Mongabay.co.id

Semakin Sehat dan Buas, Kajian Pelepasliaran Harimau Batua Tetap Dilakukan

Batua saat keluar kandangnya di Taman Konservasi Lembah Hijau, Minggu [16/7/2020]. Foto: Dok. SKW III Lampung BKSDA Bengkulu-Lampung

 

 

Anda masih ingat harimau sumatera bernama Kyai Batua yang berada di Taman Konservasi Lembah Hijau, Lampung? Harimau jantan usia 7 tahun ini diselamatkan dari jerat pemburu di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS].

Batua adalah singkatan dari Batu Ampar, tempat ia ditemukan di Desa Batu Ampar, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat, Lampung. Sementara Kyai artinya kakak.

Senin lalu [16/8/2021], Batua direncanakan akan dilepaskanliarkan di Wilayah II Bengkunat, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS]. Namun, menjelang hari pelepasan, rencana itu ditunda, dikhawatirkan masih merebaknya virus African Swine Fever [ASF] atau virus babi afrika.

“Memang ada kekhawatiran tentang virus itu. Kami mengkaji lagi calon habitat pelepasliaran Batua, apakah satwa mangsa cukup atau tidak. Kita tunggu hasil survei ulangnya,” kata Irhamuddin, Pengendali Ekosistem Hutan SKW III Lampung BKSDA Bengkulu-Lampung kepada Mongabay Indonesia, Selasa [17/8/2021]. 

Dia menjelaskan, tim lapangan memastikan apakah masih ada kasus ASF atau tidak. “Kalau tidak ada masalah, Batua bisa kembali ke hutan, tidak di kandang lagi.”

Di Lembah Hijau, Batua ditempatkan di sebuah kandang enclosure yang terdiri tiga bagian, yaitu kandang tidur, kandang jepit, dan kandang luar [exhibit enclosure]. Kandang tidur berbentuk persegi panjang, disekat menjadi ruang-ruang lebih kecil berbentuk segi empat. Substrat kandang tidur berupa beton tanpa variasi. 

Kandang tidur yang digunakan Batua berseberangan dengan kandang tidur Vidi. Harimau sumatera berumur 15 tahun, yang berasal dari Taman Satwa Taru Jurug, Solo, Jawa Tengah, yang didatangkan ke Lembah Hijau pada 12 September 2020 .

Menurut Irham, hingga September 2020, Batua telah menjalani rehabilitasi lebih dari 450 hari. Rehabilitasi dilakukan sebagai suatu cara untuk memastikan kesejahteraan satwa, terjamin selama dalam proses pemulihan dari luka yang diderita. 

Proses rehabilitasi diiringi pemeriksaan kesehatan lengkap dan rutin. “Kesehatan Batua sangat baik tanpa adanya gangguan permanen, selain kaki depan yang diamputasi.” 

Mengutip Kompas.com, Direktur Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem [Ditjen KSDAE] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], Wiratno, setelah mengunjungi Batua di kandang rehabilitasi di Lembaga Konservasi Lembah Hijau, Kamis [19/8/2021], mengatakan akan ada kajian lagi untuk pelepasliaran Batua ke habitat aslinya. Ada prinsip kehati-hatian.  

Menurut Wiratno, pihaknya akan membuat kandang habituasi di TNBBS, Resort Sukaraja. Konsep kandang seluas 1 hektar ini direncanakan mengadopsi Suaka Rhino Sumatera [SRS] di Taman Nasional Way Kambas [TNWK]. “Dengan begitu, Batua bisa berburu alami sebagai persiapan kembali ke hutan.”

Persiapan tersebut diperkirakan sekitar 6 hingga 10 bulan ke depan. Menurut Wiratno, jika setelah masa habituasi tersebut Batua dinyatakan layak, maka akan segera dilepasliarkan ke alam.

Baca: Kisah Sedih Harimau Batua yang Menghuni Taman Lembah Hijau

 

Batua saat keluar kandangnya di Taman Konservasi Lembah Hijau, Minggu [16/7/2020]. Foto: Dok. SKW III Lampung BKSDA Bengkulu-Lampung

 

Pola kebiasaan 

Terkait perilaku, kesehatan, dan kesejahteraan Batua, tim BKSDA SKW III Lampung, Forum HarimauKita, Wildlife Conservation Society ‐ Indonesia Program, Amanah Veterinary Services, dan Lembah Hijau telah membuat kajian. Hasil analisisnya menyimpulkan, perilaku Batua masih sesuai dengan pola perilaku alami satwa sejenis di habitat aslinya. 

Adaptasi stereotipe Batua yang masih sangat minim dapat teratasi dengan pemberian pengayaan [enrichment]. “Sedangkan perilaku teritorial, waspada, dan elusif ditunjukkan dengan baik, adanya perilaku yang termasuk dalam kategori interaksi dan survival,” tulis kajian itu.

Terkait pertahanan diri seperti eksplorasi wilayah, pengenalan objek-objek di sekitar lingkungan, dan kemampuan melumpuhkan mangsa ditunjukkan dengan baik. “Status kesejahteraan – kesehatan subjek cukup baik [very good adaptive health & welfare].”

