN menjadi model pengelolaan terpadu yang terintegrasi dengan menggunakan konsep hulu dan hilir. Sehingga diharapkan semua aspek terakomodir. Sisi lain, semua pelaku usaha perikanan di seluruh kabupaten/kota ikut berperan dalam implementasi LIN.

Pelaku utama itu, lanjut dia, ada tiga yakni, nelayan pembudidaya, pengelola dan pemasar hasil. Sementara pelaku usaha perikanan yang berbentuk badan hukum maupun perorangan. Sehingga semua pihak dilibatkan dalam pelaksanaan LIN

Pemerintah sendiri, katanya, membuka investasi lokal maupun luar untuk mendukung implementasi LIN. Prinsipnya, LIN ini pasti melahirkan dampak yang luas di kalangan masyarakat, baik negatif dan positif.

“Kita tidak menutup mata dari itu. Yang namanya dampak, pasti ada negatif dan positif. Misalnya, warga yang tinggal di kawasan 700 hektar maupun 200 hektar untuk pembangunan sapras pendukung itu, akan terdampak. Mereka mereka harus dipindahkan atau direlokasi. Jadi pemerintah akan ganti rugi secara memadai sesuai dengan aturan yang berlaku. Misalnya seperti itu, dan itu sedang diupayakan pemerintah ke pusat,” ujar Haris.

Dampak negatif lain yang bisa ditimbulkan, sambungnya, mungkin ada hal-hal kecil seperti dampak lingkungan. Ini akan diantisipasi melalui Analisis Dampak Lingkunga (AMDAL). Dia katakan AMDAL Ambon New Port sedang dibuat oleh Kementerian Perhubungan. Mereka juga akan membuat AMDAL untuk kawasan Pusat Perikanan Terpadu pada lahan 700 di Desa Waai.

“Dibalik dampak negatif ada dampak positif. Dampak positif ini yakni, bisa meningkat kesejahteraan masyarakat, dimana akan terjadi rotasi uang yang luar biasa. Masyarakat bisa membangun usaha-usaha mereka di kawasan Pelabuhan Terpadu dan Ambon New Port,” katanya.

Dia berharap, seluruh elemen masyarakat di Maluku sama-sama mendukung Maluku sebagai LIN. Karena LIN memiliki manfaat yang sangat besar untuk kesejahteraan masyarakat Maluku.

 

Exit mobile version