Tim kaji mengamati perilaku batua dengan cara bertahap. Tahap pertama dilakukan pada 1 Desember 2020. 

“Subjek dikeluarkan ke enclosure pukul 16.00 WIB dan tetap tinggal di kandang luar hingga tiba saatnya rotasi pada pukul 10.00 di hari berikutnya. Selama masa observasi, bagian depan kandang ditutup terpal kamuflase untuk meminimalisir kontak mata antara subjek dengan manusia.” 

Observasi tanpa perlakuan ini berlangsung selama 6 hari. Jadwal perawatan rutin seperti pemberian pakan, pembersihan kandang, dan pemeriksaan kesehatan tidak berubah. 

Tahap kedua dimulai pada 7-14 Desember 2020. Tim kaji memberika perlakuan stimulus olfaktori pada 7-8 Desember 2020 dengan dua pengulangan. Perlakuan mangsa hidup kecil diberikan pada tanggal 10-12 Desember 2020 dengan tiga pengulangan. Perlakuan mangsa hidup besar diberikan pada 14 Desember 2020 dengan satu pengulangan. 

Tahap ketiga, mengobservasi dampak pemberian pengayaan pasca-pengayaan dihentikan. Tahap ini dilakukan dengan mekanisme hampir sama tahap pertama, yaitu observasi tanpa intervensi. Jadwal pemberian pakan, pemeriksaan kesehatan, dan pembersihan kandang kembali dilakukan sesuai kebiasaan sebelumnya. Pengambilan data hanya dilakukan pada sore hingga pagi hari berikutnya [pukul 16.00 – 10.00].

“Secara umum, subjek teramati mampu melakukan aktivitas dasar dengan baik, tanpa gangguan berarti dari bagian tubuh yang diamputasi. Reaksi subjek terhadap keberadaan manusia masih alami dengan terlihatnya kecenderungan menghindar dan bersikap agresif.” 

Baca: Ingat Harimau Batua yang Kena Jerat Pemburu? Begini Kondisinya

 

Batua, meski kaki kanan depannya diamputasi tetap buas. Foto: Pengendali Ekosistem Hutan [PEH] SKW III Lampung BKSDA Bengkulu

 

Sedangkan reaksi subjek terhadap proses penanganan atau pemangsaan pakan kecil dinilai baik. Mangsa kelinci pada ketiga pengulangan berhasil dilumpuhkan dan dimakan. Bagian yang dimakan berkisar antara 70 – 90 persen dari total pakan yang diberikan, sesuai literatur mengenai kebiasaan makan harimau di alam. 

Pada proses pemberian pakan besar berupa babi hutan, reaksi subjek terhadap dinilai baik dengan kemampuan mematikan dalam total waktu pencengkraman 2,5 menit. Kondisi babi hutan ditinggalkan setelah proses menyerang dan menggigit selesai, dan pengamatan di pagi hari setelahnya memperlihatkan kondisi sisa karkas babi hutan dalam kondisi luka pada bagian tengkuk dan sekitar anus. 

Karkas babi hutan diangkat satu hari setelah pemberian dan bekas-bekas yang tertinggal di substrat kandang dibersihkan dengan air. 

“Observasi lanjutan setelah pemberian pakan besar menunjukkan fakta bahwa kondisi karkas babi hutan belum dimakan oleh subjek. Robekan atau luka yang terjadi pada anus disebabkan aktivitas gigitan subjek di area tersebut.” 

Semua kajian tersebut dilakukan mulai dari pemeriksaan medis, habitat, dan perilaku. Hasilnya menunjukkan, Batua layak untuk dilepasliarkan kembali ke hutan.

Baca juga: Virus Menular ASF, Ancaman Serius Populasi Satwa Liar Dilindungi

 

Batua yang tetap liar meski dalam perawatan. Foto: Pengendali Ekosistem Hutan [PEH] SKW III Lampung BKSDA Bengkulu – Lampung

 

Perhatian khusus

Ahmad Faisal, Ketua Forum HarimauKita, mengatakan Batua lebih baik dilepaskan ke habitat alaminya. Dia sangat yakin harimau sumatera itu bisa bertahan di dalam liar, hal itu terbukti tubuhnya yang sehat, kuat, dan buas. 

Untuk penyakit ASF yang terkonfirmasi di populasi babi liar di Sumatera, ia menegaskan memang butuh perhatian khusus. 

“Namun, bukan sebagai faktor kunci untuk tidak melepasliarkan harimau liar yang memang harusnya dikembalikan ke alam, untuk menjaga populasi yang sudah sedikit.”

Faisal mengatakan ASF hanya menyerang babi, jadi efek sebenarnya tidak langsung ke harimau karena menyerang salah satu satwa mangsanya saja. “Untuk satwa mangsa lain kan masih ada rusa, beruk, maupun kancil.”

Dengan mempertimbangkan kajian, dia menyakini opsi pelepasliaran masih sangat mungkin dilakukan terhadap Batua. “Dengan catatan, pemantauan pasca-pelepasliaran dilakukan dengan baik, misalnya pemasangan GPS Collar, pemantauan melalui kamera jebak, dan patroli rutin,” paparnya.

 

 

Exit mobile version